Mohon tunggu...
Andi P. Rukka
Andi P. Rukka Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis yang belajar menjadi birokrat

Menulis untuk menebar manfaat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kuncup Demokrasi dari Tepi Danau Lampulung (Bagian Ketiga)

12 Agustus 2022   19:21 Diperbarui: 23 Agustus 2022   04:35 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Karena orang itu cakap dan bisa menyediakan sumber penghidupan, maka orang berbondong-bondong datang dan turut bermukim di tempat itu. Dalam waktu singkat, kawasan tersebut mulai dipadati penduduk. 

Menurut penulis, mungkin karena kawasan tersebut menarik untuk ditempati bermukim sehingga orang-orang datang berkumpul di sana, yang dalam bahasa Bugis disebut sipulung (berkumpul). Oleh karena itu, danau yang menjadi sumber air di kawasan tersebut diberi nama Danau Lampulung, sedangkan orang yang pertama bermukim dan menjadi pemimpin di tempat itu dipanggil Puangnge ri Lampulungeng.

Setelah semakin banyak orang yang datang bergabung, dan pemukiman  di sana, maka Puangnge ri Lampulungeng berpindah ke sebuah tempat yang lebih luas di sebelah timur dan tidak jauh dari tepi laut, yang diberi nama Sirinyameng. Sebagian warganya bekerja menyadap tuak. 

Sementara Puangnge ri Lampulungeng yang sudah menetap di tempat itu dan sering menunggangi seekor babi besar, memberi nama tempat tinggalnya Saebawi (mengendarai babi).

Setelah Puangnge ri Lampulungeng wafat karena sakit, tempatnya meninggal disebut Penrangnge [AR1]. Kematian Puangnge ri Lampulungeng membuat masyarakat ketiga perkampungan itu kacau balau. 

Mereka kehilangan pemimpin yang bisa mempersatukan dan bisa memberi mereka wejangan yang dibutuhkan. Akhirnya mereka keluar dari perkampungan itu dan membentuk kampung sendiri-sendiri. Ada yang menamakan kampungnya Sekkanasu, Wewattana, dan Belogalung.

Selang beberapa waktu kemudian, seseorang yang memiliki kemampuan yang hampir sama dengan Puangnge ri Lampulungeng muncul di tempat itu. Banyak orang yang mengira orang itu adalah Puangnge ri Lampulungeng yang hidup kembali. Padahal ia adalah orang yang berbeda. 

Dialah yang kemudian mengajarkan penggunaan kulit kayu (Tebba')  sebagai bahan campuran tuak yang bermanfaat untuk meningkatkan vitalitas. 

Tradisi bermusyawarah dengan rakyat dalam segala hal juga mulai muncul pada masa itu. Lama kelamaan, orang itu digelari Puangnge ri Timpengeng. Karena anak yang menyertainya selalu berkata, timpengengngi puengta (suguhkanlah untuk tuan kita). Adapun tempat mereka bermukim dan beraktivitas diberi nama Boli, diambil dari nama wadah penyimpanan tuak.

Di bawah kepemimpinan Puangnge ri Timpengeng, Boli kembali tumbuh dan berkembang dengan pesat. Ratusan rumah terbangun dan kesejahteraan warganya meningkat. Ketika Puangnge Ri Timpengeng meninggal dunia, warga Boli larut dalam duka cita yang mendalam. Mereka kehilangan orang yang bisa mereka jadikan sebagai panutan dalam kehidupan. 

Mereka juga merasa khawatir, dengan tidak adanya pemimpin yang kuat, menjadi akan jadi rebutan unit-unit politik yang lebih kuat untuk dijajah atau ditindas. Mereka tercerai berai karena tidak lagi memiliki pemimpin kharismatik yang dapat mempersatukan mereka dan bisa dijadikan sebagai panutan dan tempat bertanya. Akhirnya, lama-kelamaan, Boli mati ditinggalkan oleh penduduknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun