Mohon tunggu...
Levianti
Levianti Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog, Dosen Psikologi Universitas Esa Unggul

Suka diam sejenak, refleksi, menulis, dan ngoepi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kehilangan

25 Juni 2023   14:53 Diperbarui: 25 Juni 2023   17:06 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Desain Canva: Arba Studio; Adaptasi: eL) 

Saat ada orang baik yang meninggal dunia, apa yang Anda rasakan?

Adakah Anda merasa sedih dan kehilangan?

Pada saat tersebut, apa yang sedang terjadi di dalam diri Anda?         

Baca juga: Sabar

Bagaimana Anda menyikapinya kemudian?

Hari ini, saya menerima berita duka, yaitu sahabat dekat salah satu anak saya meninggal dunia. Rasanya langsung kehilangan. Ada kesedihan yang dalam. Sebersit doa harapan tanpa kata melayang ringan ke angkasa.

Terbayang kembali sosoknya. Quinsha Olihta Berutu. Panggilannya Quin. Gadis hitam manis yang senantiasa enerjik dan ceria!

Baca juga: Idulfitri

Saya jadi teringat kembali peristiwa kehilangan pada pertengahan Januari lalu. Saat salah satu kawan saya semasa SMA meninggal dunia. Tiba-tiba, hati saya terasa sakit dan ngilu, air mata saya langsung mengucur. Rasanya sedih sekali. Terbayang kembali keberadaannya yang enerjik. Ada keceriaan tulen 100%, yang seperti hilang menguap, turut terbawa bersama kepergiannya. May she rest in peace. Sebentuk keyakinan hati menutup lara.

 

Baca juga: Rindu

Satu pikiran tetiba melintas. Dua kehilangan yang dalam! Secara kebetulan, dua sosok yang sama-sama aktif, enerjik, dan ceria!

Saya jadi teringat dengan pernyataan salah seorang dosen psikologi klinis (yang saya lupa namanya) di sebuah kampus negeri. Menurut beliau, apapun pendapat manusia adalah proyeksi dirinya. Saat kita mengomentari suatu hal, komentar itu sesungguhnya lebih mencerminkan keadaan diri kita sendiri daripada menggambarkan hal tersebut. Misalnya, kita tidak suka dengan seseorang karena dia itu pemalas, maka sebenarnya kita sendirilah yang sedang kurang rajin dibandingkan biasanya.

 

Saya pun lanjut bertanya ke dalam diri: "Apakah saya merasa tidak lagi seenerjik dan seceria dulu? Apakah saya merindukan sisi baik tersebut? Apakah tanpa sadar, saya merasa kehilangan sifat enerjik dan ceria? Apakah perasaan kehilangan pribadi itu lalu terkuak secara kebetulan pada hari ini, melalui peristiwa duka kehilangan sosok pribadi yang menonjol dalam sifat enerjik dan cerianya?"

Semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan reflektif tersebut adalah "YA". Saya menjadi sadar, bahwa selama ini saya tidak mengakui kehilangan bagian diri tersebut. Ketika lelah, saya beristirahat, sehingga penat pun hilang, dan saya dapat kembali lanjut bergiat. Demikian juga pada waktu sedih, saya menangis, sehingga rasanya lega, dan saya bisa kembali menikmati aktivitas di depan mata. Namun tak dapat disangkal, gairah / semangat tidak lagi bergelora. Saya pikir, itu wajar, seiring bertambahnya usia. Tak disangka, ternyata ada bagian diri saya yang hilang seiring waktu berjalan.   

Lalu sekarang bagaimana? Duka kehilangan orang baik, yang juga menguak duka kehilangan bagian diri, sebaiknya saya sikapi seperti apa? Worden (1982, dalam Alitani, 2020) menggarisbawahi empat tugas dukacita, yang memudahkan penyesuaian diri terhadap kehilangan. Empat tugas dukacita ini ditegaskan dalam bentuk akronim TEAR oleh Harper (1987, dalam Alitani, 2020), yaitu sebagai berikut:

T -- to accept the reality of loss (menerima kenyataan kehilangan)

E -- experience the pain of loss (mengalami luka kehilangan)

A -- adjust to the new environment without the loss object (menyesuaikan diri tanpa ada "dia")

R -- reinvest in the new reality (kembali menanam dalam realita baru)

Sadar dan mengakui duka kehilangan merupakan bentuk penerimaan kenyataan kehilangan (T). Merasakan kepedihan hati menunjukkan pengalaman luka kehilangan (E). Pertanyaan reflektif dan upaya memaparkan jawabannya dalam coretan ini menjadi bentuk penyesuaian diri tanpa ditemani "dia" (A). Berarti, tugas selanjutnya yang perlu diselesaikan ialah kembali menanam dalam realita baru. Walau pembawaan diri tidak lagi enerjik dan ceria seperti dulu, saya masih tulus menikmati perjalanan hidup dan mensyukurinya, saat ini secara lebih syahdu.

Menanam kembali realita baru sudah saya lakukan sejak 16 Januari 2023. Namun kehilangan yang dalam masih tetap saya alami sekarang, setelah 5 bulan lebih berselang. Adakah yang salah, sehingga duka mendalam masih melanda? Ataukah dua kehilangan yang selintas tampak serupa ini, sesungguhnya bukanlah dua hal yang sama?

Duka mendalam, sampai terasa merambati tubuh, tetaplah ada.

Hanya saja, pada pertengahan Januari lalu, duka saya kehilangan seorang kawan melebur dengan duka saya kehilangan bagian diri yang serupa dengannya.

Hari ini, duka saya kehilangan seorang anak adalah sepenuhnya duka kehilangan akan sosoknya yang enerjik dan ceria. Tidak lagi ada nelangsa pribadi yang mencemari.

Dua kehilangan yang selintas tampak serupa ini ternyata adalah dua hal yang berbeda. Proses apa yang terjadi selama 5 bulan sehingga nelangsa pribadi tanpa saya sadari ternyata telah hilang?

Ada dua momentum. Pertama, saat Idul Fitri. Biasanya, saya menata hati untuk menerima keadaan diri yang nelangsa dan memaafkan orang lain yang saya anggap sebagai penyebab derita. Namun pada Idul Fitri tahun ini, melalui lomba puisi dari Komunitas Puisiana, saya termotivasi untuk menumpahkan semua isi hati secara apa adanya. Luar biasa lega! Jujur mengakui bahwa saya tidak dapat memaafkan seseorang, ternyata malah melahirkan maaf tulus kepadanya.

Kedua, satu bulan menjelang ulang tahun ke-45. Untuk menghadiahi diri sendiri, saya mulai bergiat menulis di Kompasiana. Ternyata, saya sangat menikmatinya! Pikiran lalu lalang yang semula saya palang, kini dapat saya nyatakan secara tertata. Asyik berpikir tak lagi saya pantang, melainkan dapat terberdayakan.

Dua momentum penolakan yang beralih menjadi penerimaan. Bukan penolakan yang ditolak dan dipaksakan langsung berubah menjadi penerimaan.

Hmmm… ini berarti proses sepanjang 5 bulan terakhir diawali oleh sadar akan kehilangan pada pertengahan bulan Januari 2023, lalu diikuti oleh momentum pengakuan diri akan penolakan yang beralih menjadi penerimaan (sampai dua kali), dan kini sadar bahwa kehilangan diri / nelangsa telah sirna.

Saya jadi teringat dengan 5 tahapan duka menurut Kubler-Ross (1969, dalam Alitani, 2020):

  • menyangkal,
  • marah,
  • tawar menawar,
  • depresi, dan
  • penerimaan.

Kelima tahapan ini dapat bersifat runtut, maupun naik turun bolak balik.

Pada waktu saya sadar akan kehilangan pada pertengahan Januari, rupanya tanpa sadar saya sedang berada pada tahap depresi. 

Momen Idul Fitri menguak penyangkalan yang saya lakukan selama ini (Saya sudah memaafkan, kok, setidaknya sudah jauh lebih memaafkan, kok, padahal sesungguhnya, saya sedang menyangkal diri bahwa saya belum memaafkannya).

Amarah, segala daya upaya pikiran bernegosiasi, dan kelelahan jatuh bangun sampai akhirnya rebah terdiam rupanya dapat tersalurkan melalui puisi Idul Fitri, maupun ragam tulisan saya di Kompasiana selama bulan Mei sampai sekarang.

Tersadar kini bahwa nelangsa telah pergi menunjukkan bahwa saya mulai berada di tahap penerimaan. Puji syukur alhamdulillah!

Terima kasih, almarhumah Quinsha Olihta Berutu dan Junita Pondaaga, atas inspirasi, baik yang hadir saat kalian hidup, maupun terhadirkan juga melalui kepergian kalian. Selamat pulang dan bersatu dengan Sang Kekasih. Saya percaya, teladan kalian akan terus hidup melalui lakon dari setiap kami yang merasa kehilangan. KasihNya selalu menyertai kita semua. Amin.***

    

Catatan:

Tulisan ini adalah revisi pertama dari tulisan bertajuk serupa.

Referensi:

Levianti. 2023. Kehilangan. https://opinia.id/post/artikel/esai/kehilangan-162170 diakses pada tanggal 25Juni pukul 14.15

Alitani, M. B., 2020. Modul Sesi 13 Psikologi Kesehatan. Jakarta: Universitas Esa Unggul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun