Mohon tunggu...
Andinda Azzahra
Andinda Azzahra Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Sosiologi

FISIP UIN JKT'18

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Review Buku "Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas"

16 November 2019   17:27 Diperbarui: 16 November 2019   17:35 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Review buku oleh : Andinda Azzahra ( 1118111000017)

 

Identitas Buku :
Judul : Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas
Penulis: Neng Dara Affiah
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun terbit: Desember 2017
Ukuran Dimensi Buku: 14,5 x 21 cm
Tebal Buku: xi + 200 halaman
ISBN: 978-602-433-555-7

 

Sebelum kita membahas dari buku ini. Kita harus mengatahui apa saja yang akan dibahas dalam buku ini, penulis review dari buku ini ingin menjabarkan bagian-bagian yang terdapat dalam buku ini. Buku ini terdiri dari tiga bab, yaitu: pertama, Islam dan kepemimpinan perempuan; kedua, Islam dan seksualitas perempuan; ketiga, Perempuan, Islam dan Negara. Saya akan menjalaskan tentang bab pertama yaitu "islam dan kepemimpinan".

Pada bab pertama penulis menejelaskan bahwa salah satu keutamaan ajaran islam dalam memandang manusia secara setara dengan tidak membeda-bedakannya bedasarkan kelas social(kasta), rasa, dan jensi kelamin. Karena dalam islam, yang membedakan seseorang dengan yang lain adalah kualitas ketakwaaanya. Karena menjadi seorang pemimpin tidak ada batasan untuk siapapun, selagi mereka mau untuk berjuang dalam Islam, karena dalam Al- Quran pun sudah di jelaskan dalam suarh Al-Hujurat {49}:13 "salah satu keutamaan ajaran Islam adalah memandang manusia secara setaratidak mebeda-bedakannya berdasarkan kelas sosial (kasta), ras, dan jenis kelamin. Dalam Islam, yang mebedakan seseorang dengan yang lain adalah kualitas ketawaannya, kebikannnya selamahidup di dunia, dan warisan amal baik yang ditinggalkannya setelah ia meninggal."

Pada bab pertama penulis menggambarkan perdebatan antara kubu yang pro terhadap perempuan dalam memimpin suatu kedudukan dan merdeka atas dirinya sendiri dan yang kontra terhadap diberikannya perempuan hak kursi kepemimpinan. Kelompok yang kontra akan kemunculan pemimpin perempuan beralasan seputar persoalan-persoalan teologis.

Ayat Al- Qur'an seperti ayat: "Laki-laki adalah qowwam dan bertanggung jawab terhadap kaum perempuan" (An-Nisa: 34). Kata qawwam menjadi dasar dari kelo mpok yang kontra terhadap kepemimpinan perempuan. Para ahli tafsir klasik dan beberapa tafsir modern mengartikan kata ini sebagai: penanggung jawab, memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik perempuan, pemimpin, menjaga sepenuhnya secara fisik dan moral, penguasa, yang memiliki kelebihan atas yang lain, dan pria menjadi pengelola masalah-masalah perempuan. Tim Departemen Agama dalam Alquran dan Terjemahnya pun mengartikannya demikian. Dari pemaknaan tersebut menjadi terlihat bahwa perempuan berada pada posisi yang inferior terhadap laki-laki.

Lalu juga terdapat argumen bahwa pihak laki-laki memiliki aset kekayaan yang mampu menghidupi istri dalam bentuk maskawin dan pembiayaan hidup keluarga sehari-hari. Selain itu laki-laki pada umumnya dianggap memiliki kelebihan penalaran (al-aql), tekad yang kuat (al-hazm), keteguhan (al-aznl), kekuatan (al-quwwah), kemampuan tulisan (al-kitabah), dan keberanian (al-furusiyyah wa al-ramy). Karena itu dari kaum laki-laki lahir para nabi, ulama dan imam. Sedangkan yang pro terhadap kepimpinan perempuan, mengasumsi makna tersebut , yakni karena Allah telah memberikan kelebihan (kekuatan) pada yang satu atas yang lain, para ahli tafsir berperspektif feminis, bersifat relatif dan tergantung kepada kualitas masing-masing individu dan bukan karena sifat gendernya.

 Fazlur-Rahman menafsirkan bahwa "kelebihan" tersebut bukanlah bersifat hakiki, melainkan fungsional.Artinya jika seorang istri di bidang ekonomi dapat berdiri sendiri, baik karena warisan maupun karena usahanya sendiri dan memberikan sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan laki-laki akan berkurang, karena sebagai manusia tidak memiliki keunggulan atas perempuan. Terdapat juga pendapat Amina Wadud Muhsin juga menyatakan bahwa laki-laki qowwammun atas perempuan tidaklah dimaksudkan bahwa superioritas itu melekat kepada setiap laki-laki secara otomatis, sebab hal itu hanya terjadi secara fungsional selama yang bersangkutan memiliki kriteria Alquran, yakni memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Kriteria tersebut juga bisa dimiliki oleh perempuan, sehingga perempuan pun memiliki kelebihan.

Sedangkan menurut Asghar Ali Engineer, pernyataan Alquran karena Allah telah memberikan kelebihan (kekuatan) pada yang satu atas yang lain sesungguhnya merupakan pengakuan bahwa dalam realitas sejarah, kaum perempuan pada saat itu sangat rendah dan pekerjaan domestic dianggap kewajiban perempuan. Sementara laki-laki menganggap dirinya sendiri lebih unggul karena kekuasaan dan kemampuan mereka memberi nafkah dan membelanjakannya untuk perempuan. Maka dari itu, pernyataan ini bersifat kontekstual dan bukan normative. Seandainya Alquran menghendaki laki-laki harus menjadi qowwam atas perempuan, ia akan menggunakan pernyataan normatif dan mengikat bagi semua perempuan pada semua zaman dan semua keadaan.

Lalu terdapat penolakan kepemimpinan perempuan yang merujuk pada sebuah hadis," tidak akan nerjaya suatu kaum/masyarakat jika kepemimipinannya dissrahkan kepada perempuan(lan yufliha qaumun imraatan"). Lalu Fatima mernissi melakukan peneltian secara cermat atas hadit tersebut dengan menyelidiki kualitas moral dan memeriksa kembali rangkaian orang yang meneruskan cerita tersebut(penelitan ganda). Akhirnya dilakukan penyelidikan secara cermat bahwa: pertama, hadis itu diucapkan Nabi Muhammad untuk menggambarkan negeri Persia yang mendekati ambang kehancuran dengan dipimpin oleh seorang perempuan yang tidak mempunyai kualitas yang memadai.

Kedua, hadis ini dikemukakan kembali oleh perawinya, Abu Bakrah, ketika ia melihat perpecahan di kalangan umat Islam karena peristiwa Perang Siffin antara Khalifah Ali dan Siti Aisyah. Baginya, memihak pada salah satu diantaranya bukan merupakan pilihan yang bijaksana, dan menggunakan ucapan Nabi 23 tahun semenjak ia meninggal. Ketiga, hadis itu hanya diriwayatkan oleh satu orang yaitu Abu Bakrah, berdasarkan ahli hadis, jika sebuah hadis hanya diriwayatkan oleh satu orang (Ahad), maka diragukan keotentikannya.

Dari penyeldikan terhadap hadist tersebut. Fatima mernissi menyimpulkan bahwa terdapat penolakan terhadap perempuan terlibat dalam ranah politik sangat tidak berdasar jika hanya mengacu kepada teks keagamaan sebagaimana yang disebut dalam hadist tersebut. Karena itu kita harus berhati-hati dalam pengunaan teks keagamaan yang selama ini dipandang sebagai dasar suatu kebenaran, tetapi faktanya terkadang mempunyai cacat yang serius dan berimplikasi pada keterpurukan sejarah hidup perempuan.

Untuk itu perlu ditelisik lebih dalam bahwa ajaran Islam tidak membatasi perempuan untuk menjadi pemimpin, walaupun memang jumlah pemimpin perempuan sangatlah terbatas. Hal tesebut terjadi karena hambatan seperti pemahaman yang salah kaprah mengenai ajaran Islam seperti di atas. Tantangan lain adalah adanya ego kolektif masyarakat muslim yang melanggengkan nilai-nilai patriarki, sehingga narasi agama digunakan sebagai tameng dan dimanipulasi untuk melegitimasi kepentingan ego tersebut.

Lalu penulisan memberikan cara-cara yang dapat digunakan untuk membentuk pemimpin perempuan sebanyak mungkin dalam berbagai ranah kehidupan. Pertama, semenjak kecil ditanamkan, pola pendidikan watak kepemimpinan, perempuan atau laki-laki tidak dibeda-bedakan. Kedua, anak perempuan dan laki-laki berhak mengakses apa saja sepanjang membuat diri mereka berkembang. Ketiga, memberikan kebebasan untuk memilih sesuai pilihan nuraninya. Keempat, melatih perempuan jatuh bangun dengan pilihannya, karena proses itu akan muncul pendewasaan hidup dan "otonomi diri". Dan kelima, menghindari perangkengan perempuan dalam sangkar emas atas nama "perlindungan", karena bisa menjebak perempuan menjadi kerdil dan gagap berhadapan dengan realitas kehidupan nyata.

Selama ini terlihat bahwa terdapat kesan, pemimpin hanya perempuan yang lahir dari kalangan kelas elite tertentu. Dalam corak masyarakat feodal tradisional, kepemimpinan sangat ditentukan oleh charisma dan keterunan, bukan kemampuan. Kesan itu tidak selamanya betul. Karena pemanfaatan nama besar sebetulnya tidak akan menjadi modal politik yang begitu kuat jika tidak didukung para patriaki didalam parlemen. Tedapat kendala bagi kepemimpinan perempuan. Sebetulnya kendala tersebut berasal dari konsep" qawwam" pada ayat Alquran "Arrjalu qawwamuna 'alan nissa", yang sering dimaknai sebagai tunggal laki-laki sebagai pemimpin atau penguasa.

Padahal, sebuah kata akan sangat bergeser maknanya seiring dengan konteks ruang dan waktu. Dan timbulah pertanyaan lain, apakah kata itu cukup relevan dikaitkan dengan kepemimpinan diranah public, mengingat konteks munculnya ayat ini adalah terdapat situasi social tentang sebuah upaya daam pengaturan suami istri dalam rumah tangga.

Yang seharunya lebih di bahas adalah bukan ayatnya, tetapi bagaimana alam bawah sadar kolektif masyarakat laki-laki, yang sepertinya, egonya teralu tabu tunduk dibawah kekuasaan perempuan. Pada saat laki-laki kecil telah ditanamkan untuk menjadi sosok pemimpin dan penguasa. Jadi ini sebetulnya adalah persoalan ego bukan ayat. Ayat bisa dimanipulasi menjadi tameng dalam kepentingan ego si penafsirnya. Karna dalam dasar prinsip Alquran saja Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan adalah untuk menjadi pemimpin (inna ja'ilun fil ardhi khalifah).Yang sekarang harus kita lakukan adalah mengajarkan anak tenta pola Pendidikan watak kepemimpinan, bahwa perempuan dan laki-laki tidak adanya perbedaan. Biarkan anak jatuh dan bangun dengan pilihannya, akrena dalam proses itu akan muncul pendewasaan hidup dan"otonomi" diri

Kita bisa melihat sosok pemimpin perempuan dari analisa mengenai fenomena kepemimpinan Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden. Menurut Dr. Onghokham mengapa Megawati dengan parati politik yang dipimpinnya terlihat memiliki massa kuat dan fanatic, bahkan cenderung terlalu kultus? Hal ini disebabkan karna figure Megawati terlihat memiliki sebuah karakter yang cukup kuat, mengayomi, dan tampak keibu-ibuan. Karena kebutuhan rakyat akan terhadap  sebuah kepemimpinan yang menekan aspek feminitas boleh jadi merupakan sebuah antitesisi dari terhadap pola kepemimpinan yang patriarkat. Henry Kissinger berbendapat bahwa bakat yang perlu dimiliki oleh seorang kepala negara adalah bukan intelegensia, melainkan kekuatan,keberanian, dan kecerdikan. Permasalahan kepemimpin perempuan yang begitu sangat  mencolok sekaligus sangat terlihat adalah pernyataan bahwa " tidak boleh presiden perempuan" akan terpilih itu 'putra' terbaik, dan bukan 'putri'terbaik.

Polemic dan kontrovensi tersebut bisa jadi menjadi sebuah' bola salju' yang akan menggelindingkan dan menguji sejauh mana kesiapan masyarakat Indonesia dalam meneriman perempuan sebagai pemimimpi. Barangkali inilah cita-cita yang ingin dibangun para pemimpin. Terbukti bahwa dalam kepemimpinan nasional pun tidak mempersoalkan apakah kepemimpinan nasional itu'putra' atau 'putri', ibu atau bapak, yang terpenting adalah pilihan rakyat. Terbukti lagi adalah dalam UUD 45 yang menjadi landasan konstitusi kita, tidak ada satu kalimat pun yang akan memberi peluang nterpretasi terhadap masalah gender disana.

Sudalah, kini kita sudah memasuki millennium baru, yang tingkat pemahaman masyarakat terhadap agama sudah relative baik, para akademik pun dan para ulama telah banyak mengkaji ulang teks kita suci untuk sebuah kontekstalisasi. Namun, untuk kepentingan politik sesaat, para politisi mengedepankan 'justifikasi' bedararkan sebuah ayat yang justru amat sangat bertentangan dengan semangat kelahiran sebuah agama atau kemunculan kitab suci yang amat sangat menujungjung keseteraan manusa.

Pertanyaan yang harus di ingat adalah, apakah tidak terlalu murah sebuah ayat suci ditafsirkan untuk kepentingan politik dan golongan tertentu?, yah, barangkali distop sajalah perdebatan kepemimpinan perempuan atas dasar diskriminasi gender dan isu agama, tapi mari kita mulai dengan standar kemampuan setiap kualitas diri manusia.

Kita sering mendengar bahwa dunia  politik kesannya itu keras dan kotor. Apakah tetapi benarkah anggapan tersebut. Menurut penulis, politik adalah sebagai sebuah profesi yang netral. Sebagai profesi, ia bisa bersih dan bisa kotor, atau bahkan berada di antara keduanya. Hanya saja, 'kotornya' politik itu sangat begitu transparan, dan lebih transparan dibandingkan profesi-profesi lainya.

Sebetulnya politik akan menjadi 'kotor' ketika para pelaku politik (baca:politis) yang mencampuradukan kepentingan bangsa dengan kepentingan pribadi atau golongannya, sehingga berlakulah sebuah penghalalan segala cara, termasuk politik uang, pemaksaan,keculasan dan sejenisnya. Padahal bisa dilihat dari sejarah, kemerdekaan bangsa ini diperoleh dan diupayakan melalui politik. Bahkan Hatta Sjahrir adalah pemain politik handal, tetapui tidak ada sejarah yang mencatat bahwa keduanya melakukan tindak kekerasan dalam berpolitik. Bahkan malah startegi yang dibangunnya didasarkan pada kecantikan sebagai seorang cendikia

Penulis pun mengkritis, bahkan jangan-jangan bahwa politik itu kotor karena kita sudah sekian lama hidup dalam alam yang a politis. Bahkan kita bisa melihat seperti organisasi extra kampus dan pemuda, tidak lagi menjadi ajang pencerahan kreativitas dan idealisme anak muda. Tetapi kelihatanya lebih tampak sebagai perpajangan dan model para penguasa. Keangotannya lebih banyak bersofat 'petasan', yakni hanya Nampak gebyar sesaat, sementara ruangn perenungan untuk mempertanyakan kemapan demi sebuah perubahan yang lebih besar terasa begitu sempit. Lalu terdapat banyak  perkataan yang kerap kita dengar ketika itu, pejabat yang berusaha jujur pada nalurinya, akan tersingkir kepinggir. Untuk lebih menyelamatkan posisinya, dengan cara berbaiklah pada atasan. Bahkan juka perlu, berjalan pun harus membungkuk atau tunduk.

Lantas di masa perempuan ketika itu terjadi? Perempuan diatur sedemikian rupa oleh alat negara tang bernama Dharma Wanita. jika pun ada pemimpin perempuan yang begitu menonjol, maka akan langsung disingkirkan sekuat-kuatnya keluar arena. Untuk menutupi bahwa negara ini bukan negara patriaki, maka diangkatlah Menteri peranan wanita Sekarang adalah masa dimana situasi negara sedang gamang, carut-meraut mengenai persolan bangsa tak dapat direlakan. Bahkan kekerasan merupakan pandangan yang sudah sangat biasa. Mak pada saat itulah , bangsa ini dan rasanya kita akan sangat merindukan kepemimpinan yang memiik watak yang disteotioekan sebagai sosok seorang Ibu sejati, yakni yang mendengarkan keluhan suara anak manusia, mengayomi, memberikan kehangatan dan ketudakan, tulus dan berskipa tegas, dan tentu saja memiliki akhlak yang baik.

Awal terdapat sebuah kepengapan pola kepemimpinan yang sentralistik. Semua diatur oleh pusat, para pengampil jabatan didaerah hanya pelaksanan dari apa yang digariskan oleh pusat. Lalu terasa dari berbagai 'mudharat' yang sangat dirasakan dan dialami sepanjang pemerintahan yang sentralistik ini, dan muncul suatu gagasan dan tidak bisa membentuk pemerintahan yang lalu dilanjutkan.

Harus tedapat model baru dimana masyakarat Indonesia, bahwa perempuan dan laki-laki, dapat mengatur dan membentuk dirinya sendiri bahkan bisa menunjuk pemimpin yang mereka percya dan terlibat dalam suatu proses pengambilan keputusan yang sangat berkaitan dengan daerahnya.Terdapat semangat-semangat yang dibangun dari otonomi daerah ini. Misalnya dari bidang politik, otonimi daerah bertujuan membuka pintu ruang bagi lahirnya proses pemilihan kepala pemerintahn daerah secara demokratis. Dan menjadikan berlangsungnya penyelengaraan pemerintahan yang responsive terhadap sebuah kepentingan rakyat dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang kuat pada asas pertanggungjawaban public. Demokratis disini pemerintah juga harus dangat transparansi dalam setiap kebijakan. Semua harus disampaikan kepada masyarakat daerah agar dapat dikontrol dan diketahui.

Selanjutnya ada dalam bidang ekonomi, daerah sangat mempunyai peluang mengembangkan kebijakan local dalam mengoptimalkan hal pemanfaatan potensi ekonimo daerahnya. Maka dapar ditarik kesimpulannya, otonomi daerah akan memberikan peluang kepada masyarakat yang ada di daerah untuk mengurus dirinya tentang apa yang mereka mau dan apa yang mereka tuju.

Bisa dikatakan dengan kata lain" jika anda menginginkan sesutau, usahakan oleh dirimu keinnginan itu". Karna Allah menciptakan sesuatu tidak ada yang sia-sia,semuanya pasti memiliki manfaat.Dalam kaitannya denan perempuan, selama ini potensi dan kreativitas perempuan, terutama diberbagai daerah yang belum sepenuhnya di berdayakan. Nah makan dari itu semangat otonomi daerah, sebagaimana yang tertulis dalam UU No 22 tahun 1999, bahwa potensi dan kreativitas perempuan harus kita gali Bersama dan dapat menyongsongkan kemajuan agama, daerah, dan bangsa kit

Pada bulan April kita pada lazimnya atau bahkan seluruh masyarakat Indonesia memperingati hari Kartini. Dan biasanya kita membahawa Kartini perihal pendidikannya, disini penulis ingin menuliskan kerja-kerja seseorang yang tidak dikenal secara luas, tetapi sepanjang hidupnya menjadi pusat perhatian utama dari perjuangan Kartini, iyalah adalah nenek dari sang penulis sendiri H.Siti Masyotih.

Meski ia tidak menempuh pendidik formal yang dibuat belanda, di karenankan ia tida bisa menulis huruf-huruf latin, tetapi sepanjang hidupnya ia selalu dan mengajar dan mendirikan sekolah dasar Islam di beberapa tempat dengan harta yang ia miliki. Bahkan sampai saat ini sekolahnya masih terjaga dengan sangat baik. Penulis mencerikan bawah neneknya mengetahui bagiamana beratnya tantangan yang ia hadapai saat mendirikan sekolah. H.Siti Masyotih adalah seorang guru yang sangat berdedikasi kegiatan ia lebih habiskaan untuk mengajar dan taat kepada aturan dan perintah agam. Terdapat pendapat para peserta didik bahwa nenek Siti adalah seorang guru yang sangat berpengaruh ia mempunya charisma yang baik dan indah.

Dalam pembahasan nenek H.Siti Masyotih tidak mengenal kata "feminis" dan tidak pernah mempelajari pengetahuan ini sepanjang hidupnya, tetapi sepak terjangnya mencerminkan nilai-nilai feminism, seperti kemandirian dan kemerdekaan atas dirinya. Mungkin barangkali inilah yang disebut dengan "indigenous feminis", yaitu feminis yang tumbuh dari masyarakat local dan berbasis pada interaksi sehari-hari dalam kehidupan nyata seorang perempuan tanpa ia menyadari, mengenal dan menyebut dirinya feminisme. Dan hanya saja, terdapat kontribusi yang ia berikan ditengah-tengah masyarakat, terutama dalam dunia Pendidikan tidak pernah tertulis sebagai bagian dari sejarah hidupnya.

Sejarah hidupnya perempuan mapun sejaran dalam Pendidikan islam Sebetulnya bisa jadi terdapat kekurangan dari penulisan sejarah yang hanya menuliskan orang-orang yang berkuasa atau mereka yang memiliki akeses terhadap kekuasaan, sementara orang-orang yang secara nyata hidup dalam komunitas yang terpinggirkan, hanya bisu dan mempunyai kemampuan mengartikulasisakan sebuah peranan hidupnya yang amat sangat jarang tertulis sebagai bagian dari sejarah. Terakhir tulisan-tulisan sederhana ini dipersembahkan untuk mengukir berbagai perannya sebagai pendidik yang dengan segenap jiwa dan raganya memberikan dan diabadikan sepanjang hidupnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun