(1) Ingatkah kau saat senja di sudut waktuÂ
Kala hujan itu adalah awal kau menuduhku mencintaimuÂ
Kau menuntut dan memperkarakanku atas perhatian - perhatiankuÂ
Dan aku pun juga meminta tanggung jawabmu atas rindu-rinduku
Setelah itu perjalanan menjadi kelana yang indahÂ
Kita sapa kehidupan dengan bentangan tangan yang mesraÂ
Kita berdua sama-sama penuh cinta pada hidupÂ
Dan tentu saja kita berdua pembenci sejati perampas hidupÂ
Istana kita indahÂ
Ada taman kecil di sudut halaman rumahÂ
Tetangga-tetangga kita ramahÂ
Karena kita suka tersenyum indahÂ
Tapi kadang kau menghardik "picik!"Â
Saat tetangga kita mulai mudah menuduhÂ
Mereka sering mengutuk yang berbeda bentuk
 Dan menyumpah kafir karena tak sama dalam pikirÂ
Marahmu kau bawa di ranjang kitaÂ
Kau bertanya dan terus bertanyaÂ
Kau buat aku menjawab yang tak pernah kupikirkan sebelumnyaÂ
Dan kau pun menuduhku serupa dengan tetanggaÂ
Aku sakit mendengarnya Saat makianmu menghujat TuhankuÂ
Tuduhmu pada yakinku membuat memar hatikuÂ
Biar saja kau hujat tapi tak perlu di telingaku
 Marahmu pada prasangkaÂ
Marahmu pada kebencianÂ
Muakmu pada perangÂ
Muakmu pada pedangÂ
Saat itu agama di benakmu hanya penjaraÂ
Tapi di benakku adalah cahayaÂ
Agama di pikirmu hanyalah canduÂ
Tapi itu penuntun langkahkuÂ
Kaupun mengoceh tak karuanÂ
Apakah Tuhan ada? Untuk apa ada agama? Apakah karena kita ketakutan tanpa ada sebabnya?Â
(2)Â
Aku marah.Â
Biarkan aku berjalan dengan damaiÂ
Jangan kau marah pada langkahkuÂ
Aku bosan dengan pertanyaanmuÂ
Karena akupun mencari jawaban ituÂ
Tak lama kau menjadi berhenti bertanyaÂ
Kau tatap sujudku pada Tuhan yang kau benci ituÂ
Kau diam dalam seribu tanyaÂ
Mengapa aku selalu saja menjilat Tuhan dalam doa?Â
Kau semakin muak dengan diam dan yakinku
Kau anggap aku hanya beku dan kakuÂ
Tak berdaya memakai logikaÂ
Sembunyi dalam takutkuÂ
Dan selalu saja ada yang disalahkanÂ
Para pembunuh yang tidak tanpa sebabÂ
Dan hulu sebab kau tunjuk dengan telunjuk
 Tuhan yang tanpa tedeng aling-aling kau tudingÂ
(3)
 Kita tetap saja berjalan tanpa sejalanÂ
Kau diam akupun diamÂ
Tuhanku masih belum TuhanmuÂ
Aku bersujud kau masih mengutukÂ
Kau suka mencari tahuÂ
Segalanya kau jawab dengan raguÂ
Tapi kau tak pernah ragu cintakuÂ
Karena aku bapak dari anak-anakmu
Anak-anak kita mulai berlarian di halaman
 Mulai banyak pertanyaan dibenakmuÂ
Dalam selimut diammu kau merumuskan sesuatu "Tiada agama untuk anak-anakku"ucapmu.
 (4)Â
Aku berangan kau mulai menyapa diam kita akan sesuatuÂ
Sesuatu yang dulu pernah kita buat menjadi tabuÂ
Kau bertanya tentang Tuhan untuk anak-anak kitaÂ
Inginkupun kau tanyakan dengan pelan dan dalamÂ
Dan aku akan berkata" Istriku, kau buat anak kita sehat, dan, pintar, baik budi dan penuh empatiÂ
Mungkin perlu ada kitab suci tapi mungkin nantiÂ
Kau telah membawa mereka hidup dalam cinta
Mereka telah tumbuh merdekaÂ
Lesung pipit warisanku tentu bukan satu-satunya alasan mereka indah adanyaÂ
Tapi karena darimu welas asih subur dalam benak-benak merekaÂ
Mereka  adalah cahaya Istriku,Â
Tiada ketulusan yang tak menuntun keindahan
Dan Tuhan selalu bersama mereka yang penuh cintaÂ
Di pembaringanmu ini aku benar-benar yakin,
Setelah sangkakala nanti Tuhan Sang Maha mengerti  akan memelukmu mesra Istriku
Sepertimu, kini aku biarkan anak-anak  kita merdekaÂ
Dan aku biarkan mereka menatapku dan menatap kenanganmu apa adanya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H