Mohon tunggu...
Andi Ansyori
Andi Ansyori Mohon Tunggu... advokat -

selalu ingin belajar, bersahabat, menambah pengetahuan " Tidak ada salahnya baik dengan orang " dan lebih senang mendalami masalah hukum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Uniknya Menyambut Kedatangan Gerhana Matahari di Lereng Bukit Barisan Sumatera

9 Maret 2016   22:13 Diperbarui: 9 Maret 2016   22:34 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber Photo : Tempo.co"][/caption]Kisah ini , bukan kisah rekayasa, tapi kisah nyata  yang saya alami sendiri  pada pagi hari tadi (9/3) . Kisah ini lebih kepada laporan reportase,

Dimana   warga   disebuah dusun terpencil di lereng Bukit Barisan Pulau Sumatera menyambut kedatangan  Gerhana Matahari  dengan cara mereka sendiri. Tentunya saja cara menyambut kedatangan Gerhana matahari  warga dusun  tersebut akan  berbeda sekali dengan penyambutan datangnya gerhana matahari  di kota kota besar.

Jika Bosscha Bandung disiapkan 400 buah kaca mata khusus untuk memandang gerhana matahari atau ribuan warga Palembang yang bergembira ria dan tumplek plek di seputaran  jembatan Amppera seraya menikmati sajian musik dan makan mpek pek , atau  warga Surabaya sambil meringis kepedasan makan lontong bumbu petis ,  berdesak desakan  di pantai Kejaren menghadap kearah laut  nonton gerhana matahari

Maka warga di dusun kami  menyambut  fonomena gerhana matahari ,  hanya bisa  mengenakan baju baru ( bersih) dan berhikmad  di masjid masjid seusai itu lalu dilanjutkan dengan arak arakan memukul  berbagai peralatan dapur seadanya mengelilingi  dusun yang tidak begitu luas. ,  

Kisah  warga  dusun menyambut kedatangan  gerhana matahari.

Pagi itu tetes tetes air hujan nampak masih bergelayutan di dedaunan bunga bunga dan pohon perdu tersebar disekitar rumah orang tuaku. Jalan utama didusun ku  yang masih berlapis batu gunung  nampak basah tertimpah air hujan semalam. Aku dan kerabatku memang mukim disalah satu dusun terpencil di lereng Bukit Barisan Pulau Sumatera..

Di dusunku bila kita memandang kearah barat sejauh mata memandang hanya nampak hutan, gunung dan  Bukit Barisan disertai hamparan   pohon pohon besar yang di  diselimuti dengan dedaunan  berwarna hijau .Menurut tetua dusun setempat , umur  pohon pohon dihutan tersebut  ada yang sudah puluhan tahun., bahkan ada beberapa diantaranya berumur ratusan tahun. Tidak hanya itu bila musim penghujan tak jarang dusun kami juga diselimuti embun dan kabut  seperti yang terjadi pada pagi hari ini.

Seperti biasanya sesusai sholat subuh berjemaah di masjid kami selalu bercengkrama di diwarung mak Ijah tak jauh dari masjid tempat kami sholat berjemaah.

Warung Mak Ijah setiap harinya memang sudah buka seusai sholat subuh. Di warung Mak ijah itu pula ,  biasanya pagi  pagi sekali para petani dusun menitipkan barang hasil  pertanian mereka untuk dijual mak Ijah kepada warga. Dan tak ketinggalan setiap pagi juga mak ijah menyiapkan kopi hitam khas tumbukannya sendiri beserta ubi rebus dan pisang goreng bagi warga yang datang pagi itu menyambangi warungnya.

 Teringat dengan sajian kopi panas  khas buatan mak ijah, maka beberapa  jemaah masjid , rasanya tidak  afdol setiap usai sholat subuh jika  tidak mampir  kewarungnya.   

Di warung itu pula tempat  kami biasa bercengkrama dan bertukar pikiran tentang segala hal. Seperti masalah harga karet yang terus menurun, harga pupuk yang terus naik dan langkah,  harga produk pertanian yang dikuasai tengkulak termasuk mimpi mimpi kami jika jalan tol trans sumatera selesai dibangun , produksi pertanian kami akan dapat dikirim  ke Pulau Jawa khususnya Kota Jakarta.

 “ Tentunya harga produksi pertanian kita akan lebih mahal jika dijual langsung di jakarta “ Ujar Zainal  seraya tangan menyerumput kopi hitam di depannya

 “aku akan setir sendiri mobilku ke Jakarta “ timpal Indra.

 “aku juga  akan beli pakaian dari Pasar Tanah Abang guna  mencukupi kebutuhan warga   dusun kita “ tambah Indra lagi bersemangat 

 Memang indra itu sehari harinya dikenal sebagai seorang pedagang keliling yang dengan kenderaan tuanya “ Colt Mitsubishi “   setiap minggunya berkeliling dari “ Pasaran” dusun satu ke “pasaran” dusun lainya di seputaran lereng Bukit Barisan. Ia dengan mobil tuanya membawa apa saja terutama hasil pertanian warga setempat seperti pisang, jagung, dan sayur sayuran , sesuai dengan order yang didapatnya hari itu.

 Sedang seru serunya kami diskusi kecil kecilan,  Tiba tiba terdengar pengumunan dari pengeras suara masjid.

 “Kepada Bapak bapak ibu ibu warga dusun , jika ingin melakukan sholat berjemaah, sholat sunah Gerhana Matahari di masjid , pelaksanaannya akan dimulai pukul 6.30 “ ujar ketua masjid melalui  pengeras suara.

 Lalu  tak lama dari pengumuan itu kami langsung bubaran  untuk mempersiapkan diri guna sholat  berjamaah menyambut datangnya gerhana matahari.

Pagi itu pas pukul 6.30 aku dan keluarga dengan mengenakan pakaian bersih  tiba dimasjid, nampak  masjid sudah dipenuhi oleh jemaah laki dan perempuan yang mengenakan pakaian baru. . Di saf sholat bagian belakang tak ketinggalan nampak juga sudah dipenuhi anak anak kecil yang juga mengenakan pakaian baru seperti  orang tua mereka.

Beberapa orang yang duduk di saf sholat terdepan dengan  menggunakan pengeras suara secara bergantian ,   melantunkan  ayat ayat   suci Alqur’an, zikir dan puja puji ke Allah SWT.

 Dalam kesempatan tausiahnya chotib masjid seusai sholat  , menguraikan kisah ketika terjadi gerhana matahari dizaman Rasullulah

 “Gerhana Matahari adalah peristiwa terhalangnya cahaya Matahari oleh Bulan sehingga tidak sampai ke Bumi dan selalu terjadi pada saat fase bulan baru. : Ujar Chotib Masjid dalam mukadimahnya .

Sebagai Ummat Islam, penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana Islam menghadapi moment semacam ini? Tentu saja, bukan hanya melewatkannya dengan berfoto-foto ria. Islam punya tuntunan sendiri dalam hal ini sebagaimana yang dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 Keyakinan Keliru yang menyelisihi aqidah

Banyak masyarakat awam yang tidak paham bagaimana menghadapi fenomena alami ini. Banyak di antara mereka yang mengaitkan kejadian alam ini dengan mitos-mitos dan keyakinan khurofat yang menyelisihi aqidah yang benar. Dalam tausiahnya ia pun sempat menyindir warga kampung itu. Chotib sempat menyindir warga dusun

 “Di antaranya saudara saudara kita  , ada keyakinan yang menyelisihi aqida, mereka mendapat ceritera yang salah secara turun temurun.” Ujar Chotib masjid.

 “Tugas saya hanya mengingatkan saja “ Tambah Chotib dalam tausiahnya

 Mereka meyakini bahwa di saat terjadinya gerhana, ada sesosok raksasa besar bekulit hitam bermuka bengis yang sedang berupaya menelan matahari sehingga wanita yang hamil disuruh bersembunyi di bawah tempat tidur dan masyarakat menumbuk lesung dan alu serta menabuh berbagai peralatan dapur guna  mengusir sang raksasa.

Sebagian lagi ada diantara masyarakat seringkali mengaitkan peristiwa gerhana dengan kejadian-kejadian tertentu, seperti adanya kematian atau kelahiran, dan kepercayaan ini dipercaya secara turun temurun sehingga menjadi keyakinan umum masyarakat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membantah keyakinan orang Arab tadi. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat gerhana tersebut, maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari no. 1044)

“Itulah keyakinan-keyakinan keliru yang seharusnya tidak dimiliki seorang muslim ketika terjadi fenomena alam semacam ini.” Kata chotib masjid mengakhiri tausiahnya. 

Usai sholat terutama ibu ibu dan anak anak langsung behamburan keluar masjid pulang kerumah masing masing. Sebagian lagi jemaah , terutama orang orang tua  sepuh , seraya berzikir tetap ditempat sampai berakhir perkiraan waktu gerhana.

Tak lama dari situ nampak para remaja dan anak anak  dan juga terlihat ada diantaranya ibu ibu yang berduyun duyun  menuju  jalan utama  dusun.

Mereka  sepertinya membentuk barisan sendiri dan berarak arakan  seraya menabuh  peralatan dapur seadanya  yang mereka bawa  dari rumahnya masing masing .

Alat alat yang mereka bawa antara lain seperti piring seng, kuali kecil, baskom lengkap dengan alat penabuhnya seperti sendok dan centong makan terbuat dari tembaga.

 Tin tin.

Terdengar suara klakson mobil tua “ colt mitsubishi “milik  Indra yang mendahului arak arakan sekaligus menjadi  voredes arak arakan warga dusun. Rupanya tujuan Indra buru buru pamit keluar dari masjid seusai sholat gerhana tadi, tak lain hanya akan mengkoordinir arak arakan  warga dusun., 

Teng.. tong..teng ..teng ..tong

Bunyi gaduh tetabuhan saling bersautan yang meramaikan sepanjang jalan utama  di dusun di pagi hari ini .

Tak lama kemudian terdengar  suara beduk bertalu talu yang ditabuh para pemuda dari arah masjid dusun. Memang di dusun kecil itu ada dua masjid satu masjid dibangun bagian hilir dusun  dan yang satu lagi masjid dibangun  dibagian hulu dusun.

Maka lengkaplah kemeriahan dusun itu menyambut datangnya fenomena gerhana matahari. Sekaligus untuk mengusir sang raksasa berkulit hitam dan berwajah bengis yang akan menelan matahari sebagaimana yang menjadi  kepercayaan sebagian besar warga dusun setempat.

Baru beberapa menit berlalu  usai mendengarkan  tausiah chotib masjid, rupanya warga dusun seperti sudah lupa isi dan peringatan dalam tausiah chotib di masjid tadi

Pada hal chotib Masjid  sudah memperingatkan bahwa dengan membunyikan tetabuhan seperti menumbuk lesung, menabuh alat alat dapur itu adalah sebuah perbuatan keliru dan menyelisih aqidah dalam islam atau dengan kata lain perbuatan menabuh alat alat dapur dan menumbuk lesung dikala Gerhana bulan atau gerhana matahari menurut Chotib masjid sebagaimana yang terjadi pagi ini  adalah sebuah perbuatan “  bid’ah.

Namun apa mau dikata itu lah warga  dusun. Dusun mereka terlalu terpencil , di ceruk lereng Bukit Barisan Pulau Sumatera. Hingga kini listrik saja belum masuk. Karena terkendala listrik itupula lah maka  tidak ada satupun lembaga perbank an yang sanggup membuka kantor cabangnya didusun tersebut.

Mereka menabuh piring, baskom, kuali dan arak arakan setiap  terjadi Gerhana , Menurut warga dusun tersebut , tidak berkaitan dengan agama , tapi lebih kepada budaya dan hiburan belaka. Karena dusunnya terlalu terpencil , maka tidak ada hiburan yang mudah didapat disana.

Dulu  penulis pernah bertanya , kepada tetua dusun setempat , darimana asalnya budaya setiap ada gerhana bulan atau gerhana matahari warga dusun beramai ramai membuat arak arakan dan  menabuh alat alat dapur dan  beduk di masjid masjid.

Jawab mereka dengan entengnya.“ Ya , tanya bapak mu “

Menurut ceritera guru ngaji kami , kegiatan menyambut kedatangan gerhana bulan atau gerhana matahari didusun itu dengan cara  membunyikan tetabuhan alat alat dapur adalah tradisi turun temurun dari dulu dulunya , dari sononya , hingga sekarang belum berubah.

Miris  rasanya,  didusunku ,  walaupun dunia sudah berubah dan era globalisasi dan tehnolgi informasi sudah melanda Indonesia, dusun kami seperti masih berkutat seperti  zaman batu tempo dulu.

Itulah yang penulis maksud cara unik orang  di sebuah dusun terpencil dilereng Bukit Barisan Sumatera menyambut  kedatangan gerhana matahari.

 

Pertanyaanya :  Siapa yang salah ya... pemerintah...atau ... salah sendiri kenapa mau tinggal di desa terpencil seperti itu?

 

Sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun