Karena menghargai tombak pusaka dari Akkotengeng tersebut, La Banra berusaha mengambil kembali tombak itu. Dalam pencariannya, We Dunresa menemukan babi itu dengan tombak masih menancap di tubuhnya. Babi itu terbaring di bawah sebuah pohon bajo yang tumbuh di sebelah utara Sekkanasu.
Setelah berhasil mendapatkan tombak tersebut, La banra mengembalikannya kepada pemiliknya karena sudah tidak mau hidup di bawah kekuasaan Akkotengeng. La Banra lalu membangun tempat tinggal di sekitar pohon bajo itu dan bermukim di sana. Pemukimannya berkembang. Penduduk Sirinyameng yang kelaparan kemudian bermigrasi ke daerah itu dan tinggal dengan persetujuan La Banra.
Dalam kisah lain, La Banra adalah putra penguasa Taoni dan menantu Datu Soppeng. Dia diusir dari Soppeng karena mampu menghasilkan tuak dalam jumlah yang sangat banyak dalam waktu singkat. Selama dalam perjalanan pengusirannya, La Banra bertemu dengan seekor anjing yang luar biasa di Mampu dan seekor buaya yang luar biasa di Welado. La Banra lalu menetap di Paria, Rumpia dan Macanang.
Dalam cerita yang lain, La Banra adalah anak dari Pollipu Soppeng, seorang perwira di bawah Datu. Dengan keahliannya memproduksi tuak, La Banra membawa kehidupan baru ke sebuah perkampungan yang didirikan oleh La Matanawa, putra penguasa Takkalasi.Â
La Matanawa menyebabkan kemarahan ayahnya karena tidak ikut berperang. Ia akhirnya meninggalkan perkampungan itu bersama istrinya dan mendirikan Wajo. Ketika jumlah penduduk semakin banyak, La Matanawa diangkat menjadi pemimpin. Saat meninggal dunia, La Matanawa digantikan oleh La Banra.
Kisah keempat yang melibatkan La Banra, menggambarkan bagaimana Wajo terbentuk dari sebuah perkampungan yang bernama Majauleng, sebuah wilayah yang subur. Hasil panennya melimpah.
Saat musim paceklik melanda, Majauleng tetap saja memiliki hasil panen yang melimpah, sehingga banyak orang yang bermigrasi dari Paria, Sekkanasu, Rumpia, Penrang, dan Kading menuju ke Majauleng. Sebagian besar memilih untuk tinggal bermukim, sehingga populasi penduduk Majauleng berkembang pesat. Majauleng lalu berganti nama menjadi Wajo setelah pohon bajo ditebang untuk mendirikannya.
Itulah cerita-cerita rakyat yang beredar tentang awal mula berdirinya Wajo, yang dituturkan secara turun temurun hingga menjadi konsumsi generasi masa kini. Namun kisah yang lebih banyak dikutip tentang awal berdirinya Wajo adalah yang tertulis dalam Lontara Sukkuna Wajo (LSW).
Dalam LSW dituturkan bahwa pada awalnya adalah sebuah hamparan dataran rendah yang membentang sejauh mata memandang. Dari tempat itu terlihat perbukitan berwarna biru berjejer mengelilingi tempat itu. Tidak ada gunung yang tinggi, atau tebing yang terjal. Yang ada hanya padang yang luas, dan sejumlah rumpun semak yang kadang mengelompok lebat hingga menyerupai hutan.Â
Di dalamnya hidup berbagai binatang seperti babi liar, rusa, kerbau dan berbagai jenis burung. Salah satu bagian dari hamparan tanah datar itu adalah cekungan yang terisi air, sehingga bisa disebut sebagai danau atau telaga. Airnya jernih dan mendapatkan suplai air dari Sungai Cenranae yang hulunya berada di Danau Tempe. Banyak jenis ikan yang hidup di sana.
Pemukim pertama di tempat itu adalah seorang laki-laki Bugis yang tidak diketahui nama dan asal-usulnya. Ada yang mengatakan kalau orang tersebut berasal dari sebelah gunung di dekat pantai. Ia pandai berbicara dan memberikan nasihat atau petuah. Untuk menunjang hidupnya, orang itu bertani dan menangkap ikan. Pengetahuannya tentang bercocok tanam sangat baik, sehingga hasil pertanian melimpah karena terjaga dan terpelihara dengan baik.