Mohon tunggu...
Andinda Azzahra
Andinda Azzahra Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Sosiologi

FISIP UIN JKT'18

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Review Buku "Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas"

16 November 2019   17:27 Diperbarui: 16 November 2019   17:35 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu terdapat penolakan kepemimpinan perempuan yang merujuk pada sebuah hadis," tidak akan nerjaya suatu kaum/masyarakat jika kepemimipinannya dissrahkan kepada perempuan(lan yufliha qaumun imraatan"). Lalu Fatima mernissi melakukan peneltian secara cermat atas hadit tersebut dengan menyelidiki kualitas moral dan memeriksa kembali rangkaian orang yang meneruskan cerita tersebut(penelitan ganda). Akhirnya dilakukan penyelidikan secara cermat bahwa: pertama, hadis itu diucapkan Nabi Muhammad untuk menggambarkan negeri Persia yang mendekati ambang kehancuran dengan dipimpin oleh seorang perempuan yang tidak mempunyai kualitas yang memadai.

Kedua, hadis ini dikemukakan kembali oleh perawinya, Abu Bakrah, ketika ia melihat perpecahan di kalangan umat Islam karena peristiwa Perang Siffin antara Khalifah Ali dan Siti Aisyah. Baginya, memihak pada salah satu diantaranya bukan merupakan pilihan yang bijaksana, dan menggunakan ucapan Nabi 23 tahun semenjak ia meninggal. Ketiga, hadis itu hanya diriwayatkan oleh satu orang yaitu Abu Bakrah, berdasarkan ahli hadis, jika sebuah hadis hanya diriwayatkan oleh satu orang (Ahad), maka diragukan keotentikannya.

Dari penyeldikan terhadap hadist tersebut. Fatima mernissi menyimpulkan bahwa terdapat penolakan terhadap perempuan terlibat dalam ranah politik sangat tidak berdasar jika hanya mengacu kepada teks keagamaan sebagaimana yang disebut dalam hadist tersebut. Karena itu kita harus berhati-hati dalam pengunaan teks keagamaan yang selama ini dipandang sebagai dasar suatu kebenaran, tetapi faktanya terkadang mempunyai cacat yang serius dan berimplikasi pada keterpurukan sejarah hidup perempuan.

Untuk itu perlu ditelisik lebih dalam bahwa ajaran Islam tidak membatasi perempuan untuk menjadi pemimpin, walaupun memang jumlah pemimpin perempuan sangatlah terbatas. Hal tesebut terjadi karena hambatan seperti pemahaman yang salah kaprah mengenai ajaran Islam seperti di atas. Tantangan lain adalah adanya ego kolektif masyarakat muslim yang melanggengkan nilai-nilai patriarki, sehingga narasi agama digunakan sebagai tameng dan dimanipulasi untuk melegitimasi kepentingan ego tersebut.

Lalu penulisan memberikan cara-cara yang dapat digunakan untuk membentuk pemimpin perempuan sebanyak mungkin dalam berbagai ranah kehidupan. Pertama, semenjak kecil ditanamkan, pola pendidikan watak kepemimpinan, perempuan atau laki-laki tidak dibeda-bedakan. Kedua, anak perempuan dan laki-laki berhak mengakses apa saja sepanjang membuat diri mereka berkembang. Ketiga, memberikan kebebasan untuk memilih sesuai pilihan nuraninya. Keempat, melatih perempuan jatuh bangun dengan pilihannya, karena proses itu akan muncul pendewasaan hidup dan "otonomi diri". Dan kelima, menghindari perangkengan perempuan dalam sangkar emas atas nama "perlindungan", karena bisa menjebak perempuan menjadi kerdil dan gagap berhadapan dengan realitas kehidupan nyata.

Selama ini terlihat bahwa terdapat kesan, pemimpin hanya perempuan yang lahir dari kalangan kelas elite tertentu. Dalam corak masyarakat feodal tradisional, kepemimpinan sangat ditentukan oleh charisma dan keterunan, bukan kemampuan. Kesan itu tidak selamanya betul. Karena pemanfaatan nama besar sebetulnya tidak akan menjadi modal politik yang begitu kuat jika tidak didukung para patriaki didalam parlemen. Tedapat kendala bagi kepemimpinan perempuan. Sebetulnya kendala tersebut berasal dari konsep" qawwam" pada ayat Alquran "Arrjalu qawwamuna 'alan nissa", yang sering dimaknai sebagai tunggal laki-laki sebagai pemimpin atau penguasa.

Padahal, sebuah kata akan sangat bergeser maknanya seiring dengan konteks ruang dan waktu. Dan timbulah pertanyaan lain, apakah kata itu cukup relevan dikaitkan dengan kepemimpinan diranah public, mengingat konteks munculnya ayat ini adalah terdapat situasi social tentang sebuah upaya daam pengaturan suami istri dalam rumah tangga.

Yang seharunya lebih di bahas adalah bukan ayatnya, tetapi bagaimana alam bawah sadar kolektif masyarakat laki-laki, yang sepertinya, egonya teralu tabu tunduk dibawah kekuasaan perempuan. Pada saat laki-laki kecil telah ditanamkan untuk menjadi sosok pemimpin dan penguasa. Jadi ini sebetulnya adalah persoalan ego bukan ayat. Ayat bisa dimanipulasi menjadi tameng dalam kepentingan ego si penafsirnya. Karna dalam dasar prinsip Alquran saja Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan adalah untuk menjadi pemimpin (inna ja'ilun fil ardhi khalifah).Yang sekarang harus kita lakukan adalah mengajarkan anak tenta pola Pendidikan watak kepemimpinan, bahwa perempuan dan laki-laki tidak adanya perbedaan. Biarkan anak jatuh dan bangun dengan pilihannya, akrena dalam proses itu akan muncul pendewasaan hidup dan"otonomi" diri

Kita bisa melihat sosok pemimpin perempuan dari analisa mengenai fenomena kepemimpinan Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden. Menurut Dr. Onghokham mengapa Megawati dengan parati politik yang dipimpinnya terlihat memiliki massa kuat dan fanatic, bahkan cenderung terlalu kultus? Hal ini disebabkan karna figure Megawati terlihat memiliki sebuah karakter yang cukup kuat, mengayomi, dan tampak keibu-ibuan. Karena kebutuhan rakyat akan terhadap  sebuah kepemimpinan yang menekan aspek feminitas boleh jadi merupakan sebuah antitesisi dari terhadap pola kepemimpinan yang patriarkat. Henry Kissinger berbendapat bahwa bakat yang perlu dimiliki oleh seorang kepala negara adalah bukan intelegensia, melainkan kekuatan,keberanian, dan kecerdikan. Permasalahan kepemimpin perempuan yang begitu sangat  mencolok sekaligus sangat terlihat adalah pernyataan bahwa " tidak boleh presiden perempuan" akan terpilih itu 'putra' terbaik, dan bukan 'putri'terbaik.

Polemic dan kontrovensi tersebut bisa jadi menjadi sebuah' bola salju' yang akan menggelindingkan dan menguji sejauh mana kesiapan masyarakat Indonesia dalam meneriman perempuan sebagai pemimimpi. Barangkali inilah cita-cita yang ingin dibangun para pemimpin. Terbukti bahwa dalam kepemimpinan nasional pun tidak mempersoalkan apakah kepemimpinan nasional itu'putra' atau 'putri', ibu atau bapak, yang terpenting adalah pilihan rakyat. Terbukti lagi adalah dalam UUD 45 yang menjadi landasan konstitusi kita, tidak ada satu kalimat pun yang akan memberi peluang nterpretasi terhadap masalah gender disana.

Sudalah, kini kita sudah memasuki millennium baru, yang tingkat pemahaman masyarakat terhadap agama sudah relative baik, para akademik pun dan para ulama telah banyak mengkaji ulang teks kita suci untuk sebuah kontekstalisasi. Namun, untuk kepentingan politik sesaat, para politisi mengedepankan 'justifikasi' bedararkan sebuah ayat yang justru amat sangat bertentangan dengan semangat kelahiran sebuah agama atau kemunculan kitab suci yang amat sangat menujungjung keseteraan manusa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun