Mohon tunggu...
ANANTYA ALIYYA A A
ANANTYA ALIYYA A A Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum UGM 2019

Saya menulis berbagai artikel tentang hukum, dengan konsen bahasan di bidang hukum islam.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lamaran Pasti Menikah?

14 Januari 2021   09:40 Diperbarui: 14 Januari 2021   09:57 922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sehingga dapat dikatakan walaupun tidak mempunyai akibat hukum,  peminangan mempunyai implikasi moral-sosial. Hal ini sejalan sebagaimana diatur dalam pasal 13 ayat 2 Kompilasi hukum islam yang menyebutkan,

"Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agar dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai."

Selain menjadi hal yang harus diperhatikan ketika terjadi pemutusan peminangan, implikasi moral ini juga menjadi salah satu dasar dari  larangan peminangan terhadap wanita yang telah dipinang oleh orang lain terlebih dahulu. Karena keadaan tersebut bisa menimbulkan permusuhan dan dendam diantara pihak yang meminang. 

Terlebih apabila seorang wanita yang telah dipinang memutuskan peminangan yang terdahulu secara sepihak karena tergiur dengan hadiah peminangan yang lebih besar. Hal-hal ini lah yang kemudian tidak dibenarkan secara moral karena akan menimbulkan permusuhan. Sehingga kebebasan pemutusan pemingan yang dimaksud diatas hendaknya dilakukan secara santun serta sesuai dengan tata perilaku sosial masyarakat yang ada dengan tujuan agar tetap terbinanya kerukunan dan rasa saling menghormati.

Terdapat persoalan yang sering terjadi di masyarakat, yaitu ketika pihak laki-laki telah memberikan mahar atau seserahan (hadiah peminangan) dan telah diserahkan kepada mempelai wanita yang kemudian peminangan tersebut terputus. Lantas bagaimana nasib dari mahar atau seserahan tersebut?

Dalam persoalan ini terdapat perbedaaan pendapat dari beberapa mazhab, seperti

a. Mazhab Hanafi

Mazhab ini berpendapat bahwa masing-masing pihak berhak menerima pengembalian hadiah peminangan yang berasal dari dirinya. Apabila hadiah tersebut sudah tidak ada wujudnya, maka hadiah terseebut tidak perlu dikembalikan (baik dengan wujud yang sama maupun berupa ganti harga). Alasan ini karena hadiah-hadiah tersebut berhubungan dengan janji untuk melaksanakan perkawinan. Maka, apabila janji tersebut dibatalkan maka hadiah-hadiah tersebut juga harus dikembalikan.

b. Mazhab Syafii

Imam Syafii berpendapat bahwa pihak peminang berhak menerima kembali atas pemberian yang telah ia lakukan. Berupa barang (ketika masih ada wujudnya) maupun ganti harga (jika sudah tidak ada wujudnya).

c. Mazhab Maliki

Mazhab ini menekankan pada siapakah pihak yang memutuskan peminangan. Apabila yang memutuskan adalah pihak perempuan hadiah yang diberikan oleh pihak laki-laki harus dikembalikan. Baik pengembalian berbentuk barang (jika masih ada wujudnya) dan pengembalian berbentuk ganti harga (jika sudah tidak ada wujudnya). 

Namun, apabila yang memutuskan pihak laki-laki maka ia tidak berhak atas pengembalian hadiah tersebut, baik pengembalian berbentuk barang maupun ganti harga. Penyimpangan dalam mahzab ini hanya terjadi jika telah diperjanjikan lain oleh kedua pihak atau adat kebiasaan ('urf) setempat menentukan lain.

Menurut KH. Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam mengatakan bahwa dari berbagai mahzab yang ada, pendapat Imam Maliki lah yang paling sesuai dengan nilai dan adat kebiasaan masyarakat di Indonesia.  Karena selain dinilai lebih fleksibel dalam praktiknya,  mayoritas masyarakat indonesia pandangan mahzab ini dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.

Jadi, pada dasarnya peminangan belum mempunyai akibat hukum kepada para pihak yang ada sehingga dimungkinkan untuk dilakukan pembatalan atau pemutusan peminangan. 

Namun, dalam pemutusan tersebut harus dilakukan dengan tata cara yang baik serta sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat setempat sehingga diharapkan ketika terjadi pemutusan peminangan tetap terbina kerukunan dan saling menghargai antara kedua belah pihak. Singkat kata, dengan telah dilakukan peminangan belum pasti menentukan akan terjadi perkawinan. Karena peminangan tersebut bisa saja dibatalkan atau diakhiri sebelum terjadi prosesi akad nikah atau ijab qabul.

Daftar Pustaka

Al-Quran  Terjemahan. 2015.Departemen  Agama  RI. Bandung:  CV  Darus Sunnah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun