Bab 3 : Mengapa Dia Berbeda?
Aya bertanya ke sana ke mari, tapi tak kunjung menemukan jawaban. Sebagian dari mereka yang Aya tanyai justru menganggap Aya perempuan gila sebab penampilannya yang acak-acakan: bajunya berlubang, rambutnya berantakan, dan kakinya berdarah karena tak memakai alas kaki.
"Pak, desa ini namanya desa apa, ya?" tanya Aya pada orang yang ke sekian.
"Pak? Sejak kapan saya nikah sama Ibumu?"
"M-maksudnya Paman." Aya menggaruk tengkuk yang tak gatal.
"Sejak kapan saya menikah dengan Bibimu?" Lelaki berperut buncit itu menoleh ke arah Aya sekilas lalu lanjut mengelus surai cokelat milik kudanya.
"Baiklah. Maksud saya, Desa ini namanya desa apa, ya, Tuan?"
Kali ini, lelaki itu menghadap Aya, lalu melihat Aya dari atas ke bawah seolah menilai.
"Desa Lunaris, masih dalam wilayah kerajaan Arcanum yang bertetangga dengan kerajaan Eldoria. Puas?"
Aya menggaruk dagu. Ekspresinya masam. Perasaannya tak enak. Kerajaan? Sejak kapan Indonesia jadi negara kerajaan? Kalau orang itu jawabnya Kerajaan Majapahit, Aya masih bisa mengerti. Aya masih bisa menebak kemungkinan bahwa dirinya mengalami time travel ke masa lalu. Lah ini?
"Kira-kira seberapa jauh dari kota J?" tanyanya, masih berusaha berpikir positif.
"Kota J? Saya belum pernah dengar. Apa kau berasal dari kerajaan tetangga?"
Aya menggeleng.
Lelaki itu membuang napas lewat mulut, terdengar frustrasi.
"Sudah kuduga. Sana tanya yang lain saja. Saya tidak punya waktu meladeni orang gila."
Aya menyingkir dari sana. Dia takut ditendang kuda yang juga seolah enggan melihatnya sebagaimana pemiliknya. Aya berjongkok di tengah keramaian pasar lalu menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Aya menangis, tak peduli dirinya telah menjadi pusat perhatian.
Sebenarnya apa yang telah terjadi? Tidak mungkin, 'kan mereka semua berbohong pada Aya? Bagaimana bisa dia berada di desa ini? Dia ingat betul Angel mendorongnya ke kolam sekolah. Aya pun tak akan lupa ketika dia merasa sekarat dan ....
Tiba-tiba terbangun di sungai. Apakah mungkin dia telah berpindah dimensi dan bukannya dibuang oleh Angel dan Delia?
Di tengah isak tangisnya, seseorang menyodorkan bungkusan kain padanya. Aya bisa melihatnya dari sela jemarinya. Aya menjauhkan tangan dari wajah. Mendongak menatap seseorang yang berdiri tepat di hadapannya.
"Kamu?" tanyanya lalu berdiri berhadapan dengan orang itu.
"Makan," ucapnya dengan nada bicara yang terkesan dingin dan memerintah. Matanya melirik bungkusan kain yang tak kunjung diambil Aya.
Aya menggeleng. Alih-alih meraih bungkusan itu, Aya menarik ujung lengan baju Albiru.
"Tolong bawa aku ke sungai itu. Aku mau pulang." Air mata Aya semakin menjadi. Di pikirannya, sungai itu adalah satu-satunya cara untuk pulang. Sedang Albiru adalah orang yang jelas tahu tempatnya.
"Sungai?"
Aya mengangguk.
Albiru mengernyit. Apa hubungannya sungai dan pulang? Albiru terdiam sesaat lalu kemudia berkata,
"Kau tahu, 'kan kalau tak ada yang gratis di dunia ini?"
Aya mengangguk ragu.
"Aku akan membawamu ke sana, tapi sebelum itu, kau harus jadi pelayan di rumahku selama satu bulan."
"Kenapa begitu lama? Kau hanya perlu mengantarku. Atau setidaknya berikan saja aku peta atau semacamnya."
Albiru menatap Aya dengan pandangan rumit, lalu menggeleng pelan.
"Sebulan atau tidak sama sekali?"
"Tidak bisa kah kau mengantarku hari ini? Aku ini perempuan, bagaimana bisa kau berencana menahan anak perawan orang--"
"Perawan?" Albiru menyela ucapan Aya, lalu tersenyum meremehkan. Lelaki itu maju selangkah, berdiri lebih dekat di depan Aya lalu mencondongkan tubuhnya. Aya gugup setengah mati dibuatnya, terlebih saat dirinya tak sengaja menghidu aroma tubuh Albiru yang maskulin.
"Aku bahkan tahu kau telah menyerahkan diri secara sukarela pada seorang laki-laki di luar ikatan pernikahan. Berhenti bersikap seolah-olah kau adalah gadis yang polos," bisik Albiru tepat di samping telinga Aya. Setelah itu berdiri tegak seperti semua.
Jantung Aya seolah ditusuk ribuan pedang begitu mendengar sederet kalimat yang baru saja dibisikkan Albiru. Tangannya secara refleks melayang ke wajah Albiru hingga lelaki itu tertoleh ke samping.
"Aku emang butuh bantuanmu, tapi kamu nggak punya hak untuk memfitnahku seperti itu. Kamu nggak tau apa-apa tentangku. Kamu hanya laki-laki brengsek yang hobi menyakiti hati perempuan!" Aya berteriak sembari menunjuk wajah Albiru. Hal itu sukses mengundang sesuatu dalam diri Albiru.
Ada rasa tak nyaman saat mendengar perkataan Aya, apalagi begitu melihat Air mata yang seolah membanjiri wajah Aya. Namun, Albiru mengabaikan segala rasa itu.
"Aku adalah orang nomor dua yang tahu segalanya tentangmu setelah lelaki itu. Kau tak perlu berpura--" Albiru tak melanjutkan ucapannya karena Aya tiba-tiba menginjak kakinya sekuat tenaga.
"Tutup mulut jahanammu, bajingaan!" Untuk ke sekian kalinya, Aya berteriak di depan wajah Albiru. Gadis itu merebut bungkusan yang sedari tadi dipegang Albiru dan berlari pergi menjauh.
"Namaku Albiru!" Albiru berteriak.
"Bagiku kamu bajingan!" Aya membalas sebelum akhirnya pergi entah ke mana.
Albiru terpaku di tempatnya. Untuk beberapa saat dia hanya diam. Tangannya bergerak meraba dada. Ini aneh. Kakinya yang diinjak, tapi kenapa hatinya yang cenat-cenut? Albiru memandangi arah kepergian Aya dengan perasaan campur aduk. Ini pertama kalinya ada seseorang yang memanggilnya bajingan tapi hatinya sama sekali tak tergerak untuk membunuh pelakunya atau setidaknya membuat orang itu merasakan pukulannya. Dia justru merasa ... gemas?
"Gemas? Itu gila." Albiru mengacak rambutnya.
"Ada yang salah. Aku harus memastikannya," gumamnya pada diri sendiri.
Albiru menghampiri rekan-rekannya di markas mereka yang ada di area piggiran kota, tepatnya di gedung terbengkalai yang ada di sana. Begitu melewati pintu masuk, dia langsung berkata, "Panggil aku bajingan."
Semua orang yang ada di sana jadi terkejut. Yang mengasah senjata berhenti mengasah, yang merokok mematikan rokoknya, yang makan hampir saja tersedak. Violet yang merupakan satu-satunya perempuan di gedung itu bahkan salah mengoleskan pewarna bibir sampai ke pipi saking terkejutnya.
Itu tadi Albiru, loh. Personil paling diam, paling sadis, paling kaku, tapi entah kenapa tiba-tiba meminta hal konyol. Semuanya diam, sampai seseorang memberanikan diri mengatakan apa yang Albiru pinta.
"Kau bajingan, Biru."
Begitu mendengarnya, Albiru merasa tersulut. Senyum sadis lantas menghiasi wajahnya. Sebuah pukulan diterima oleh orang itu di area perut. Begitu selesai dengan orang itu, Albiru meminta yang lain melakukannya sampai semua orang di gedung itu telah memanggilnya bajingan. Anehnya, Albiru tidak merasakan apa yang dia rasakan saat Aya yang mengatakannya.
'Kenapa gadis itu berbeda?' pikirnya.
Albiru meninggalkan tempat itu seolah-olah tak ada yang pernah terjadi. Padahal semua orang di dalam sana mengaduh sakit akibat pukulannya. Beberapa di antaranya babak belur parah karena mencoba melawan Albiru. Syukurnya, Violet perempuan. Jika dia lelaki, dia mungkin telah dilibas juga sama seperti yang lain.
Albiru tak akan pernah tahu kalau mereka kini sibuk mengabsen nama binatang yang ditujukan khusus untuknya.
"Syalan si Biru. Dia yang minta, dia pula yang menggila. Babi."
"Beruang kutub."
"Gorila."
"Serigala."
Semua orang jadi terdiam. Mereka dengan kompak menatap orang yang mengatakan 'serigala' dengan pandangan yang sulit diartikan.
*****
"Kenapa kau melakukan itu pada kami?" Lukas, salah satu rekan Albiru bertanya. Lelaki itu menghampiri Albiru di kediamannya hanya untuk menanyakan alasan Albiru melakukan hal konyol di markas tadi.
"Sedang ingin." Albiru menjawab dengan nada datar seperti biasa.
"Jika ada sesuatu, kau boleh bercerita padaku."
Albiru terdiam selama beberapa saat, lalu menoleh pada Lukas sekilas. Entah karena apa, Albiru akhirnya memutuskan untuk bercerita. Lukas menyemburkan minuman yang baru saja dia seruput begitu Albiru menjelaskan adegan di mana Aya menginjak kakinya serta perasaan yang Albiru rasakan setelahnya.
"Tolol! Itu artinya kau tertarik padanya. Dari awal kau tak perlu melakukan hal aneh pada kami hanya untuk me--" Ucapan Lukas mendadak berhenti karena Albiru menjejali mulutnya dengan sepotong roti.
Lukas melepehkan roti itu dengan emosi lalu lanjut berbicara.
"Sekarang katakan padaku, siapa perempuan itu?"
Albiru bungkam seribu bahasa. Tidak mungkin dia mengatakan bahwa perempuan yang membuatnya tertarik adalah perempuan yang sama yang menjadi target mereka dan seharusnya telah mati di tangannya.
_______
Bersambung ....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H