Perda merupakan salah satu produk hukum daerah berbentuk pengaturan, disamping perda terdapat peraturan kepala daerah (perkada) dan peraturan DPRD. Hal tersebut ditegaskan dalam ketentuan Permendagri No. 120 Tahun 2018 tentang Perubahan Permendagri No. 80 Tahun 2015. Dalam pembentukan perda tidak terlepas dari tahapan pembentukan peraturan daerah yang diatur dalam ketentuan UU No. 12 Tahun 2011, UU No. 23 Tahun 2014, PP No. 12 Tahun 2018, dan Permendagri No. 80 Tahun 2015. Disamping itu ketentuan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD merupakan landasan hukum dalam pembentukan perda provinsi dan kabupaten/kota. Serta kewenangan pembentukan perda yang merupakan dasar legalitas ditetapkan perda oleh kepala daerah atas persetujuan bersama DPRD. Dalam menjaga pembentukan perda sesuai dengan tujuan penyeleggaraan otonomi daerah, Menteri Dalam Negeri melaksanakan pembinaan perda provinsi dan Menteri Dalam Negeri dan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah (GWPP) melakukan pembinaan pembentukan perda kabupaten/kota.
Ketentuan Pasal 18 ayat (6) UUDNRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa "Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan", selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 menyebutkan bahwa "Daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah", adapun Penjelasan Pasal 17 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 yaitu "Yang dimaksud dengan "kebijakan Daerah" dalam ketentuan ini adalah Perda, Perkada, dan keputusan kepala daerah".Â
Kepala daerah dan DPRD perlu melakukan analisis terkait dengan propempeda yang akan ditetapkan, karena pemerintahan daerah hanya dapat menetapkan kebijakan daerah berdasarkan ketentuan norma, strandar, prosedur dan kriteria (NSPK) yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Margarito Kamis yang menyebutkan bahwa pemerintahan daerah berhak "menetapkan" perdadan peraturan lainnya untuk melaksankan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat (6) UUDNRI Tahun 1945. Dalam rumusan ketentuan tersebut tidak mengunakan kata "membentuk" melainkan "menetapkan" hal ini disebabkan oleh salah satu konsekuensi hukum dari sejumlah constitutional consequencies dari bentuk negara Indonesia sebagai NKRI (as a unitary state).
Oleh karena itu sebagai bagian suatu sistem hukum, maka perda tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, hal ini disebutkan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa "walaupun peraturan daerah merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang bersifat mandiri sesuai dengan materi muatanya, namun karena merupakan satu kesatuan sistem hukum dan sifatnya yang berlaku umum di daerah tertentu, maka selayaknya memperhatikan asas-asas pembentukan dan materi muatan peraturan perundang-undangan".
Sesuai dengan ketentuan Pasal 176 angka 2 Pasal 250 Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menyebutkan bahwa "Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundangu-ndangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan". Dengan demikian dalam pembentukan perda harus memperhatikan ketentuan tersebut.
Perubahan ketentuan Pasal 250 UU No. 23 Tahun 2014 tersebut diatas berkonsekuensi hukum pada pembentukan perda. Pertama, kesesuaian perda dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Adapun berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah beberpa kali terakhir dengan UU No. 13 Tahun 2022, menyebutkan bahwa :
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dengan demikian perda provinsi tidak tidak boleh bertentangan dengan perpres sampai dengan UUDNRI Tahun 1945, sedangkan perda kabupaten/kota tidak boleh bertentangan dengan perda provinsi sampai dengan UUDNRI Tahun 1945.
Kedua, kesesuian perda dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, sesuai ketentuan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa:
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Karena asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut bersifat komulatif, maka keseluruhan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus tercermin dalam pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk pembentukan perda provinsi dan kabupaten/kota. Tidak terpenuhinya salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik mengakibatkan cacat matriel pada pembentukan perda sehingga berpotensi dianulir oleh MA melalui pengujian materiel oleh pihak yang mempunyai legal standing (kedudukan hukum atau locus standi adalah suatu keadaan ketika suatu pihak dianggap memenuhi syarat untuk mengajukan permohonan penyelesaian sengketa di suatu pengadilan).
Ketiga, kesesuaian perda dengan asas materi muatan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 yang berbunyi:
Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhineka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. Â ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. kesimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Bahwa asas materi muatan yang diatur dalam ketentuan  dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 bersifat komulatif dan/atau alternatif maka keseluruh asas harus tercermin dalam pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk pembentukan pembentukan perda provinsi dan kabupaten/kota. Maka tidak terpenuhinya salah satu asas materi muatan perundang-undangan mengakibatkan cacat materiel pada pembentukan perda sehingga berpotensi dianulir oleh MA melalui pengujian materiel oleh pihak yang mempunyai legal standing.
Ke empat, kesesuaian dengan putusan pengadilan. Adapun yang dimaksud "putusan pengadilan" yaitu  putusan pengadilan yang telah diikuti oleh putusan hakim berikutnya. Dengan demikian putusan pengadilan disini tidak hanya mencakup putusan judicial review oleh MA dan MK terhadap perundang-undangan yang diuji oleh kedua lembaga tersebut. Juga yurisprodensi pada putusan pengadilan harus mendapatkan perhatian dari pembentuk perda. Kesesuian Perda dengan perluasan norma kesesuian dengan yurisprodensi merupakan hal baru karena sebelumnya tidak diatur dalam ketentuan UU No. 23 Tahun 2014, dimana dalam ketentuan UU No. 23 Tahun 2014 hanya mengatur kesesuaian perda dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
Untuk menjaga kesesuian perda agar tidak bertentangan dengan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan berdasarkan ketentuan Pasal 58 ayat  UU No. 13 Tahun 2022 yang mengatur pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari DPRD Provinsi dan dari Gubernur dilaksanakan oleh kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Adapun harmonisasi dan singkronisasi sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (2) Perppu Cipta Kerja menyebutkan bahwa "Harmonisasi dan sinkronisasi yang berkaitan dengan peraturan daerah dan/atau peraturan kepala daerah, dilaksanakan oleh kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan bersama dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri".
Kelemahan pelaksanaan harmonisasi raperda sesuai ketentuan Pasal 58 dan Pasal 97D UU No. 13 Tahun 2022 yaitu, pertama, memperpanjang birokrasi pembentukan perda karena pembentuk perda harus menyampaikan harmonisasi kepada kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan sebelum melakukan pembahasan antara kepala daerah dan DPRD. Kedua, tidak ada jaminan hasil harmonisasi raperda oleh kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan diikuti oleh pembentuk perda karena dalam pembentukan perda merupakan proses politik terkait dengan agregasi kepentingan politik pada pembahasan raperda di DPRD. Ketiga, dalam rangka penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan, pemerintahan daerah merupakan subyek bukan obyek penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan, sehingga yang lebih tepat yaitu pemberian pembinaan memberikan konsultatif untuk penyempurnaan materi muatan raperda.
Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) PP No. 12 Tahun 2018 menyebutkan bahwa "Rancangan Perda yang berasal dari DPRD atau Kepala Daerah dibahas oleh DPRD dan Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama". Adapun pembahasan Raperda dilakukan melalu pembicaraan tingkat I dan pembicaraan tingkat II. Pembicaraan tingkat I dilakukan melalui serangkaian kegiatan yang diatur dalam Pasal 9 ayat (3) PP No. 12 Tahun 2018, Pembicaraan tingkat I meliputi kegiatan: Dalam hal rancangan Perda berasal dari Kepala Daerah: (a) penjelasan Kepala Daerah dalam rapat paripurna mengenai rancangan Perda; (b) pandangan umum Fraksi terhadap rancangan Perda; dan (c) tanggapan dan/ataujawaban Kepala Daerah terhadap pemandangan umum Fraksi. Dalam hal rancangan Perda berasal dari DPRD: (a) penjelasan pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Bapemperda, atau pimpinan panitia khusus dalam rapat paripuina mengenai rancangan Perda; (b) pendapat Kepala Daerah terhadap rancangan Perda; dan tanggapan dan/atau jawaban Fraksi terhadap pendapat Kepala Daerah. Pembahasan dalam rapat komisi, gabungan komisi, atau panitia khusus yang dilakukan bersama dengan Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakili, Penyampaian pendapat akhir Fraksi dilakukan pada akhir pembahasan antara DPRD dan Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakili. Adapun pembicaraan tingkat II pembahasan perda dilakukan melalui serangkaian kegiatan yang diatur dalam Pasal 9 ayat (4) PP No. 12 Tahun 2018, Pembicaraan tingkat II meliputi kegiatan: Pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului dengan: (a) penyampaian laporan yang berisi proses pembahasan, pendapat Fraksi, dan hasil pembicaraan tingkat I oleh pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, atau pimpinan panitia khusus; (b) permintaan persetujuan secara lisan pimpinan rapat kepada anggota dalam rapat paripuma; dan (c) pendapat akhir Kepala Daerah. Dalam hal persetujuan tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Dalam hal rancangan Perda tidak mendapat persetujuan bersama antara DPRD dan Kepala Daerah, rancangan Perda tersebut tidak dapat diajukan lagi dalam persidangan DPRD masa sidang itu.
Tahapan pembahasan raperda tersebut diatas oleh kepala daerah dan DPRD merupakan unsur formil dalam pembentukan perda. Sehingga dalam hal tidak dilaksanakan tahapan pembahasan yang diatur dalam ketentuan Pasal 9 PP No. 12 Tahun 2018, perda yang ditetapkan oleh kepala daerah atas persetujuan bersama DPRD mempunyai cacat formil dalam pembentukannya sehingga berpotensi dibatalkan oleh MA melalui pengujian formil pembentukan peraturan daerah bagi pihak yang mempunyai legal standing.
Dalam rangka melakukan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah, berdasarkan ketentuan Pasal 7 (1) UU No. 23 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa "Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Daerah". Sedangkan dalam rangka pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemrintahan oleh daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa "Pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Daerah kabupaten/kota dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat". Adapun salah satu pembinaan dan pengawasan yang dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri dan GWPP adalah pembinaan dan pengawasan kebijakan daerah, adapun kebijakan daerah yang dimaksud yaitu perda dan perkada.
Ada 2 (dua) model pembinaan pembentukan perda oleh Menteri Dalam Negeri terhadap raperda provinsi dan GWPP terhadap raperda kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan Permendagri No. 80 Tahun 2015. Pertama, evaluasi raperda, evaluasi merupakan pengkajian dan penilaian terhadap rancangan perda yang diatur sesuai undang-undang di bidang pemerintahan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya untuk mengetahui kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Adapun jenis perda yang dievaluasi sesuai dengan ketentuan Pasal 91 ayat (1) Permendagri No. 80 Tahun 2015 menyebutkan bahwa "Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi rancangan perda provinsi dan Gubernur melakukan evaluasi rancangan perda kabupaten/kota sesuai dengan:
a. undang-undang di bidang pemerintahan daerah; dan
b. peraturan perundang-undangan lainnya.
Adapun sesuai dengan ketentuan Pasal 91 ayat (2) Permendagri No. 80 Tahun 2015 menyebutkan bahwa "Evaluasi rancangan perda sesuai dengan Undang-Undang di bidang pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. RPJPD;
b. RPJMD;
c. APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD;
d. pajak daerah;
e. retribusi daerah; dan
f. tata ruang daerah".
Sedangkan sesuai dengan ketentuan Pasal 91 ayat (3) Permendagri No. 80 Tahun 2015 menyebutkan bahwa "Evaluasi rancangan perda sesuai peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b antara lain:
a. rencana pembangunan industri; dan
b. pembentukan, penghapusan, pengabungan, dan/atau perubahan status desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa".
Kedua, fasilitasi raperda, adapun fasilitasi merupakan pembinaan secara tertulis produk hukum daerah berbentuk peraturan terhadap materi muatan dan teknik penyusunan rancangan sebelum ditetapkan. Adapun materi muatan yang dilakukan pembinaan yaitu kesesuaian materi muatan raperda dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tidak bertentangan dengan ketetiban umum dan kesusilaan, oleh ketentuan UU Cipta kerja menjadi tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan sebagimana dalam pembahasan diatas. Sesuai dengan ketentuan Pasal 88 Permendagri No. 120 Tahun 2018 yang menyebutkan bahwa ayat (1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, dilakukan dalam bentuk Fasilitasi terhadap rancangan Perda, rancangan Perkada dan/atau rancangan Peraturan DPRD. (2) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bersifat wajib.
