Mohon tunggu...
ANANTYA ALIYYA A A
ANANTYA ALIYYA A A Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum UGM 2019

Saya menulis berbagai artikel tentang hukum, dengan konsen bahasan di bidang hukum islam.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lamaran Pasti Menikah?

14 Januari 2021   09:40 Diperbarui: 14 Januari 2021   09:57 922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar hanya sebagai Ilustrasi (Sumber:freepik.com)

Peminangan berasal dari kata "pinang, meminang". Meminang bersinonim dengan melamar yang dalam bahasa arab disebut dengan  "khitbah". Khitbah  sendiri secara sederhana berarti penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Sedangkan menurut Terminologi, peminangan adalah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Atau seorang laki-laki meminta kepada perempuan untuk menjadi istrinya dengan cara-cara yang berlaku secara umum dalam masyarakat.

Peminangan sendiri merupakan serangkaian kegiatan sekaligus menjadi pendahuluan dari dilangsungkannya suatu perkawinan. Dengan penempatan peminangan sebagai pendahuluan dari perkawinan, tentunya menjadikan peminangan sebagai salah satu faktor yang sangat menentukan dalam tercapainya tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. 

Sehingga sebagaimana disebutkan dalam prinsip-prinsip syariah dan undang-undang perkawinan, untuk mencapai tujuan dari perkawinan yang sempurna hendaknya  perkawinan tersebut sejak proses pendahuluannya (muqaddimat al-zawaj) berjalan selaras dengan apa yang telah digariskan oleh agama islam.  Hal ini lah yang menjadi urgensi dalam pelaksanaan peminangan agar dilakukan sesuai dengan syariah dan hukum islam nasional.

Peminangan digunakan oleh pihak perempuan maupun pihak laki-laki untuk saling mengenal kepribadian dari masing-masing pihak sehingga dapat memantapkan langkah mereka guna melangsungkan pernikahan. Bahkan beberapa ahli fiqh menyebutkan peminangan sebagai "masa pacaran dalam Islam". Arti masa pacaran disini tentunya berbeda dengan istilah pacaran yang digunakan oleh kebanyakan orang. 

Menurut Quraish Shihab dalam bukunya Pengantin Al-Quran, pacaran yang dimaksud adalah teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan batin, untuk menjadi tunangan, serta kemudian istri. Sehingga menurut beliau, pacaran yang dibolehkan adalah pacaran yang hanya sebatas pada sikap atau  perasaan batin saja. Bukan sikap batin yang disusul dengan sikap lahir, seperti berkhalwat dan sebagainya. Peminangan sendiri dapat dilakukan secara terang-terangan atau jelas (sharih) maupun berbentuk sindiran. Sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Baqarah 235 yang artinya,

"Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa idahnya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun."

Pada masa ini selain menjadi ajang untuk saling mengenal antara kedua belah pihak, peminangan sekaligus menjadi masa untuk memantapkan pilihan calon pasangan, terutama calon suami terhadap calon istri. Parameter dalam memilih calon istri tersebut telah disebutkan dalam salah satu hadis Nabi Muhammad SAW yaitu,

 Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw. Beliau bersabda: "Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka, pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung." (HR. al-Bukhari)

 Menurut Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal, jika dipahami dari hakikat peminangan sendiri yaitu untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah maka hendaknya keempat kriteria tersebut dimiliki oleh kedua belah pihak (tidak hanya calon mempelai wanita). Karena sangat mustahil sebuah keluarga yang bahagia akan terwujud jika kedua belah pihak tidak mempunyai empat kriteria tersebut, terutama hal yang menyangkut keagamaan dan harta.

Tentunya untuk menilai seseorang berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, hendaknya melihat satu sama lain terlebih dahulu.  Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan,

"Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!" (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim)

Dalam hal ini, tentunya terdapat batasan-batasan yang diatur agar tidak menyalahi norma agama maupun kesusilaan yang ada serta sejalan dengan nilai-nilai manusia sebagai makhluk yang terhormat.

Secara umum, peminangan biasanya dilakukan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita. Akan tetapi tidak ada larangan seorang wanita untuk melamar pria.  Hal inilah yang kemudian menimbulkan persoalan, karena dalam Pasal 12 Kompilasi Hukum Islam hanya menempatkan wanita sebagai pihak yang menerima peminangan, bukan pihak yang  mengajukan peminangan. 

Padahal terdapat daerah-daerah di Indonesia yang sukunya memiliki corak matrilineal. Seperti tradisi maminang (pinang meminang) dari suku Minangkabau di Sumatera Barat, dimana pihak keluarga perempuan akan mendatangi keluarga laki-laki dan jika keluarga laki-laki menunjukkan respon yang baik, maka keluarga perempuan segera menindak lanjuti ke arah selanjutnya. 

Sehingga memang seolah-olah pengaturan mengenai peminangan dalam kompilasi hukum islam ini terkesan bias gender dengan menempatkan pihak laki-laki sebagai pihak yang mempunyai hak pilih serta memposisikan pihak perempuan sebagai pihak yang menunggu untuk di lamar. Hal ini dikarenakan sebagian besar fiqh munakahat islam di Indonesia masih sangat bernuansa patriarki.

Tidak semua perempuan bisa dilamar oleh laki-laki. Secara umum, setidaknya ada dua syarat yang harus dipenuhi antara lain

  • Tidak terdapat halangan-halangan syara' untuk dilakukan perkawinan (baik larangan perkawinan selama-lamanya maupun dalam waktu tertentu).
  • Tidak sedang dalam peminangan laki-laki lain.

Secara lebih rinci, dalam Pasal 12 ayat (2), (3), dan (4) Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan mengenai syarat wanita yang dapat dipinang, yang intinya yaitu

  • Wanita yang dipinang bukan istri orang.
  • Wanita yang dipinang tidak dalam keadaan dipinang oleh laki-laki lain.
  • Dan wanita yang dipinang tidak menjalani masa iddah raj'i. Karena perempuan yang masih dalam masa iddah raj'i tersebut masih terdapat hak bekas suami untuk merujukinya.

Pemingan sendiri belum mempunyai akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan perminangan. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 13 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan,

"Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan." 

Walaupun tidak mempunyai akibat hukum, ketika sudah terjadi penyampaian kehendak peminangan dan pemingan telah diterima oleh pihak lain. Maka di antara kedua belah pihak telah terjadi ikatan janji untuk melaksanakan perkawinan. Walaupun agama islam telah menyerukan untuk berusaha menepati suatu janji, tetapi masih terdapat kemungkinan janji tersebut tidak dapat dipenuhi atau dibatalkan. Alasan tersebut terbagi dalam alasan yang dapat dibenarkan dan tidak dapat dibenarkan dari segi agama islam. Alasan tersebut kemudian berdampak terhadap konsekuensi pembatalan peminangan.

Alasan yang dapat dibenarkan serta sah menurut agama islam seperti, cacat fisik atau mental pada salah satu pihak beberapa yang diketahui waktu setelah terjadi peminangan yang di pandang dapat mengganggu tercapainya tujuan perkawinan. Dalam alasan semacam ini dipandang tidak melanggar kewajiban dan merupakan hak khiyar.

 Sementara alasan yang tidak dibenarkan menurut agama islam dalam hal pemutusan peminangan seperti, karena ingin mendapat hal yang lebih baik dalam segi keduniaan dari calon mempelai.

Sehingga dapat dikatakan walaupun tidak mempunyai akibat hukum,  peminangan mempunyai implikasi moral-sosial. Hal ini sejalan sebagaimana diatur dalam pasal 13 ayat 2 Kompilasi hukum islam yang menyebutkan,

"Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agar dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai."

Selain menjadi hal yang harus diperhatikan ketika terjadi pemutusan peminangan, implikasi moral ini juga menjadi salah satu dasar dari  larangan peminangan terhadap wanita yang telah dipinang oleh orang lain terlebih dahulu. Karena keadaan tersebut bisa menimbulkan permusuhan dan dendam diantara pihak yang meminang. 

Terlebih apabila seorang wanita yang telah dipinang memutuskan peminangan yang terdahulu secara sepihak karena tergiur dengan hadiah peminangan yang lebih besar. Hal-hal ini lah yang kemudian tidak dibenarkan secara moral karena akan menimbulkan permusuhan. Sehingga kebebasan pemutusan pemingan yang dimaksud diatas hendaknya dilakukan secara santun serta sesuai dengan tata perilaku sosial masyarakat yang ada dengan tujuan agar tetap terbinanya kerukunan dan rasa saling menghormati.

Terdapat persoalan yang sering terjadi di masyarakat, yaitu ketika pihak laki-laki telah memberikan mahar atau seserahan (hadiah peminangan) dan telah diserahkan kepada mempelai wanita yang kemudian peminangan tersebut terputus. Lantas bagaimana nasib dari mahar atau seserahan tersebut?

Dalam persoalan ini terdapat perbedaaan pendapat dari beberapa mazhab, seperti

a. Mazhab Hanafi

Mazhab ini berpendapat bahwa masing-masing pihak berhak menerima pengembalian hadiah peminangan yang berasal dari dirinya. Apabila hadiah tersebut sudah tidak ada wujudnya, maka hadiah terseebut tidak perlu dikembalikan (baik dengan wujud yang sama maupun berupa ganti harga). Alasan ini karena hadiah-hadiah tersebut berhubungan dengan janji untuk melaksanakan perkawinan. Maka, apabila janji tersebut dibatalkan maka hadiah-hadiah tersebut juga harus dikembalikan.

b. Mazhab Syafii

Imam Syafii berpendapat bahwa pihak peminang berhak menerima kembali atas pemberian yang telah ia lakukan. Berupa barang (ketika masih ada wujudnya) maupun ganti harga (jika sudah tidak ada wujudnya).

c. Mazhab Maliki

Mazhab ini menekankan pada siapakah pihak yang memutuskan peminangan. Apabila yang memutuskan adalah pihak perempuan hadiah yang diberikan oleh pihak laki-laki harus dikembalikan. Baik pengembalian berbentuk barang (jika masih ada wujudnya) dan pengembalian berbentuk ganti harga (jika sudah tidak ada wujudnya). 

Namun, apabila yang memutuskan pihak laki-laki maka ia tidak berhak atas pengembalian hadiah tersebut, baik pengembalian berbentuk barang maupun ganti harga. Penyimpangan dalam mahzab ini hanya terjadi jika telah diperjanjikan lain oleh kedua pihak atau adat kebiasaan ('urf) setempat menentukan lain.

Menurut KH. Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam mengatakan bahwa dari berbagai mahzab yang ada, pendapat Imam Maliki lah yang paling sesuai dengan nilai dan adat kebiasaan masyarakat di Indonesia.  Karena selain dinilai lebih fleksibel dalam praktiknya,  mayoritas masyarakat indonesia pandangan mahzab ini dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.

Jadi, pada dasarnya peminangan belum mempunyai akibat hukum kepada para pihak yang ada sehingga dimungkinkan untuk dilakukan pembatalan atau pemutusan peminangan. 

Namun, dalam pemutusan tersebut harus dilakukan dengan tata cara yang baik serta sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat setempat sehingga diharapkan ketika terjadi pemutusan peminangan tetap terbina kerukunan dan saling menghargai antara kedua belah pihak. Singkat kata, dengan telah dilakukan peminangan belum pasti menentukan akan terjadi perkawinan. Karena peminangan tersebut bisa saja dibatalkan atau diakhiri sebelum terjadi prosesi akad nikah atau ijab qabul.

Daftar Pustaka

Al-Quran  Terjemahan. 2015.Departemen  Agama  RI. Bandung:  CV  Darus Sunnah

Pemerintah Indonesia. 1991. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam .Sekretariat Negara. Jakarta.            

Hadits riwayat al-Bukhari no. 4700

Hadist riwayat Ahmad (III/334), Abu Dawud (No. 2082) , dan Al-Hakim (II/165)

Ghozali, Abdul Rahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup

Syarifudin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta:Kencana Preneda Media Grup

Nurudin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Preneda Media Grup.

Quraish Shihab. 2015. Pengantin Al-Quran. Banten: Letera Hati.

Ernawati. Hadits Tentang Peminangan (Kajian Penafsiran Tematik Hadist Nabi). Jurnal Forum Ilmiah, Volume 14 Nomor 3 September 2017. 

Abu Al-Ghifari. 2003. Pacaran Yang Islami Adakah? Bandung: Mujahid Press.

Nofiardi. 2018. Perkawinan dan Baganyi: Analisis Sosiologis Kultural

dalam Penyelesaian Perselisihan di Kecamatan Banuhampu Kabupaten Agam. Jurnal Al Ahkan, Vol.13 No.1 Juni 2018.

Ahmad Azhar Basyir. 1999. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press.

Zainuddin Ali. 2006. Hukum Perdata Islam Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun