Mohon tunggu...
Andi P. Rukka
Andi P. Rukka Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis yang belajar menjadi birokrat

Menulis untuk menebar manfaat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kuncup Demokrasi dari Tepi Danau Lampulung (Bagian Ketiga)

12 Agustus 2022   19:21 Diperbarui: 23 Agustus 2022   04:35 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada bagian kedua, kita sudah menguraikan tentang asal-usul orang Wajo. Maka pada Bagian ketiga ini, kita akan mengulas tentang Masa-masa Sebelum Wajo terbentuk dengan judul Masa-masa Pra Wajo. Selamat membaca....

Banyak kisah atau cerita yang disetujui (pau-pau rikadong, ikadoi = disetujui) yang dituturkan secara turun-temurun tentang awal mula berdirinya Kerajaan Wajo. 

Salah satu di antaranya yang paling terkenal adalah tentang seorang putri Luwu yang bernama We Taddampali. Konon putri ini mengidap penyakit kulit yang dianggap sudah tidak tersembuhkan. Karena orang tuanya khawatir penyakit itu akan menular kepada warga Luwu, maka Sang Putri diasingkan ke luar Luwu.

Dalam pengasingannya, Sang putri pergi tanpa tujuan, ia hanya ditemani serombongan pelayan. Selama empat puluh hari empat puluh malam mereka terombang-ambing di lautan, sampai akhirnya mereka terdampar di sebuah daratan dan menemukan pohon bajo yang besar. Di sanalah mereka membangun perkampungan dan mulai menetap di situ.

Pada suatu hari, seekor kerbau memasuki perkampungan tempat Sang Putri tinggal dan mendekati rumahnya. Saat Sang Putri mencoba mengusirnya, kerbau itu malah mengejarnya hingga terjatuh. Dalam keadaan tidak berdaya dan pasrah menunggu apa yang akan terjadi, kerbau itu ternyata hanya menjilati seluruh tubuhnya lalu pergi dan kembali masuk ke dalam hutan. 

Usai peristiwa itu,  Sang putri segera mandi di sungai, lalu kembali ke rumahnya dan tertidur. Ketika ia terbangun, dia menyadari bahwa kondisi kulitnya lebih baik dari sebelumnya. Dia sangat gembira, dan menemui kerbau setiap hari sampai dia benar-benar pulih dan menjadi wanita yang cantik jelita.

Beberapa waktu kemudian, seorang pangeran dari Bone tiba di perkampungan itu. Perburuan rusa yang dilakukannya selama tujuh hari telah membuatnya kehabisan bekal. Ketika pangeran itu melihat sang putri, sang pangeran pun jatuh cinta padanya. Karena begitu terpesona akan kecantikannya, sang pangeran pun tidak sadarkan diri. 

Pangeran itu lalu kembali ke Bone dan menangis tersedu-sedu karena dimabuk cinta. Penguasa Bone bingung dengan kesusahan putranya. Penguasa Bone akhirnya menyadari bahwa pangeran sedang jatuh cinta, lalu segera mengirimkan delegasi bersenjata untuk meminta sang putri menikahi putranya. Akhirnya, mereka menikah dan melahirkan anak-anak yang kelak menjadi rakyat Wajo.

Ada juga kisah lain tentang awal mula berdirinya Kerajaan Wajo, yaitu kisah tentang La Banra yang dituturkan dalam sejumlah versi. Salah satu kisah di antaranya menyebutkan bahwa La Banra merupakan keturunan Datu Soppeng. 

Dia diusir oleh saudara-saudaranya karena iri hati pada keahlian La Banra dalam mengelola lahan pertanian. La Banra pun meninggalkan wilayahnya bersama seekor anjing yang bernama We Dunresa. Ketika memasuki wilayah Akkotengeng, We Dunresa menolak untuk pergi lebih jauh, sehingga La Banra menetap di sana dan mulai bercocok tanam.

Suatu malam, La Banra menemukan seekor babi hutan di perkebunannya. Ditusuknya babi itu dengan tombak yang diberikan oleh penguasa Akkotengeng. Babi hutan itu melarikan diri dengan tombak di tubuhnya. 

Karena menghargai tombak pusaka dari Akkotengeng tersebut, La Banra berusaha mengambil kembali tombak itu. Dalam pencariannya, We Dunresa menemukan babi itu dengan tombak masih menancap di tubuhnya. Babi itu terbaring di bawah sebuah pohon bajo yang tumbuh di sebelah utara Sekkanasu.

Setelah berhasil mendapatkan tombak tersebut, La banra mengembalikannya kepada pemiliknya karena sudah tidak mau hidup di bawah kekuasaan Akkotengeng. La Banra lalu membangun tempat tinggal di sekitar pohon bajo itu dan bermukim di sana. Pemukimannya berkembang. Penduduk Sirinyameng yang kelaparan kemudian bermigrasi ke daerah itu dan tinggal dengan persetujuan La Banra.

Dalam kisah lain, La Banra adalah putra penguasa Taoni dan menantu Datu Soppeng. Dia diusir dari Soppeng karena mampu menghasilkan tuak dalam jumlah yang sangat banyak dalam waktu singkat. Selama dalam perjalanan pengusirannya, La Banra bertemu dengan seekor anjing yang luar biasa di Mampu dan seekor buaya yang luar biasa di Welado. La Banra lalu menetap di Paria, Rumpia dan Macanang.

Dalam cerita yang lain, La Banra adalah anak dari Pollipu Soppeng, seorang perwira di bawah Datu. Dengan keahliannya memproduksi tuak, La Banra membawa kehidupan baru ke sebuah perkampungan yang didirikan oleh La Matanawa, putra penguasa Takkalasi. 

La Matanawa menyebabkan kemarahan ayahnya karena tidak ikut berperang. Ia akhirnya meninggalkan perkampungan itu bersama istrinya dan mendirikan Wajo. Ketika jumlah penduduk semakin banyak, La Matanawa diangkat menjadi pemimpin. Saat meninggal dunia, La Matanawa digantikan oleh La Banra.

Kisah keempat yang melibatkan La Banra, menggambarkan bagaimana Wajo terbentuk dari sebuah perkampungan yang bernama Majauleng, sebuah wilayah yang subur. Hasil panennya melimpah.

Saat musim paceklik melanda, Majauleng tetap saja memiliki hasil panen yang melimpah, sehingga banyak orang yang bermigrasi dari Paria, Sekkanasu, Rumpia, Penrang, dan Kading menuju ke Majauleng. Sebagian besar memilih untuk tinggal bermukim, sehingga populasi penduduk Majauleng berkembang pesat. Majauleng lalu berganti nama menjadi Wajo setelah pohon bajo ditebang untuk mendirikannya.

Itulah cerita-cerita rakyat yang beredar tentang awal mula berdirinya Wajo, yang dituturkan secara turun temurun hingga menjadi konsumsi generasi masa kini. Namun kisah yang lebih banyak dikutip tentang awal berdirinya Wajo adalah yang tertulis dalam Lontara Sukkuna Wajo (LSW).

Dalam LSW dituturkan bahwa pada awalnya adalah sebuah hamparan dataran rendah yang membentang sejauh mata memandang. Dari tempat itu terlihat perbukitan berwarna biru berjejer mengelilingi tempat itu. Tidak ada gunung yang tinggi, atau tebing yang terjal. Yang ada hanya padang yang luas, dan sejumlah rumpun semak yang kadang mengelompok lebat hingga menyerupai hutan. 

Di dalamnya hidup berbagai binatang seperti babi liar, rusa, kerbau dan berbagai jenis burung. Salah satu bagian dari hamparan tanah datar itu adalah cekungan yang terisi air, sehingga bisa disebut sebagai danau atau telaga. Airnya jernih dan mendapatkan suplai air dari Sungai Cenranae yang hulunya berada di Danau Tempe. Banyak jenis ikan yang hidup di sana.

Pemukim pertama di tempat itu adalah seorang laki-laki Bugis yang tidak diketahui nama dan asal-usulnya. Ada yang mengatakan kalau orang tersebut berasal dari sebelah gunung di dekat pantai. Ia pandai berbicara dan memberikan nasihat atau petuah. Untuk menunjang hidupnya, orang itu bertani dan menangkap ikan. Pengetahuannya tentang bercocok tanam sangat baik, sehingga hasil pertanian melimpah karena terjaga dan terpelihara dengan baik.

Karena orang itu cakap dan bisa menyediakan sumber penghidupan, maka orang berbondong-bondong datang dan turut bermukim di tempat itu. Dalam waktu singkat, kawasan tersebut mulai dipadati penduduk. 

Menurut penulis, mungkin karena kawasan tersebut menarik untuk ditempati bermukim sehingga orang-orang datang berkumpul di sana, yang dalam bahasa Bugis disebut sipulung (berkumpul). Oleh karena itu, danau yang menjadi sumber air di kawasan tersebut diberi nama Danau Lampulung, sedangkan orang yang pertama bermukim dan menjadi pemimpin di tempat itu dipanggil Puangnge ri Lampulungeng.

Setelah semakin banyak orang yang datang bergabung, dan pemukiman  di sana, maka Puangnge ri Lampulungeng berpindah ke sebuah tempat yang lebih luas di sebelah timur dan tidak jauh dari tepi laut, yang diberi nama Sirinyameng. Sebagian warganya bekerja menyadap tuak. 

Sementara Puangnge ri Lampulungeng yang sudah menetap di tempat itu dan sering menunggangi seekor babi besar, memberi nama tempat tinggalnya Saebawi (mengendarai babi).

Setelah Puangnge ri Lampulungeng wafat karena sakit, tempatnya meninggal disebut Penrangnge [AR1]. Kematian Puangnge ri Lampulungeng membuat masyarakat ketiga perkampungan itu kacau balau. 

Mereka kehilangan pemimpin yang bisa mempersatukan dan bisa memberi mereka wejangan yang dibutuhkan. Akhirnya mereka keluar dari perkampungan itu dan membentuk kampung sendiri-sendiri. Ada yang menamakan kampungnya Sekkanasu, Wewattana, dan Belogalung.

Selang beberapa waktu kemudian, seseorang yang memiliki kemampuan yang hampir sama dengan Puangnge ri Lampulungeng muncul di tempat itu. Banyak orang yang mengira orang itu adalah Puangnge ri Lampulungeng yang hidup kembali. Padahal ia adalah orang yang berbeda. 

Dialah yang kemudian mengajarkan penggunaan kulit kayu (Tebba')  sebagai bahan campuran tuak yang bermanfaat untuk meningkatkan vitalitas. 

Tradisi bermusyawarah dengan rakyat dalam segala hal juga mulai muncul pada masa itu. Lama kelamaan, orang itu digelari Puangnge ri Timpengeng. Karena anak yang menyertainya selalu berkata, timpengengngi puengta (suguhkanlah untuk tuan kita). Adapun tempat mereka bermukim dan beraktivitas diberi nama Boli, diambil dari nama wadah penyimpanan tuak.

Di bawah kepemimpinan Puangnge ri Timpengeng, Boli kembali tumbuh dan berkembang dengan pesat. Ratusan rumah terbangun dan kesejahteraan warganya meningkat. Ketika Puangnge Ri Timpengeng meninggal dunia, warga Boli larut dalam duka cita yang mendalam. Mereka kehilangan orang yang bisa mereka jadikan sebagai panutan dalam kehidupan. 

Mereka juga merasa khawatir, dengan tidak adanya pemimpin yang kuat, menjadi akan jadi rebutan unit-unit politik yang lebih kuat untuk dijajah atau ditindas. Mereka tercerai berai karena tidak lagi memiliki pemimpin kharismatik yang dapat mempersatukan mereka dan bisa dijadikan sebagai panutan dan tempat bertanya. Akhirnya, lama-kelamaan, Boli mati ditinggalkan oleh penduduknya.

Sumber informasi lain yang juga menguraikan tentang kondisi sebelum Wajo terbentuk adalah epos I La Galigo. Karya sastra terpanjang dalam sejarah ini menceritakan tentang tokoh yang bernama Sawerigading Putra Datu Luwu yang merupakan keturunan dari Batara Guru. 

Tokoh ini diceritakan datang ke Kerajaan Cina setelah melewati berbagai rintangan untuk menikahi We Cudai, seorang gadis yang berasal dari Kerajaan Cina. Konon, perburuan Sawerigading terhadap We Cudai karena wajah Wecudai yang cantik jelita serupa dengan saudara kandungnya.

Dari pernikahan mereka, lahirlah La Galigo yang merupakan tokoh utama dalam epos tersebut. Kerajaan Cina (perlu dibedakan dengan Kekaisaran Tiongkok, China), adalah sebuah kerajaan tua yang diperkirakan terletak di sekitar Danau Tempe. Kerajaan yang berdiri di sekitar Lembah Sungai Cenranae ini diperkirakan telah eksis pada sekitar abad ketiga belas masehi. 

Jika betul demikian, lokasi Kerajaan Cina ini kelak merupakan bagian dari Kerajaan Wajo. Kerajaan Cina disebut sebagai cikal bakal lahirnya peradaban Bugis di Sulawesi Selatan.  

Dalam LSW disebutkan bahwa dari Kerajaan Cina inilah datang seorang pangeran yang bernama La Paukke bersama pengikut-pengikutnya yang mengembara dan tiba di Cinnongtabi dan mendirikan Kerajaan Cinnongtabi. Dialah yang kemudian menjadi leluhur pemuka-pemuka masyarakat Wajo.

Dari berbagai sumber informasi yang diuraikan di atas, kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya sudah banyak unit politik yang tersebar di berbagai tempat dan terbentuk sebagai komunitas yang memiliki adat istiadat dan budayanya masing-masing. Besar kecilnya kaitan mereka terhadap pembentukan Wajo, akan terlihat dalam uraian-uraian kita berikutnya.


Bersambung .....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun