Aku melompat turun dengan susah payah dari ambulans, mengikuti petugas paramedis yang gesit menurunkan brankar dengan suamiku yang berada di atasnya. Tak kurasakan dinginnya aspal yang terkena basah air hujan, meski kini kakiku hanya bertelanjang. Pun begitu dengan luka sobek di sepanjang betis kiriku yang masih menganga, sama sekali tak kurasakan perihnya meski terkena guyuran hujan yang setia turun dengan derasnya. Tampaknya aku kini sedang merasakan mati rasa, sesuatu cenderung berkonotasi negatif, yang banyak disebut orang-orang. Namun meski begitu, syaraf otakku tampaknya masih baik-baik saja. Hal ini terbukti dengan berhasilnya otakku memerintah kakiku untuk berjalan dengan pincang.Â
Begitu pintu IGD dibuka oleh salah petugas yang berjaga di depan pintu kaca, semua orang di sekitarku serasa bergerak dengan sangat cepat. Para perawat yang tengah sibuk dengan pasien di depannya, tampak khawatir dan bergegas menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari rekan sejawatnya yang bisa segera menangani suamiku, pasien darurat yang baru saja datang dengan tubuh bersimbah darah ini. Namun karena pasien hari ini terlalu banyak, penanganan tak bisa segera terealisasi.Â
Salah satu perawat, bersama seseorang yang mengenakan jas panjang berwarna putih dengan stetoskop mengkilap yang menggantung berantakan di lehernya, lalu menghampiri kami, tepat setelah aku memekik frustrasi pada kondisi darurat yang terjadi padaku. Kedua tenaga kesehatan itu segera mendengarkan arahan petugas paramedis yang menolong kami di tempat kejadian.Â
Kening mereka berkerut, perawat laki-laki yang tampak masih sangat muda itu bahkan melangkah maju untuk mendekatkan diri pada petugas paramedis. Mungkin karena ia tak bisa mendengar penjelasan petugas paramedis itu, akibat suara tangisanku yang teramat kencang seperti anak kecil yang mainannya direbut oleh temannya. Aku bahkan menangis dengan suara lebih kencang daripada hujan deras yang entah mengapa tak pernah bosan mengguyur kota kecil tempat tinggalku. Â
 "Tolong ... selamatkan suami saya!" pekikku yang jelas mengundang beberapa pasang mata para pasien di IGD. Mungkin dalam hati, mereka merasa iba melihat kondisi sepasang suami istri yang sedang berhadapan dengan maut ini.
 Aku bangkit dari lantai, dan bergerak maju ke arah dokter yang kulitnya tampak semulus porselen, mencengkeram jas berwarna putih bersih yang dikenakannya. Kondisi jas itu sungguh berbanding terbalik dengan seragam kami yang bersimbah darah di sana-sini.
 "Saya sedang hamil, Dok." Tangisku kembali pecah, menarik iba dari seluruh penghuni IGD. Selanjutnya susah payah aku mengeluarkan kalimat yang telah dipersiapkan oleh otakku. "Tolong jangan biarkan dia pergi."Â
 Â
***
Satu jam sebelum kecelakaan terjadi ...
Di luar, hujan masih tampak deras mengguyur pelataran rumah sederhana yang telah lebih dari sepuluh tahun kami tinggali. Dengan seragam berwarna cokelat muda, yang konon katanya selalu diidam-idamkan banyak orang, aku mengintip melalui celah gorden berwarna kuning muda yang sedikit tersingkap dari jendela kamar kami. Langit dengan semburat warna campuran putih dan abu-abu, semakin meningkatkan rasa malasku untuk berangkat ke sekolah. Aku mengembuskan napas panjang. Teramat panjang hingga suamiku yang tengah bersiap di ruang tamu dengan tumpukan buku dan kertas-kertas yang akan dibawanya, refleks menghampiriku.
 "Kita tunggu sepuluh menit lagi, ya, Bun," serunya dengan wajah cerah yang sangat kontras dengan cuaca saat ini.
 "Kalau hujannya masih belum reda bagaimana, Yah?" tanyaku berharap ia memberi jawaban yang berbeda dari biasanya.
 Ia berjalan mendekat ke arahku. Dibelainya puncak kepala yang telah tertutup kerudung dengan warna senada dengan seragamku. Ia lalu duduk di tepi ranjang, menyejajarkan wajahnya denganku.Â
 "Sepertinya kita harus kembali berbagi kehangatan di balik mantel lagi, Bun," jawabnya santai.
 Aku berusaha keras menarik bibirku selebar yang aku bisa, demi menghormati lelucon yang menjurus ke arah rayuan yang ia lontarkan. Aku menghargai usahanya untuk membuatku tetap bersyukur dalam kondisi apa pun. Namun kejengkelanku tetap tak berkurang. Ia justru semakin bertambah, hingga dalam hati aku melontarkan protes pada Tuhan karena terus menurunkan air dari langit-Nya yang luas.Â
 Awal minggu sudah cukup membuatku malas untuk berangkat ke sekolah yang jaraknya puluhan kilo. Namun kali ini, Kau harus menambah penderitaanku dengan cuaca yang tidak mendukung seperti ini? Di hari yang seharusnya spesial bagi kami? Tak bisakah Kau hentikan hujan badai yang turun sekarang? Aku hanya minta hari ini saja.
Kini aku telah berdiri di teras rumah. Sekali lagi kuperhatikan tumpahan air hujan yang tampak semakin deras jika dilihat dari jarak dekat seperti ini. Ia mengguyur berbagai tanaman hias yang dirawat suamiku dengan penuh cinta, hampir sama besar seperti cintanya padaku. Aku mengembuskan napas panjang sesaat sebelum memakai mantel berwarna krem pastel yang telah susah payah dibeli oleh suamiku. Drama pencarian mantel itu bahkan berjalan hingga berbulan-bulan, karena sungguh tak mudah mencari mantel dengan kriteria warna yang sesuai dengan yang aku inginkan. Namun bukan suamiku jika harus menyerah pada apa pun yang kuminta. Sesuatu yang sering diingatkan oleh teman-temanku, supaya aku bersyukur dikaruniai akan hal itu.
 "Sudah siap, Bun?" tanyanya mengembalikan kesadaranku.
 Aku hanya mengangguk datar. Maafkan aku, Yah. Karena sekarang aku benar-benar tak bisa menyembunyikan kejengkelanku lagi.Â
Sebenarnya, hari ini adalah hari penting. Hari ini bukan sekadar akhir tahun yang biasa diperingati oleh kebanyakan orang dengan pesta. Juga bukan tentang hari jadi pernikahan kami yang ke tiga belas. Ini semua tentang kejutan besar yang telah kusiapkan untuknya di acara makan malam spesial kami nanti. Namun kondisi cuaca yang menyebalkan ini sungguh membuat suasana hatiku berantakan.
***
Aku mengikuti arahan Dokter untuk memindahkan suamiku di bilik yang baru saja kosong. Lagi-lagi, aku harus bersusah payah mengikuti kecepatan gerak orang lain yang sehat, dengan kondisi kaki yang tak bisa diajak bersahabat. Salah satu perawat yang mengetahui gerakan kakiku yang tak normal, segera menawarkan diri untuk memeriksa.
 "Maaf, Sus, tapi nggak ada hal yang lebih penting dari penanganan suamiku lebih dulu," jawabku sembari menunjuk suamiku yang masih terus menutup matanya.
 "Ibu bisa melakukan pemeriksaan di samping Bapak," timpal Dokter ikut membujukku.Â
 Aku tahu semua yang dilakukannya adalah demi keselamatanku juga.Â
 Aku menggeleng dengan tatapan kosong, menatap lurus pada suamiku yang entah harus menunggu berapa lama lagi untuk diperiksa. "Pastikan kondisinya lebih dulu, Dok."Â
Aku lalu mengalihkan pandangan pada Dokter. "Setelah itu saya bersedia diperiksa," janjiku sungguh-sungguh.
 Dokter pun mengangguk dan bergegas memeriksa suamiku. Ia memperhatikan seluruh organ vital suamiku dengan seksama. Dari alisnya yang semakin berkerut, aku bisa menangkap secuil kecemasan yang tak bisa disembunyikan. Ia lalu memasang stetoskopnya, dan memeriksa sistem pernapasan suamiku, satu-satunya harapan seluruh makhluk hidup yang masih bernapas di muka bumi. Â
 Aku terus merapal doa demi mendengar berita baik dari Dokter yang terus mengerutkan alisnya ini. Aku bahkan berjanji pada Tuhan untuk menjadi istri yang tak mudah mengeluh akan semua hal buruk yang menimpaku, jika Ia mengizinkan untuk menurunkan keajaiban detik ini juga.
 Namun lagi-lagi, Tuhan tak mendengar doaku. Satu kalimat menyayat hati yang terucap dari Dokter setelah berkali-kali mengusap wajah mulus bak porselennya, sangat cukup membuatku seketika terkulai di lantai. Beberapa detik selanjutnya, semuanya tiba-tiba terasa gelap. Â
***
 Beberapa saat sebelum kecelakaan terjadi ...
Tak ada yang bisa menghadapiku dengan sabar kecuali suamiku. Meski entah telah berapa milyar kali ia harus berusaha menenangkan suasana hatiku yang buruk, dan menghiburku demi mengembalikan senyum yang selalu ia rindukan. Seperti yang ia lakukan saat ini, meski hujan badai menerpa wajahnya, ia tetap memastikan bahwa aku tak apa. Tentu saja dengan jawaban penuh gerutuan karena sebal terkena tampias air yang berebut menampar wajahku, aku menjawab pertanyaan tulusnya dengan asal-asalan.
 "Apa mau berhenti dulu, Bun?" teriaknya berusaha mengalahkan suara hujan.
 Aku menggeleng keras, tanpa membuka kaca helm karena enggan terkena tampias air hujan lagi.Â
 Namun tampaknya ia tak bisa melihat gelengan kepalaku yang terlampau bersemangat itu karena cuaca yang terlalu buruk.Â
 "Gimana, Bun?" teriaknya sekali lagi. Beberapa kali ia berusaha menengok padaku yang tetap diam tak menjawab. "Kalau mau berhenti bilang aja, Bun. Biar Ayah cari tempat untuk berteduh."
 Karena malas dengan pertanyaannya yang bertubi-tubi, aku dengan enggan membuka kaca helm dan bersiap menjawab. "Nggak usah, lanjut aja terus sampai sekolah. Sudah kepalang basah."
 "Apa, Bun?" tanyanya sembari berulang kali menengok ke arahku. "Lebih keras, Bun, Ayah nggak dengar!"
 Namun setelah satu kalimat itu, aku tak ingat lagi tentang apa yang selanjutnya terjadi pada kami.
***
Aku berjalan turun dari ranjangku, masih dengan sedikit pincang. bedanya kini, betis kiriku telah dibebat tebal oleh kain kasa, tanda aku telah mendapat perawatan. Perawat yang mengetahui aku telah sadar, segera menuntunku ke tempatmu. Setelah sampai di ranjangmu dan membuka selimut tipis yang menutupi seluruh wajahmu, aku membisikkan kalimat itu. Kalimat yang seharusnya ia dengar dalam keadaan yang tak seperti ini.
 "Selamat, Yah," ucapku dengan nada bergetar. Aku berusaha keras menggigit bibir supaya tak ada air mata yang jatuh di pipiku. "Kamu akhirnya benar-benar akan menjadi seorang Ayah."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H