Mohon tunggu...
Levianti
Levianti Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog, Dosen Psikologi Universitas Esa Unggul

Suka diam sejenak, refleksi, menulis, dan ngoepi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terampilkah Saya untuk Memilih?

7 Februari 2024   16:49 Diperbarui: 7 Februari 2024   16:50 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustration of labyrinth lines (Stanford HAI-University)

Namun tanpa sadar, kedua dasar ini sebenarnya memiliki satu target yang sama, yaitu kenyamanan. Bukankah makan supaya terbebas dari rasa lapar, ataupun makan untuk memperoleh kenikmatan, keduanya sama-sama merupakan upaya kita untuk tetap merasa nyaman?

Bila kita telusuri lebih jauh, kebiasaan di atas menunjukkan bahwa kita sesungguhnya mandul dalam memilih! Bagaimana bisa kita dikatakan kompeten memilih, bilamana pilihanya sudah diputuskan secara pasti?

Kecenderungan memilih untuk mempertahankan zona nyaman, baik itu dengan cara mati-matian berupaya merombak situasi negatif, ataupun dengan penuh nafsu mengejar kondisi positif, tanpa sadar menjadi sebuah mesin pendikte keputusan seseorang. Meski pilihan individu tampak bermacam-macam bentuknya, namun sejatinya hanya satu pilihan otomatis yang selalu dia ambil, yaitu kenyamanan.

Pemilih impoten terlalu takut untuk keluar dari zona nyaman. Ia langsung mengikuti mesin pendikte keputusan di dalam diri, yakni (seolah-olah) memilih (apapun) untuk merasa nyaman.

Pemilih Kompeten

Yang membedakan pemilih kompeten dari pemilih impoten adalah level kesadarannya. Pemilih kompeten menyadari ketakutannya akan penderitaan. Ia berani mengakuinya secara terbuka, sehingga ketakutan itu lepas dan tidak lagi mendikte keputusan dan tindakannya.  

Karena mesin pendikte keputusan otomatis telah mati, ia merdeka menentukan dasar pertimbangan dan menyusun kriteria penentuan keputusan. Medan luas pun membentang. Lalu, bagaimanakah caranya kita dapat menemukan satu arah tujuan dan satu titik pijak untuk mengawalinya?

Karena medan luas membentang, semuanya berarti netral (berkualitas setara). Jadi, mengapa tidak kita memilih situasi hidup sekarang di sini ini sebagai titik pijak awal?!  

Kelima indera menjadi sumber informasi. Betapa berkelimpahannya kita menerima rangsangan panca indera secara cuma-cuma!

Napas kita menjadi jembatan antara kehidupan pribadi dan kelestarian lingkungan. Secara cuma-cuma, kita leluasa menerima oksigen yang membuat kita terus hidup. Sebaliknya, secara cuma-cuma pula, kita memberikan karbon dioksida bagi tumbuhan melalui napas yang kita keluarkan.  

Ketiga kejadian alamiah ini dapat menjadi dasar pertimbangan kita, yaitu asas cuma-cuma (sukarela), kelimpahan, dan kemanfaatan. Dengan ketiga landasan ini, kita dapat merumuskan satu arah tujuan: "Apa yang mau, mampu, dan perlu saya lakukan?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun