Mohon tunggu...
Levianti
Levianti Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog, Dosen Psikologi Universitas Esa Unggul

Suka diam sejenak, refleksi, menulis, dan ngoepi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terampilkah Saya untuk Memilih?

7 Februari 2024   16:49 Diperbarui: 7 Februari 2024   16:50 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustration of labyrinth lines (Stanford HAI-University)

Mengapa saya menyantap makanan ini? Karena saya lapar? Atau karena saya ingin menikmatinya?

Mengapa saya berdandan? Untuk menutupi bagian jelek yang tidak saya suka? Atau meng-highlight keindahan?

Mengapa saya bekerja? Terpaksa untuk bertahan hidup? Atau karena saya suka melakukannya?

Baca juga: Pramudya

Dalam rentang satu hari, ada banyak pertanyaan berikut alternatif jawaban yang kita pikirkan. Ada banyak kesempatan yang kita miliki untuk memilih. Bagaimanakah kita menggunakan kesempatan-kesempatan tersebut? Sudahkah saya terlatih untuk memilih?

Pemilih Impoten

 

Baca juga: Percaya

Dari ilustrasi ketiga pertanyaan sederhana di atas, setidaknya ada dua dasar yang digunakan orang saat memilih. Pertama, dasar penolakan, untuk menghilangkan kenyataan yang dianggap negatif. Kedua, dasar penerimaan, untuk menampilkan kenyataan yang dianggap positif.

Makan untuk menghilangkan rasa lapar, berdandan untuk menutupi bagian jelek wajah, dan bekerja untuk memaksakan diri bisa bertahan hidup merupakan contoh pilihan yang diambil dengan dasar penolakan.

Sebaliknya, makan karena tertarik untuk menyantap hidangan, berdandan untuk mengangkat keindahan, dan bekerja karena suka melakukannya adalah contoh pilihan yang diambil berdasarkan sikap penerimaan.

Sekilas, kedua dasar ini kualitasnya berbeda. Sikap penolakan terlihat kurang baik, seperti lari dari kenyataan, dan rasanya tidak enak. Sementara sikap penerimaan tampak lebih ideal, karena ibarat merangkul kehidupan, sehingga rasanya menyenangkan.

Namun tanpa sadar, kedua dasar ini sebenarnya memiliki satu target yang sama, yaitu kenyamanan. Bukankah makan supaya terbebas dari rasa lapar, ataupun makan untuk memperoleh kenikmatan, keduanya sama-sama merupakan upaya kita untuk tetap merasa nyaman?

Bila kita telusuri lebih jauh, kebiasaan di atas menunjukkan bahwa kita sesungguhnya mandul dalam memilih! Bagaimana bisa kita dikatakan kompeten memilih, bilamana pilihanya sudah diputuskan secara pasti?

Kecenderungan memilih untuk mempertahankan zona nyaman, baik itu dengan cara mati-matian berupaya merombak situasi negatif, ataupun dengan penuh nafsu mengejar kondisi positif, tanpa sadar menjadi sebuah mesin pendikte keputusan seseorang. Meski pilihan individu tampak bermacam-macam bentuknya, namun sejatinya hanya satu pilihan otomatis yang selalu dia ambil, yaitu kenyamanan.

Pemilih impoten terlalu takut untuk keluar dari zona nyaman. Ia langsung mengikuti mesin pendikte keputusan di dalam diri, yakni (seolah-olah) memilih (apapun) untuk merasa nyaman.

Pemilih Kompeten

Yang membedakan pemilih kompeten dari pemilih impoten adalah level kesadarannya. Pemilih kompeten menyadari ketakutannya akan penderitaan. Ia berani mengakuinya secara terbuka, sehingga ketakutan itu lepas dan tidak lagi mendikte keputusan dan tindakannya.  

Karena mesin pendikte keputusan otomatis telah mati, ia merdeka menentukan dasar pertimbangan dan menyusun kriteria penentuan keputusan. Medan luas pun membentang. Lalu, bagaimanakah caranya kita dapat menemukan satu arah tujuan dan satu titik pijak untuk mengawalinya?

Karena medan luas membentang, semuanya berarti netral (berkualitas setara). Jadi, mengapa tidak kita memilih situasi hidup sekarang di sini ini sebagai titik pijak awal?!  

Kelima indera menjadi sumber informasi. Betapa berkelimpahannya kita menerima rangsangan panca indera secara cuma-cuma!

Napas kita menjadi jembatan antara kehidupan pribadi dan kelestarian lingkungan. Secara cuma-cuma, kita leluasa menerima oksigen yang membuat kita terus hidup. Sebaliknya, secara cuma-cuma pula, kita memberikan karbon dioksida bagi tumbuhan melalui napas yang kita keluarkan.  

Ketiga kejadian alamiah ini dapat menjadi dasar pertimbangan kita, yaitu asas cuma-cuma (sukarela), kelimpahan, dan kemanfaatan. Dengan ketiga landasan ini, kita dapat merumuskan satu arah tujuan: "Apa yang mau, mampu, dan perlu saya lakukan?"

Pertanyaan tersebut bisa jadi memunculkan beberapa alternatif jawaban. Alternatif manakah yang paling tepat?

Cara umum yang sering digunakan orang untuk menentukan keputusan adalah dengan menyusun daftar pro-kontra dari setiap alternatif jawaban. Atau, ada juga beberapa orang yang menentukan kriteria keputusan.

Kedua cara tersebut dapat kita gunakan untuk membantu kita memilih. Setelah menyusun daftar pro-kontra dari setiap alternatif jawaban, kita dapat memilih satu alternatif yang paling berkualitas "pro".

Selanjutnya, kita dapat memvalidasi satu alternatif terpilih itu dengan menggunakan kriteria keputusan. Ada banyak nilai kebajikan yang dapat kita gunakan untuk memvalidasi.

Penulis merasa terbantu dengan dua kriteria keputusan yang digunakan oleh seorang pujangga Gereja bernama Teresa Avila. Ia menggunakan dua pertanyaan untuk memvalidasi pilihannya sebelum ia bertindak, yaitu sebagai berikut:

  • Apakah pilihan ini pasti bermanfaat bagi orang lain?
  • Apakah pilihan ini murni terbebas dari kepentinganku untuk menguntungkan/meninggikan diri sendiri?  

Jawaban YA secara tegas pada dua pertanyaan di atas menjadi validasi alternatif pilihan terbaik sebagai sebuah ketetapan akhir untuk selanjutnya dilaksanakan.

Bagaimana Melatih Impotensi Menjadi Kompetensi Memilih?

 

Perbedaan mendasar antara pemiih impoten dengan pemilih kompeten adalah pada level kesadarannya. Maka latihan impotensi menjadi kompetensi memilih dapat dilakukan melalui latihan kesadaran.  

Seseorang bisa menyadari ketakutan dan sikap otomatisnya manakala ia berjarak dengan ketakutan dan sikap otomatisnya itu. Jarak membuat ia bisa menonton ketakutan dan sikap otomatisnya tersebut ibarat melihat tayangan sebuah adegan film.

Dengan begitu, ia pun berhadap-hadapan dengan ketakutannya. Ketakutan tidak lagi mendikte ia bersegera mencari cara untuk mengusirnya pergi.

Berhadap-hadapan dengan ketakutan membuat cengkeramannya kemudian mengendur dan menjadi netral. Tunas keberanian pun tumbuh secara alamiah.

Maka kesadaran untuk meningkatkan keterampilan memilih bisa kita asah dengan cara latihan berjarak, yaitu dengan melakukan jeda. Sudrijanta (2020) menyarankan jeda selama 2-3 menit setiap usai satu kegiatan sebelum mulai kegiatan berikutnya.

Penulis merasa terbantu diingatkan oleh adzan yang berkumandang untuk langsung melakukan jeda sejenak. Selama jeda kumandang adzan, penulis menarik napas panjang pelan-pelan dari hidung, dan mengeluarkannya pelan-pelan dari mulut. Aktivitas pikiran dan fisik berhenti. Panca indera menjadi fokus aktif.

Di dalam yoga, napas panjang dilakukan untuk membuat kapasitas paru-paru berfungsi optimal dan energi prana menjadi utuh. Pusat perhatian adalah hidup pada saat sekarang. Jiwa jadi seperti terbangun atau sadar.   

Disiplin latihan jeda bernapas panjang saat adzan berkumandang bermanfaat melatih otot kesadaran menjadi kuat. Ketika pikiran mencecar ataupun emosi melanda, jiwa dapat tetap sadar dan tidak otomatis terdikte olehnya.

Kita pun terlatih siap melakukan jeda pada saat itu, sehingga mesin pendikte keputusan otomatis padam, dan medan pilihan luas terbentang. Kita kembali berpijak pada kenyataan yang ada di depan mata. Apa yang mau, mampu, dan perlu kita lakukan? Apa alternatif jawaban yang paling berkualitas "pro"? Apakah alternatif terbaik ini valid bermanfaat dan bebas kepentingan pribadi? Terampilkah saya untuk memilih?***

Rujukan:

  • Baker, T., Zimmerman, B., Stanbrook, B. 1921. The Interior Castle or The Mansions by St. Teresa of Avila. Christian Classics Ethereal Library. www.ccel.org
  • Sudrijanta, J. 2020. Transformasi Penderitaan Menjadi Keindahan Hidup. Daring: Program Rumah Keheningan.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun