Mungkin ini adalah awal dari serialisasi tulisan saya mengenai Universitas Terbuka, tempat di mana saya berkuliah saat ini. Saya merasa perlu menyumbangkan tulisan bagi kampus agar para calon mahasiswa mendatang dapat menemukan tulisan ini di mesin pencari dan mampu memahami mengenai universitas ini lewat tulisan saya.Â
Kali ini saya akan bercerita mengapa saya (akhirnya) memutuskan untuk melanjutkan studi di kampus ini.
Selepas lulus SMA pada 2009 menghadapi kenyataan bahwa orangtua tak dapat menguliahkan saya. Kemudian, saya juga tak cukup cerdas untuk mendapat beasiswa. Singkat cerita, saya harus bekerja untuk membantu orangtua dan diri saya sendiri.
Beragam pekerjaan saya jalani, mulai pengkampanye program LSM Internasional, office boy, anggota satpam, sampai sekarang reporter. Pekerjaan terakhir itu awet, sejak 2013 sampai saat ini.Â
Sebelum menikah, semua pendapatan saya dedikasikan kepada orangtua. Saya tak bisa menabung untuk kuliah dan menikah, paling hanya tersisa untuk ongkos jalan sehari-hari.Â
Baca juga : 5 Alasan untuk Kuliah di Universitas Terbuka
Tetapi saya tidak hitung-hitungan, karena saya selalu yakin, bakti kepada orangtua akan selalu membawa kemujuran dan keberkahan hidup.
Akhirnya pada 2019, satu setengah tahun setelah saya menikah, saya melihat ada celah keuangan yang dapat digunakan untuk berkuliah. Jumlahnya tidak banyak dan saya rasa tidak cukup untuk perguruan tinggi swasta (PTS) di bilangan Jakarta, pun Bekasi.
Akan tetapi, jika kita mencari serius, pasti akan bertemu dengan kesempatan. Itu prinsip saya sedari dulu. Gali, gali, dan gali. Saya cek PTS satu per satu dengan kata kunci: kelas pararel, kelas karyawan, atau kelas daring.
Ternyata tak ada yang cocok dengan isi kantong saya, kecuali dua kampus milik jaringan Muhammadiyah di Jakarta. Akan tetapi, salah satu kampus tidak menawarkan kelas karyawan untuk ilmu komunikasi, dan lainnya menawarkan tapi kampus terlalu jauh.
Saya sempat teringat tentang Universitas Terbuka. Saat itu, pada 2010-an, saya melihat gelar wicara di televisi swasta yang membahas Universitas Terbuka. Beberapa tahun kemudian, universitas itu masuk ke dalam daftar pencarian saya.Â
Tapi sayang, ketika mengecek laman mereka, saya tak menemukan fakultas yang saya cari. Di sana hanya ada pendidikan keguruan.
Akhirnya pencarian itu berulang pada akhir 2018 karena saya penasaran. Saat itu tebersit, "Mungkin mereka menambah fakultas." Saya kembali mendarat pada laman mereka dan menemukan di sana ada program studi ilmu komunikasi, dan beragam program studi ilmu sosial lain.Â
Baca juga : Kuliah Maning di Universitas Terbuka, Kembali Belajar dengan Penyesuaian di Masa Pandemi
Saya kemudian mendalami cara mendaftar melalui katalog yang mereka sediakan pada laman itu dan memutuskan mendaftar secara langsung di Kantor UPBJJ Jakarta pada Desember 2018
Lalu, kenapa akhirnya saya memilih Universitas Terbuka?
1. Biaya kuliah terjangkau
Pada alinea keempat saya tulis ada 'celah keuangan' pada penganggaran saya yang dapat digunakan untuk kuliah. Ternyata besarannya tak jauh berbeda dengan biaya kuliah per semester di Universitas Terbuka.
Pada pendaftaran awal saya hanya membayar Rp1.300.000 untuk program studi ilmu komunikasi S-1 sistem paket tanpa TTM. Angka itu mencakup pembayaran SKS tujuh mata kuliah (total 21 SKS pada semester satu), tujuh bahan ajar (atau modul), biaya UAS dan lainnya.
Pada semester kedua, biayanya sama, yakni Rp1.300.000 untuk enam mata kuliah (18 SKS). Tak ada biaya uang pangkal atau uang gedung, karena Universitas Terbuka menggunakan model belajar jarak jauh atau daring.
2. Fleksibel
Ada dua layanan tutorial dari Universitas Terbuka bagi para mahasiswa. Pertama, tutorial online (tuton), dan kedua, tutorial tatap muka (TTM).
Tuton dan TTM terselenggara selama delapan pekan. Tuton dapat diakses mahasiswa pada laman elearning.ut.ac.id. Kegiatan pada tuton meliputi absensi, disuksi, dan tugas. Pengampu mata kuliah pada tuton disebut tutor.
TTM persis seperti kuliah biasa. Terselenggara di kampus yang telah bekerja sama dengan Universitas Terbuka. Kalau di Jakara, TTM bertempat di Kampus Universitas Negeri Jakarta. Jadwal TTM berlangsung tiap Minggu dengan jam yang disesuaikan. Saya tak dapat mengikuti TTM, karena hari Minggu pun terkadang bekerja.
Karena belajar jarak jauh, maka saya waktu belajar tuton fleksibel. Saya biasa atur sendiri soal kapan dan di mana mengisi diskusi atau tugas. Jadi sangat cocok bagi pekerja media.
Baca juga : Ketidaksiapan Universitas Terbuka (UT) Melaksanakan Take Home Exam (THE)
3. Dinamis
Kalau tuton adalah layanan dari kampus bagi mahasiswa, belajar mandiri adalah inti dari belajar jarak jauh yang sebenarnya. Belajar mandiri membutuhkan pengendalian diri dan manajemen waktu yang matang.
Di UT, per mata kuliah pada tiap semester terdapat 3 SKS. Artinya, ada 9 modul (materi) tiap mata kuliah pada bahan ajar yang mesti dilahap oleh mahasiswa.
Betapa dinamisnya ketika kita mesti mengatur waktu belajar mandiri sehingga kita dapat memahami semua materi dengan baik. Ini yang membuat banyak mahasiswa UT terlena. Mereka pikir, kuliah di UT hanya dua bulan, yakni pada saat tuton berlangsung, dan dua hari, yakni pada saat UAS. Sedangkan empat bulan lainnya adalah libur.
Sebenarnya empat bulan itu adalah waktu belajar mandiri. Tergantung si mahasiswa, dalam empat bulan itu bagaimana mengatur waktunya agar semua materi dapat dipahami dengan baik.
4. Menantang
Bagi saya Universitas Terbuka benar-benar menantang selain dari segi belajar mandiri dan jarak jauh. Karena belajar jarak jauh, kesempatan mengenal mahasiswa lain tak terlalu besar.Â
Paling-paling, hanya melalui grup Facebook atau WhatsApp. Sehingga, bagi saya pada awalnya, kuliah di Universitas Terbuka seakan abstrak. Mungkin ini dirasakan mahasiswa lainnya juga.
Beruntung Universitas Terbuka memiliki katalog yang mumpuni. Sebenarnya, semua jawaban dari pertanyaan calon mahasiswa dan mahasiswa yang berseliweran tiap hari di forum, ada di katalog.Â
Oleh karena itu, staf kampus menekankan mahasiswa harus berinisiatif dalam memahami sistem perkuliahan dan teknisnya, lewat katalog atau bertanya kepada pihak kampus atau mahasiswa lain.Â
Seakan, ikatan antarmahasiswa di Universitas Terbuka terbentuk dari pertanyaan dan jawaban. Memang begitu fakta dan kekhasan kampus yang berdiri pada 4 September 1984.
Demikian tulisan pertama saya mengenai Universitas Terbuka. Semoga dapat berlanjut pekan depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H