Nama : Ananias safira
 Nim : 223030303322
 FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
JURUSAN AKUNTANSI
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
Sebagai negara agraris, Indonesia mengandalkan sektor pertanian sebagai salah satu faktor terpenting dalam pembangunan. Beberapa subsektor pertanian terus memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Perkebunan merupakan salah satu subsektor pertanian yang cukup berkembang pesat. Pada tahun 2012, pangsa subsektor perkebunan terhadap produk domestik bruto (PDB) sektor pertanian sebesar 23,43 persen (BPS, 2012). Kelapa sawit merupakan salah satu bahan baku subsektor perkebunan yang berperan penting dalam perekonomian nasional, antara lain.
Komoditas ekspor nonmigas andalan penghasil devisa di luar migas. Selain itu, seiring dengan permintaan ekonomi global terhadap minyak sawit mentah (CPO) dan harga minyak dunia yang meningkat, minyak sawit menjadi bahan baku produksi bahan bakar alternatif bioenergi atau biofuel (Prajitno dan Saputra, 2012).
 Selama tujuh tahun terakhir, luas perkebunan kelapa sawit Indonesia tumbuh antara 1,92 hingga 9,05 persen per tahun. Pada tahun 2011 luas perkebunan kelapa sawit meningkat 2,64 persen menjadi 8,77 juta hektar dan pada tahun 2013 menjadi 10,46 juta hektar.
 (Direktorat Perkebunan, 2014). Pertumbuhan sektor perkebunan tersebut dibarengi dengan peningkatan produksi minyak sawit di Indonesia dari tahun ke tahun yang dihasilkan oleh perkebunan besar milik negara, perkebunan swasta besar, dan perkebunan kecil. Pada tahun 2011 produksi minyak sawit meningkat 1,79 persen menjadi 22,90 juta ton, sebagian besar diekspor ke luar negeri dan sebagian kecil
Total ekspor minyak sawit (CPO) terus tumbuh selama sepuluh tahun terakhir. Pada akhir tahun 2001, nilai ekspor CPO adalah US$62.317.847. Nilai ini cenderung terus meningkat hingga mencapai 327.652.263 USD pada akhir tahun 2013 (BPS, 2013). Seperti terlihat pada Gambar 1, pertumbuhan nilai ekspor CPO biasanya diikuti oleh pertumbuhan ekonomi (PDB). Pada tahun 2006-2007, nilai ekspor CPO meningkat tajam hampir dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.Â
Pertumbuhan tersebut didorong oleh peningkatan produksi dalam negeri yang meningkatkan volume ekspor. Pertumbuhan beberapa perusahaan minyak sawit tanah air memberikan Total ekspor minyak sawit (CPO) terus tumbuh selama sepuluh tahun terakhir. Pada akhir tahun 2001, nilai ekspor CPO adalah US$62.317.847.Â
Nilai ini cenderung terus meningkat hingga mencapai 327.652.263 USD pada akhir tahun 2013 (BPS, 2013). Seperti terlihat pada Gambar 1, pertumbuhan nilai ekspor CPO biasanya diikuti oleh pertumbuhan ekonomi (PDB). Pada tahun 2006-2007, nilai ekspor CPO meningkat tajam hampir dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.Â
Pertumbuhan tersebut didorong oleh peningkatan produksi dalam negeri yang meningkatkan volume ekspor. Pertumbuhan beberapa perusahaan minyak sawit tanah air memberikan kontribusi besar terhadap produksi minyak sawit nasional sekitar 31 juta ton, lebih dari separuh produksi minyak sawit dunia 58,1 juta ton pada tahun panen 2013/2014.Â
Ekspor minyak sawit terus tumbuh hingga 21 juta ton atau hampir 50 persen dari total ekspor dunia1. besar terhadap produksi minyak sawit nasional sekitar 31 juta ton, lebih dari separuh produksi minyak sawit dunia 58,1 juta ton pada tahun panen 2013/2014. Ekspor minyak sawit terus tumbuh hingga 21 juta ton atau hampir 50 persen dari total ekspor globalÂ
 dan di tahun 2013 meningkat menjadi 27,78 juta ton dengan tingkat produktivitas sebesar 3,536 kg/hektar area perkebunan. Produksi minyak kelapa sawit (CPO) dengan kode Harmonized System Melimpahnya produksi menjadi salah satu pemicu pertumbuhan nilai ekspor yang paling pesat selama beberapa dekade ini.
Dengan capaian sebagai komoditas unggulan subsektor perkebunan, kelapa sawit memiliki peran yang cukup strategis dalam pembangunan ekonomi nasional maupun global serta memberikan peran dalam penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi, sumber devisa negara, pengentasan kemiskinan dan perlindungan lingkungan (Mariati, 2009). ). Ini karena nilainya yang tinggi, sehingga usahanya selalu surplus.Â
Selain itu, besarnya konsumsi internal komoditi ini juga dapat mempengaruhi jumlah uang yang beredar di masyarakat, jika dilihat lebih jauh dapat mempengaruhi percepatan inflasi. Di pasar internasional saat ini, pangsa pasar CPO semakin meningkat dari tahun ke tahun, dan sejak tahun 2004, CPO menempati urutan pertama sebagai pemasok minyak nabati terpenting di dunia. Pasokan CPO dunia didominasi oleh dua negara,
Indonesia dan Malaysia. Padahal, dari sisi produksi, Indonesia dan Malaysia menguasai sekitar 90 persen produksi CPO dunia. Namun demikian, harga CPO dunia selama ini dikendalikan sebagai acuan di dua tempat, yaitu di Eropa khususnya bursa dagang Rotterdam, Belanda, dan baik Malaysia maupun Indonesia bersaing secara seimbang dalam mencari pangsa pasar. . . Padahal, nilai ekspor minyak sawit Indonesia sangat ditentukan oleh volume ekspor dan harga minyak sawit di pasar internasional. Fluktuasi harga di pasar domestik tidak terlepas dari dampak tingkat produksi minyak sawit, kebijakan penyimpanan, dan harga
Konsumsi minyak sawit dunia. Perubahan permintaan minyak sawit di pasar internasional mempengaruhi struktur harga, kemudian perubahan pasar minyak sawit dunia mempengaruhi produksi dan pasokan ekspor minyak sawit Indonesia, termasuk perekonomian Indonesia secara lebih luas.
Beberapa penelitian sebelumnya telah mengkaji pengaruh atau dampak perubahan harga CPO dunia terhadap kinerja ekspor dan berbagai faktor ekonomi makro, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebastian Edwards (1987) mengungkapkan bahwa perubahan harga barang-barang ekspor penting secara signifikan mempengaruhi perilaku nilai tukar. Kesimpulan ini juga diperkuat oleh Aprina (2014), Chen dan Rogoff (2003) yang menunjukkan adanya hubungan antara barang ekspor dengan nilai tukar. Dornbush (2001) mengemukakan suatu hubungan
Peningkatan harga CPO di pasar dunia, menyebabkan peningkatan jumlah uang beredar seiring dengan harga komoditas atau inflasi. Aprina (2014) juga berpendapat bahwa perubahan nilai tukar (exchange rates) akibat perubahan harga CPO pasar dunia menyebabkan perubahan volume ekspor atau impor. Dengan menggunakan model Computable General Equilibrium (CGE), Tjahjaprijadi (2013) menemukan bahwa dampak kenaikan harga minyak sawit internasional segera mendorong pertumbuhan PDB. Pada saat yang sama, kenaikan harga minyak sawit internasional dalam jangka panjang akan menyebabkan peningkatan konsumsi dan impor, sedangkan ekspor akan menurun.Â
Kenaikan harga bahan baku tidak mempengaruhi total produksi. Mariati (2009) dalam penelitiannya menemukan bahwa kombinasi produksi domestik, konsumsi dunia dan harga pasar dunia berpengaruh signifikan terhadap ekspor CPO di Indonesia. Namun, hanya sebagian variabel produksi nasional dan harga pasar dunia yang berpengaruh signifikan terhadap ekspor CPO Indonesia.
 Berdasarkan uraian di atas, kepentingan penulis adalah untuk menguji apakah perubahan harga CPO pasar dunia berdampak pada neraca perdagangan (volume ekspor) produk kelapa sawit dan perekonomian Indonesia. Uji penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang hanya meneliti sebagian pengaruh perubahan harga CPO dunia dan hubungannya dengan beberapa faktor ekonomi makro.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perubahan  harga CPO pasar dunia terhadap volume ekspor bahan baku minyak sawit dan perekonomian Indonesia ditinjau dari pertumbuhan ekonomi,  inflasi, nilai tukar riil rupiah dan  uang  beredar.Â
1. Â Mekanisme transmisi harga minyak Banyak teori ekonomi memiliki setidaknya enam saluran yang dapat memediasi dampak guncangan harga minyak terhadap kegiatan ekonomi. Pertama, efek sisi penawaran (supply-side shock effect). Kenaikan harga minyak menyebabkan penurunan produksi, karena kenaikan harga berarti penurunan ketersediaan input produksi pokok. Akibatnya, laju pertumbuhan dan produktivitas menurun (Qianqian, 2011). Guncangan harga minyak dapat meningkatkan biaya marjinal produksi industri, yang mengurangi output dan meningkatkan pengangguran (Brown dan Ycel, 2002; Lardic dan Mignon, 2006, 2008; dan Dogrul dan Soytas, 2010).
Kedua, efek transfer kekayaan, yang menekankan transfer daya beli dari negara pengimpor minyak ke negara pengekspor minyak. Perubahan daya beli mengurangi permintaan konsumen akan minyak di negara-negara pengimpor minyak dan meningkatkan permintaan konsumen di negara-negara pengekspor. Akibatnya, permintaan konsumen global terhadap barang-barang yang diproduksi oleh negara-negara pengimpor minyak menurun dan persediaan tabungan dunia meningkat.Â
Peningkatan penawaran tabungan menyebabkan tingkat bunga riil turun. Turunnya tingkat suku bunga dunia merangsang investasi untuk mengimbangi penurunan konsumsi sehingga total permintaan di negara pengimpor tidak berubah. Jika sulit menurunkan harga, penurunan permintaan produk dari negara penghasil minyak akan semakin menekan pertumbuhan PDB. Jika tingkat harga tidak dapat turun, pengeluaran konsumsi akan turun lebih dari
Peningkatan investasi, menyebabkan permintaan agregat turun dan selanjutnya mengekang pertumbuhan ekonomi (Brown dan Yucel, 2002; Berument dan Tasci, 2002; Lardic dan Mignon, 2006, 2008; dan Cologni dan Manera, 2008).
Ketiga, efek keseimbangan sejati (true equilibrium effect). Kenaikan harga minyak meningkatkan permintaan uang. Jika otoritas moneter tidak mampu meningkatkan jumlah uang beredar untuk memenuhi permintaan uang yang meningkat, keseimbangan riil akan turun, suku bunga akan naik, dan laju pertumbuhan ekonomi akan melambat.
 (Berument dan Tasci, 2002; Lardic dan Mignon, 2006, 2008; Cologni dan Manera, 2008 dan Tang et al., 2010).
 Keempat, pengaruh inflasi (inflation effect). Kenaikan harga minyak juga mendorong inflasi. Kenaikan harga minyak segera diikuti dengan kenaikan harga produk minyak bumi, seperti bensin dan minyak pemanas yang digunakan oleh konsumen. Selain itu, seiring dengan tergantikannya minyak bumi oleh bentuk energi lain, harga sumber energi alternatif juga akan meningkat. Selain efek inflasi langsung, efek tidak langsung terkait dengan reaksi dan perilaku karyawan terhadap perusahaan (second round effect). Perusahaan menyalurkan peningkatan biaya produksi ke harga konsumen yang lebih tinggi untuk barang atau jasa non-energi, sementara pekerja merespons biaya hidup yang lebih tinggi dengan menuntut upah yang lebih tinggi (Lardic dan Mignon, 2006, 2008; Berument dan Tasci, 2002). Kelima, dampak konsumsi, investasi dan harga saham. Naiknya harga minyak berdampak negatif pada konsumsi, investasi dan harga saham. Efek konsumsi mengacu pada penurunan pendapatan disposabel akibat kenaikan harga minyak, sedangkan investasi dipengaruhi oleh kenaikan biaya perusahaan (Sadorsky, 1999; Kilian, 2008, 2009 dan Henriques dan Sadorsky, 2011).
Keenam, pengaruh penyesuaian sektor tertentu (sector-specific adjustment). Guncangan harga minyak mempengaruhi pasar tenaga kerja melalui perubahan biaya produksi relatif sektor tersebut. Jika harga minyak naik secara berkelanjutan, struktur produksi akan berubah dan ini akan mempengaruhi pengangguran. Guncangan harga minyak dapat meningkatkan biaya produksi marjinal di banyak sektor intensif minyak dan mendorong perusahaan untuk mengadopsi metode produksi baru yang tidak terlalu intensif minyak.Â
Perubahan ini pada gilirannya menyebabkan realokasi modal dan tenaga kerja antar sektor, yang dapat mempengaruhi pengangguran dalam jangka panjang. Karena pekerja memiliki keterampilan industri tertentu dan pencarian kerja membutuhkan waktu, proses integrasi angkatan kerja, yang biasanya membutuhkan waktu, meningkatkan jumlah pengangguran. Dengan kata lain, semakin tinggi limpahan guncangan sektoral, semakin tinggi tingkat pengangguran, seiring dengan meningkatnya jumlah relokasi tenaga kerja (Lardic dan Mignon, 2006, 2008; Kilian, 2008; dan Dogrul dan Soytas, 2010). 2. Perubahan harga CPO dunia dan ekonomi makro
 Fluktuasi atau perubahan harga minyak di pasar internasional pada dasarnya mengikuti aksioma yang berlaku umum dalam ekonomi pasar, dimana tingkat harga yang berlaku sangat ditentukan sebagai elemen fundamental dari mekanisme penawaran dan permintaan (Nizar, 2002). Faktor-faktor lain dianggap sebagai faktor non-fundamental, terutama terkait dengan infrastruktur, geopolitik, dan spekulasi.
Menurut Edward (1987), perubahan harga barang ekspor suatu negara secara signifikan mempengaruhi pergerakan nilai tukar riil. Ledakan pertumbuhan barang ekspor menyebabkan apresiasi nilai tukar riil negara dalam kondisi tertentu. Chen dan Rogoff (2003) menunjukkan bahwa ada hubungan antara nilai tukar dan barang yang diekspor. Mereka menemukan bahwa nilai tukar riil di Australia dan Selandia Baru mendorong harga komoditas global. Hasilnya konsisten dengan analisis Cashin, Cespedes, dan Sahay (2004) dan memberikan bukti tambahan untuk negara berkembang. Dalam kasus Afrika Selatan, Frankel (2007) menunjukkan bahwa mineral merupakan salah satu bahan mentah yang diekspor, yang harganya berdampak signifikan terhadap nilai tukar riil negara tersebut. Hal ini juga dibenarkan oleh Ngandu (2005) yang melakukan kajian literatur tentang hubungan antara harga komoditas ekspor dan perubahan nilai tukar riil, terutama di negara berkembang. Secara spesifik, Aprina (2014) menemukan bahwa harga CPO pasar dunia berpengaruh signifikan dan negatif terhadap nilai tukar sebesar 0,2 persen. Artinya, kenaikan 10 persen di pasar CPO global menurunkan pertumbuhan nilai tukar (apresiasi kurs) sebesar 2 persen. Kenaikan harga CPO meningkatkan permintaan rupiah dari negara pengimpor, sehingga meningkatkan nilai rupiah.
 Sumber pendapatan negara yang besar melalui bisnis CPO  juga  meningkatkan pertumbuhan uang  dalam negeri. Jika neraca pembayaran  surplus, menurut Boediono (1993) berarti masuknya mata uang asing ke dalam negeri yang berarti bertambahnya jumlah uang beredar. Jadi, ketika harga CPO di pasar dunia naik, itu meningkatkan pendapatan pemerintah dan selanjutnya jumlah uang beredar.Â
Ketika jumlah uang beredar meningkat, harga barang berubah. Hal ini sesuai dengan teori kuantitas uang, yaitu teori tentang hubungan langsung antara perubahan jumlah uang yang beredar dengan perubahan harga barang. Mengenai hubungan ini, dapat dikatakan bahwa harga barang berbanding lurus dengan jumlah uang yang beredar (Dornbush, 2001).
 Menurut M . Nosihin dalam Prayitno (2002), pendapatan yang diterima pemerintah dalam mata uang yang kemudian ditukarkan ke dalam rupiah, dalam proses pertukaran itu menambah cadangan aset Bank Indonesia dan jumlah uang beredar bertambah dengan jumlah uang yang sama. Dengan demikian, terdapat hubungan yang cukup erat antara cadangan devisa dengan jumlah uang beredar, dimana jumlah cadangan devisa yang dapat ditukar menambah jumlah uang beredar dengan jumlah yang sama.Â
 Secara umum, untuk mengukur tingkat harga rata-rata, para ekonom menyusun indeks harga yang merata-ratakan harga berbagai barang menurut tingkat kepentingannya. Indeks ini dikenal sebagai indeks harga konsumen (CPI) atau indeks harga konsumen (CPI) (Lipsey, 1995). Menurut Samuelson dan Nordhaus (2004), inflasi disebabkan oleh inflasi biaya dan inflasi permintaan. Ketika jumlah uang beredar meningkat, itu menyebabkan inflasi sisi permintaan. Inflasi yang didorong oleh permintaan disebabkan oleh tingginya permintaan barang dan jasa dibandingkan dengan ketersediaannya. Dalam konteks ekonomi makro, kondisi ini digambarkan ketika output aktual melebihi output potensial atau permintaan agregat (aggregate demand) lebih besar dari kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi, apakah secara umum menerima atau mengantisipasi.Â
 Selain itu, depresiasi rupiah terhadap mata uang asing menyebabkan harga CPO
nilai tukar meningkat, sehingga produsen menjual CPO ke pasar internasional dalam upaya untuk mencapai nilai tukar negara. Juga, karena barang domestik relatif lebih murah, penduduk domestik hanya membeli sedikit barang impor. Akibatnya, volume ekspor bersih meningkat. Hal ini sesuai dengan penelitian Zuhroh dan Kaluge (2007) yang menyatakan bahwa pelemahan nilai tukar riil dapat memperbaiki neraca perdagangan dalam jangka panjang. Membaiknya transaksi berjalan ini tentu saja diikuti dengan peningkatan cadangan devisa yang pada akhirnya meningkatkan jumlah uang beredar di masyarakat. Jadi, Krugman Della (2010) berpendapat bahwa perubahan nilai tukar menyebabkan dua perubahan, yaitu. perubahan nilai dan volume bisnis. Ketika nilai tukar melemah, nilai ekspor dalam mata uang mitra dagang menurun, yang berarti permintaan barang ekspor dalam negeri meningkat dan permintaan barang impor menurun. Dalam teori ekonomi, seperti dikemukakan oleh Laksono dan Amaliahwati (2010), neraca perdagangan merupakan selisih antara biaya ekspor dan impor (X-IM) atau ekspor neto sebagai bagian dari neraca berjalan. Jika pendapatan ekspor lebih besar dari biaya impor, negara tersebut mengalami surplus perdagangan, jika sebaliknya terjadi, negara tersebut mengalami defisit perdagangan. Dengan menggunakan model Computable General Equilibrium (CGE), Tjahjaprijadi (2013) menemukan bahwa dalam jangka pendek, peningkatan harga minyak sawit internasional berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Artinya, kenaikan harga bahan baku minyak sawit di pasar internasional juga akan menguntungkan pertumbuhan ekonomi. Sumber pertumbuhan tersebut berasal dari konsumsi domestik, ekspor dan impor. Ekspor juga didorong kenaikan harga bahan baku yang didominasi oleh Indonesia. Namun hal ini hampir tidak didukung oleh Yanti (2012) yang menemukan bahwa harga CPO dunia justru berdampak negatif dan nyata (signifikan) terhadap ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia ke Belanda dan beberapa negara lainnya. Pada saat yang sama, impor juga meningkat, dimana meskipun Indonesia merupakan net eksportir minyak sawit, impor juga dilakukan dari Singapura dan Malaysia hanya dalam kondisi tertentu. Misalnya, minyak sawit biasanya diimpor dalam bentuk olein, yang biasanya terjadi ketika harga minyak sawit mentah dunia naik tinggi, sehingga ekspor dari Indonesia menjadi deras. Dalam keadaan seperti itu, pemerintah biasanya menggunakan instrumen pajak ekspor untuk menjamin pasokan dalam negeri. Di sisi lain, berkat kenaikan harga minyak sawit internasional, konsumsi dalam negeri juga berdampak positif. Penyebab kenaikan tersebut mungkin karena meningkatnya permintaan minyak sawit dan turunannya sebagai bahan baku berbagai produk dalam negeri. Dalam jangka panjang, kenaikan harga minyak sawit internasional tidak akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pada saat yang sama, konsumsi domestik dan impor sama dalam jangka pendek, yang berdampak positif. Perbedaan pengaruh tersebut terdapat pada ekspor, dimana kenaikan harga minyak sawit internasional berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekspor. Untuk mencegah serbuan ekspor minyak sawit akibat kenaikan harga internasional, pemerintah dapat menerapkan kebijakan domestic market obligation untuk menjaga pasokan kebutuhan dalam negeri yang pada akhirnya berdampak pada penurunan ekspor. Sebagai perbandingan dan perbandingan, untuk melihat pengaruh fluktuasi internasional atau perubahan harga minyak dunia (harga minyak Indonesia) terhadap perekonomian, Nizar (2012) melakukan penelitian dengan menggunakan data time series bulanan dan model VAR. Hasil analisis menunjukkan bahwa fluktuasi harga minyak internasional (harga minyak mentah Indonesia) di pasar dunia: (i) berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dalam waktu 3 bulan (seperempat), (ii) meningkatkan inflasi domestik selama satu tahun, (iii) meningkatkan jumlah uang beredar di dalam negeri; peningkatan jumlah uang beredar berlangsung selama 5 bulan, (iv) berdampak negatif terhadap nilai tukar riil rupee selama 10 bulan, dan (v) menyebabkan suku bunga domestik naik (berlangsung selama 10 bulan). AKU AKU AKU.Â
 1. Metode analitik Penelitian ini menggunakan metode analisis kuantitatif dengan model Vector Autoregressive (VAR). Model VAR ini memperlakukan semua variabel secara simetris. Satu vektor berisi lebih dari dua variabel dan sisi kanan persamaan regresi adalah nilai lagged dari variabel dependen sebagai representasi sifat autoregresif model (Asteriou dan Hall, 2007). Pendekatan VAR dikembangkan oleh ahli ekonometrika Christopher A. Sims sebagai metode pemodelan alternatif untuk model persamaan berganda, mengingat minimisasi pendekatan teoritis, yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena ekonomi dengan baik (Widarjono, 2007). Sims berpendapat bahwa jika ada hubungan simultan antara variabel yang dipertimbangkan, maka variabel tersebut harus diperlakukan dengan cara yang sama sehingga variabel endogen dan eksogen tidak ada lagi.Â
 Model VAR yang digunakan dalam penelitian ini dapat didefinisikan dengan persamaan berikut: yt = c Di mana:
*yt (yt1, yt2, ..., ynt) adalah vector n x 1 dari variabel-variabel endogenÂ
*yt-i adalah variabel lag dengan ordo iÂ
* adalah matriks n x n koefisien autoregressive dari vektorÂ
*yt-i untuk i = 1, 2, 3, ..., p dan c (c1, c2, ..., cn) adalah n x 1 vektor intersepÂ
darimodel VARÂ
* t ( t1, t2, ..., tn) adalah n x 1 vektor dari disturbance.Â
Model VAR dalam penelitian ini memasukkan beberapa variabel endogen, yaitu harga CPO dunia (dengan notasi CPO), Volume Net Ekspor Kelapa Sawit (dengan notasi EXP),
KESIMPULAN
Â
Fluktuasi atau perubahan harga CPO dunia memberikan dampak atau pengaruh terhadap kinerja (volume) ekspor kelapa sawit dan perekonomian Indonesia.Â
Dampak ini ditransmisikan melalui variabel volume ekspor dan beberapa variabel ekonomi makro, yaitu pertumbuhan ekonomi (PDB), laju inflasi dan jumlah uang beredar. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa perubahan harga CPO di pasar dunia memberikan dampak positif terhadap volume ekspor komoditi kelapa sawit, pertumbuhan ekonomi, jumlah uang yang beredar dan laju inflasi. Artinya, kenaikan harga CPO dunia mendorong naiknya volume ekspor komoditi kelapa sawit, pertumbuhan ekonomi, jumlah uang yang beredar dan laju inflasi. Namun, di sisi lain, dampak perubahan CPO dunia juga ditransmisikan melalui jumlah nilai tukar riil rupiah dengan dampak yang negatif yang nampak sejak bulan pertama. Dampak negatif ini mengindikasikan bahwa kenaikan harga CPO di pasar internasional menyebabkan melemahnyaÂ
(terdepresiasinya) nilai tukar riil rupiah.Â
Hasil penelitian ini secara umum menemukan bahwa shock perubahan harga CPO dunia direspon oleh seluruh variabel tidak pada periode yang sama, baik saat mulainya maupun lamanya, dan juga dengan kencendrungan yang berbeda-beda dalam periode shock yang panjang.Â
IMPLAKASI KEBIJAKAN
Sesuai dengan hasil penelitian ini terlihat bahwa kenaikan harga CPO di pasar internasional berdampak dinamis terhadap perekonomian Indonesia. Dalam kondisi harga CPO internasional yang tinggi, impor CPO untuk kebutuhan dalam negeri akan menambah biaya produksi dan selanjutnya berdampak pada kenaikan harga barangbarang (inflasi). Selain itu, impor minyak juga akan mengurangi cadangan devisa, yang pada gilirannya akan menyebabkan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap US dolar. Oleh karena itu pemerintah dan semua pemangku kepentinganÂ
(stakeholders) harus berkolaborasi dalam upaya mengurangi atau mengeliminasi pengaruh guncangan harga CPO dunia di dalam negeri.Â
Di antara langkah yang perlu dilakukan dan terus diupayakan oleh pemerintah adalah dengan instrumen kebijakan fiskal melalui sektor perpajakan. Misalnya, dengan naiknya harga CPO dunia, harga minyak goreng yang dijual dalam negeri yang pada proses produksi menggunakan bahan CPO menjadi naik. Pemerintah dapat membebaskan atau menanggung Pajak Pertambahan Nilai (PNN) 10 % untuk minyak goreng, baik curah maupun kemasan. Begitu pula dengan dampak shock harga CPO dunia terhadap ekspor. Untuk menjamin pasokan CPO bagi produsen minyak goreng dalam negeri, pemerintah dapat menetapkan kebijakan Pungutan Ekspor (PE) progresif sesuai dengan patokan harga CPO dunia.Â
Berdasarkan hasil penelitian ini juga, sebaiknya pemerintah dan seluruh stakeholder harus mengupayakan agar Indonesia dapat menjadi salah satu patokan harga CPO dunia dengan memindahkan transaksi perdagangan future market CPO dunia ke bursa Indonesia. Kemudian, pemerintah dapat mengupayakan pemberian insentif pada industri hilir CPO yang menghasilkan produk turunan CPO, seperti biodiesel, sehingga dapat mendorong para pengusaha untuk mengekspor produk turunan CPO yang memiliki nilai tambah yang lebih besar.Â
Selain itu, pemerintah diharapkan dapat terus mengupayakan tersedianya infrastruktur yang optimal bagi industri kelapa sawit. Hal ini karena infrastruktur yang kurang memadai menyebabkan naiknya biaya transportasi yang berakibat pada kurangnya daya saing CPO Indonesia. Hal ini terutama di wilayah Indonesia Timur dimana belum terdapat pelabuhan ekspor yang cukup besar dan memadai selain sarana dan prasarana jalan yang jauh tertinggal. Aspek kepastian hukum, insentif dan regulasi yang kondusif bagi industri dalam berusaha juga harus terus diupayakan oleh pemerintah sehingga tidak menghambat ekspansi perkebunan sawit di Indonesia. Semua ini menjadi peluang bagi minyak kelapa sawit untuk berperan lebih besar dalam perekonomian.Â
DAFTAR PUSTKAÂ
Agustian, A dan P. U. Hadi. 2002. AnalisisÂ
Dinamika Ekspor dan KeunggulanÂ
Komparatif Minyak Kelapa Sawit (CPO) di Indonesia. Badan Penelitian
Aprina, Hilda. 2013. Analisis Pengaruh Harga Crude Palm Oil (CPO) DuniaÂ
Terhadap Nilai Tukar Riil Rupiah. Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan, VolumeÂ
Boediono. 1993. Ekonomi Makro.Edisi ke-4.Â
Yogyakarta : BPFE UGM.Â
Edward, Sebastian. 1987. Commodity Export Price and the Real Exchange Rate in Development Country : Coffee in Columbia. Economic Adjustment and Exchange Rates in Developing Countries. 12 Februari 2013. http://www.nber.org/books/edwa86-1.Â
                      Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H