Berdasarkan ketentuan evaluasi raperda yang diatur dalam ketentuan UU No. 23 Tahun 2014 dan fasilitasi raperda yang diatur dalam ketentuan Permendagri No. 80 Tahun 2015 tersebut, dilaksanakan dalam rangka peningkatan kualitas peraturan daerah yang ditetapkan oleh kepala daerah atas persetujuan bersama DPRD agar  sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan, dan yang lebih penting sesuai dengan tujuan penyelenggaraan otonomi daerah yaitu efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah serta percepatan kesejahteraan masyarakat di daerah. Sehingga evaluasi dan fasilitasi raperda oleh Menteri Dalam Negeri untuk raperda provinsi  serta evaluasi dan fasilitasi raperda oleh GWPP merupakan bentuk pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam kerangka otonomi daerah.
Selain itu, dalam rangka tertib administrasi pembentukan perda, Menteri Dalam Negeri memberikan nomor regsiter untuk perda provinsi dan GWPP memberikan nomor register untuk perda kabupaten/kota. Pemberian nomor register perda dilakukan setelah dilakukan verifikasi atas draft raperda yang dimohonkan nomor register dengan hasil fasilitasi atau evaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk perda provinsi dan GWPP untuk perda kabupaten/kota. Dengan pemberian nomor register perda maka akan didapatkan data yang valid terkait dengan jumlah perda yang ditetapkan oleh pemerintahan daerah yang selama ini tidak jelas datanya. Melalui pemberian nomor register akan memaksa pembentuk perda mengajukan permohonan evaluasi atau fasilitasi guna mendapatkan nomor register perda.
Pembinaan pembentukan peraturan daerah melalui evaluasi dan fasilitasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk raperda provinsi dan GWPP untuk raperda kabupaten/kota dilakukan untuk menjamin pemerintahan daerah membentuk perda sesuai dengan NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Adapun dalam penetapan NSPK, pemerintah pusat mengacu atau mengadopsi praktik yang baik sesuai dengan ketentuan Pasal 176 angka 2 Pasal 16 ayat (2) UU Cipta Kerja yang menyebutkan bahwa "Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu atau mengadopsi praktik yang baik (good practices), adapun yang dimaksud good practices yaitu sesuai standar atau ketentuan yang berlaku secara internasional. Hal ini sejalan dengan politik hukum UU No. 23 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa "bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah dan antardaerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara".
Selain itu tujuan pembinaan dan pengawasan disebutkan pada Pasal 2 ayat (2) PP No. 12 Tahun 2017 yaitu "Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara efisien dan efektif untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan". Tujuan pembinaan oleh pemerintah kepada pemerintahan daerah ini perlu dilakukan agar kebijakan yang dibuat berupa peraturan daerah, keputusan kepala daerah atas kebijakan daerah lainnya dapat serasi dan sejalan dengan tujuan pusat dalam menghantarkan Negara Republik Indonesia menuju welfare state atau negara kesejahteraan yang menjadi tujuan dari negara sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUDNRI Tahun 1945.
Pada dasarnya penyerahan kewenangan urusan pemerintahan kepada pemerintahan daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan prinsip otonomi dan tugas pembantuan, memiliki otonomi  luas tidaklah berarti daerah tersebut bebas melaksanakan kewenangannya, dan tetap dilakukan pengawasan dari pemerintah sebagai pemegang tanggung jawab penyelenggaraan otonomi daerah, Bagir Manan menjelaskan pengawasan (toezicht, supervision) merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kebebasan berotonomi.
Selain itu diperlukan partisipasi publik dalam rangka pembentukan perda agar benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat untuk dibentuk oleh pemerintahan daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) PP No. 45 Tahun 2017 menyebutkan bahwa "Masyarakat berhak berpartisipasi dalam penyusunan Peraturan Daerah dan kebijakan daerah yang mengatur dan membebani Masyarakat". Adapun peraturan daerah dan kebijakan daerah yang membebani masyarakat meliputi rencana tata ruang, pajak daerah, retribusi daerah, perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah, perizinan, pengaturan yang membebani sanksi kepada masyarakat; dan pengaturan lainnya yang berdampak sosial. Dengan keterlibatan masyarakat dalam pembentukan perda akan menghasilkan perda yang responsif dan mudah dilaksanakan serta diterima oleh masyarakat akan efektif dalam penegakkanya karena masyarakat ikut terlibat dalam pembentukan perda tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H