Hanya saja, pada pertengahan Januari lalu, duka saya kehilangan seorang kawan melebur dengan duka saya kehilangan bagian diri yang serupa dengannya.
Hari ini, duka saya kehilangan seorang anak adalah sepenuhnya duka kehilangan akan sosoknya yang enerjik dan ceria. Tidak lagi ada nelangsa pribadi yang mencemari.
Dua kehilangan yang selintas tampak serupa ini ternyata adalah dua hal yang berbeda. Proses apa yang terjadi selama 5 bulan sehingga nelangsa pribadi tanpa saya sadari ternyata telah hilang?
Ada dua momentum. Pertama, saat Idul Fitri. Biasanya, saya menata hati untuk menerima keadaan diri yang nelangsa dan memaafkan orang lain yang saya anggap sebagai penyebab derita. Namun pada Idul Fitri tahun ini, melalui lomba puisi dari Komunitas Puisiana, saya termotivasi untuk menumpahkan semua isi hati secara apa adanya. Luar biasa lega! Jujur mengakui bahwa saya tidak dapat memaafkan seseorang, ternyata malah melahirkan maaf tulus kepadanya.
Kedua, satu bulan menjelang ulang tahun ke-45. Untuk menghadiahi diri sendiri, saya mulai bergiat menulis di Kompasiana. Ternyata, saya sangat menikmatinya! Pikiran lalu lalang yang semula saya palang, kini dapat saya nyatakan secara tertata. Asyik berpikir tak lagi saya pantang, melainkan dapat terberdayakan.
Dua momentum penolakan yang beralih menjadi penerimaan. Bukan penolakan yang ditolak dan dipaksakan langsung berubah menjadi penerimaan.
Hmmm… ini berarti proses sepanjang 5 bulan terakhir diawali oleh sadar akan kehilangan pada pertengahan bulan Januari 2023, lalu diikuti oleh momentum pengakuan diri akan penolakan yang beralih menjadi penerimaan (sampai dua kali), dan kini sadar bahwa kehilangan diri / nelangsa telah sirna.
Saya jadi teringat dengan 5 tahapan duka menurut Kubler-Ross (1969, dalam Alitani, 2020):
- menyangkal,
- marah,
- tawar menawar,
- depresi, dan
- penerimaan.
Kelima tahapan ini dapat bersifat runtut, maupun naik turun bolak balik.
Pada waktu saya sadar akan kehilangan pada pertengahan Januari, rupanya tanpa sadar saya sedang berada pada tahap depresi.Â
Momen Idul Fitri menguak penyangkalan yang saya lakukan selama ini (Saya sudah memaafkan, kok, setidaknya sudah jauh lebih memaafkan, kok, padahal sesungguhnya, saya sedang menyangkal diri bahwa saya belum memaafkannya).