[caption caption="Sumber Photo : Tempo.co"][/caption]Kisah ini , bukan kisah rekayasa, tapi kisah nyata  yang saya alami sendiri  pada pagi hari tadi (9/3) . Kisah ini lebih kepada laporan reportase,
Dimana  warga  disebuah dusun terpencil di lereng Bukit Barisan Pulau Sumatera menyambut kedatangan  Gerhana Matahari  dengan cara mereka sendiri. Tentunya saja cara menyambut kedatangan Gerhana matahari  warga dusun  tersebut akan  berbeda sekali dengan penyambutan datangnya gerhana matahari  di kota kota besar.
Jika Bosscha Bandung disiapkan 400 buah kaca mata khusus untuk memandang gerhana matahari atau ribuan warga Palembang yang bergembira ria dan tumplek plek di seputaran  jembatan Amppera seraya menikmati sajian musik dan makan mpek pek , atau  warga Surabaya sambil meringis kepedasan makan lontong bumbu petis ,  berdesak desakan  di pantai Kejaren menghadap kearah laut  nonton gerhana matahari
Maka warga di dusun kami  menyambut  fonomena gerhana matahari ,  hanya bisa  mengenakan baju baru ( bersih) dan berhikmad  di masjid masjid seusai itu lalu dilanjutkan dengan arak arakan memukul  berbagai peralatan dapur seadanya mengelilingi  dusun yang tidak begitu luas. , Â
Kisah  warga  dusun menyambut kedatangan  gerhana matahari.
Pagi itu tetes tetes air hujan nampak masih bergelayutan di dedaunan bunga bunga dan pohon perdu tersebar disekitar rumah orang tuaku. Jalan utama didusun ku  yang masih berlapis batu gunung  nampak basah tertimpah air hujan semalam. Aku dan kerabatku memang mukim disalah satu dusun terpencil di lereng Bukit Barisan Pulau Sumatera..
Di dusunku bila kita memandang kearah barat sejauh mata memandang hanya nampak hutan, gunung dan  Bukit Barisan disertai hamparan  pohon pohon besar yang di  diselimuti dengan dedaunan  berwarna hijau .Menurut tetua dusun setempat , umur  pohon pohon dihutan tersebut  ada yang sudah puluhan tahun., bahkan ada beberapa diantaranya berumur ratusan tahun. Tidak hanya itu bila musim penghujan tak jarang dusun kami juga diselimuti embun dan kabut  seperti yang terjadi pada pagi hari ini.
Seperti biasanya sesusai sholat subuh berjemaah di masjid kami selalu bercengkrama di diwarung mak Ijah tak jauh dari masjid tempat kami sholat berjemaah.
Warung Mak Ijah setiap harinya memang sudah buka seusai sholat subuh. Di warung Mak ijah itu pula ,  biasanya pagi  pagi sekali para petani dusun menitipkan barang hasil  pertanian mereka untuk dijual mak Ijah kepada warga. Dan tak ketinggalan setiap pagi juga mak ijah menyiapkan kopi hitam khas tumbukannya sendiri beserta ubi rebus dan pisang goreng bagi warga yang datang pagi itu menyambangi warungnya.
 Teringat dengan sajian kopi panas  khas buatan mak ijah, maka beberapa  jemaah masjid , rasanya tidak  afdol setiap usai sholat subuh jika  tidak mampir  kewarungnya.  Â
Di warung itu pula tempat  kami biasa bercengkrama dan bertukar pikiran tentang segala hal. Seperti masalah harga karet yang terus menurun, harga pupuk yang terus naik dan langkah,  harga produk pertanian yang dikuasai tengkulak termasuk mimpi mimpi kami jika jalan tol trans sumatera selesai dibangun , produksi pertanian kami akan dapat dikirim  ke Pulau Jawa khususnya Kota Jakarta.