Oleh: Zella Dina B
"Kamu ini sudah malam belum tidur? Apa yang sedang dipikirkan Ra?" Tanya Mamah yang seketika mengejutkan ku. Mendengar pertanyaan tersebut aku hanya tersenyum dan menarik selimut untuk berpura-pura tertidur. Mamah mengusap rambut ku seraya mengkhawatirkan sesuatu. Begitu lembutnya sentuhan tangan seorang Ibu hingga membuat aku terlelap.
      Pagi ini aku berangkat kerja lebih awal karena harus mengerjakan nota ekspedisi yang masih berantakan. Ketika dijalan aku melihat sosok seperti Brama.
      "Zahra, tumben pagi sekali kamu sudah pacaran sama sepeda? Pasti belum mandi ya kan?! Haha..." Brama memang suka meledek ku kapan saja dan dimana saja. Sebenarnya aku kesal jika harus bertemu dengan dia tetapi bagaimana pun dia teman terbaik ku semenjak Sekolah Dasar.
      "Aku sedang buru-buru Bram, ada hal yang harus aku kerjakan. Minggir!!!" Jawabku geram. Dia hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
...
      Atasanku memberi ku lemburan nota yang masih menumpuk, dan harus diselesai hari ini pula. Cukup melelahkan. Namun apa boleh buat? Jika aku menolaknya maka konsekuensinya aku akan di PHK. Itu tidak boleh terjadi. Rencana kuliah yang aku dampakan di tahun depan membuatku harus lebih serius bekerja keras, apapun tantangannya.
      "Kring...kring" suara dari ponselku menandakkan pesan masuk.
      Ternyata pesan dari Mamah, menanyakan mengapa aku belum sampai rumah. Untuk meredam kekhawatirannya, aku bergegas untuk membalasnya.
      Mamahku memang tipe yang protective kepada anak-anaknya. Namun hebatnya, ia tak memberi batasan apapun. Namun ia berpesan untuk selalu menjaga pergaulan dan tidak menggugurkan kewajiban beribadah.
...
      "Assalamu'alaikum, Zahra pulang".
      "Wa'alaikumsallam. Kak, larut sekali pulangnya. Ini sudah pukul 10. Mamah mengkhawatirkan mu sampai ia tertidur di depan TV".  Spontan, Ikhsan, adik ku bertanya dengan raut wajah penasaran. Dia memberitahu bahwasannya Mamah telah menungguiku sore tadi. Aku menjelaskan masalah mengapa aku pulang telat dan sudah memberitahu Mamah tentang ini. Adik ku percaya dan ia kembali melanjutkan mengerjakan tugas sekolahnya.
...
      "Hai, Zahra. Kamu nggak bekerja hari ini?" sapa Brama.
      "Enggak Bram. Aku diberi jatah libur untuk hari ini dan besok." Jawab ku yang sedang asyik menyiram tanaman di depan rumah.
      Brama hanya tersenyum mendengar jawaban ku dan melanjutkan lari paginya. Kebiasaan Brama yang seperti Jailangkung atau datang sejenak lalu pergi membuat ku semakin heran padanya. Hampir setiap pagi ia melewati daerah komplek rumah dan menyapa seperti tadi.
      Tiba-tiba aku menemukan benda hijau dibawah selang air untuk menyiram tanaman. Aku berpikir bahwa itu daun ternyata secarik kertas yang berisi simbol senyum. Ini bukan kali pertama aku menemukan kertas berwarna yang berisi simbol senyum. Beberapa waktu lalu aku menemukan kertas dengan warna berbeda namun isinya sama.
...
      "Zahra, hei!"
      "Eh, Bella. Ada apa?"
      Bella adalah teman sebangku ku dari Sekolah Dasar hingga Menengah Atas. Ia menghampiri rumah ku dengan membawa surat undangan reuni alumni SD. Acara itu diadakan akhir pekan ini, tepatnya hari Minggu. Karena rasa penasaran, dengan sigap, aku langsung merampas undangan itu dari tangan Bella.
...
      Aku bersiap-siap untuk ke sebuah Resto tempat dimana diadakan reuni. Seperti biasa aku berangkat menggunakan sepeda andalan ku. Di jalan aku bertemu dengan Brama. Ia melemparkan senyum saat mengendarai mobil pribadinya itu. Mungkin ia mempunyai tujuan sama denganku, yaitu memenuhi undangan reuni.
      Tiba-tiba ada suara yang memanggilku dari belakang. Sepertinya aku kenal, dan ternyata Brama. Aku sangka ia bakal meledek ku lagi tetapi kali ini tidak. Justru ia mengajakku masuk dan duduk bersamanya. Tawaran tersebut aku tolak lantaran aku masih menunggu teman. Aku terpaksa berbohong agar ia tidak mengganggui ku.
      "Kalau begitu aku masuk dulu. Tetapi boleh jika nanti aku ingin berbicara berdua dengan mu?" Kata Brama dengan nada mencurigakan.
      "Untuk apa? Kenapa tidak berbicara langsung saja di sini."
      "Tidak. Aku tunggu kamu di sana." Ucap Brama dengan menunjukkan sebuah tempat seperti taman kecil si sudut kanan Resto ini.
      Aku tidak tahu maksud dan tujuannnya. Akan tetapi, aku bingung untuk menanggapi raut wajahnya menunjukkan keseriusan.
...
      "Apakah aku boleh mencintai mu?
Brama, orang yang selama ini dikenal dingin dan tidak pernah berbicara banyak menanyakan hal demikian pada ku. Awalnya, aku menyangka ia sedang bergurau tetapi...
      "Kamu boleh tidak percaya dengan ku dan kamu juga boleh menjawab pertanyaan ini dengan kata tidak. Aku hanya ingin kamu menjawab saja. Apapun itu ra." Katanya memelas.
      "Ma.. maaf. Di dalam agama ku kita dilarang untuk saling mencintai sebelum resmi menjadi suami istri atau menikah. Apalagi dengan berbeda kepercayaan, Bram."
      Mendengar ucapakanku Brama hanya tersenyum dan meninggalkan ku di tempat itu. Aku merasa Brama akan menjauhiku karena mungkin ia tersinggung dengan jawabanku yang menyangkut-pautkan masalah agama terhadap pertanyaannya.
...
Hari berganti begitu cepat. Semenjak peristiwa di Resto enam tahun yang lalu, aku tidak pernah lagi melihat seorang Brama yang setiap pagi mengelilingi komplek ku. Mungkin ia terlalu sakit hati akan jawaban ku, aku ingin meminta maaf padanya. Namun harus bagaimana? Ia sudah tak pernah terlihat lagi. Aku berjanji, jika suatu saat nanti bertemu dengan Brama, aku akan meminta maaf padanya. Dan jika tidak diizinkan untuk bertemu, aku akan meminta pada Tuhan untuk melembutkan hatinya agar ia memaafkan dan melupakan kejadian itu.
      "Nanti malam kamu akan bertemu dengan calon imam mu, nak." Ujar Mamah ku
      "Baik mah."
      Mamah ku membocorkan nama calon yang akan meminang ku nanti, ia bernama Ustad Ibrahim Al Fahri. Dari namanya saja seperti keturunan ulama. Namun, ia adalah lulusan dari Universitas di Surabaya.
...
"Assalamu'alaikum, Zahra." Suara seorang laki-laki yang sepertinya ini adalah calon imam ku, ustad Fahri.
      "Wa'alaikumsallam, Ustad."
Tak ku sangka, Ustad yang selama ini akan menjadi imam ku ternyata adalah orang yang menemui dan meledek ku setiap pagi. Brama Adrian. Begitu terkejutnya aku mengetahui bahwa ia menjadi mu'allaf. Semula keluarganya tidak menyutujui jika Brama ini akan mu'allaf, tetapi dengan berbesar hati, keluarganya mengikhlaskan Brama untuk memilih berpindah agama. Ia bercerita, selama enam tahun Brama mendalami ilmu agama Islam yang sebelumnya ia memutuskan seorang mejadi seorang muslim. Bahkan ia mengubah namanya agar lebih meyakinkan pilihannya itu
"Satu hal yang harus kamu tahu, bahwa aku menjadi seorang muslim dan belajar agama hingga diberi kepercayaan untuk menjadi seorang Ustad bukan hanya karena pilihan saja, tetapi niat karena aku mempercayai Allah dan mempercayai aku ingin menjadi imam mu."
Teringat, aku mempunyai sebuah janji jika aku bertemu dengan Brama akan meminta maaf padanya. Tapi apa yang terjadi, ketika aku melontarkan kata minta maaf, ia malah menertawaiku. Ia menganggap aku seperti anak kecil. Sempat dibuat kesal, namun ia berusaha membuatku tertawa lagi. TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H