Aku mengikuti arahan Dokter untuk memindahkan suamiku di bilik yang baru saja kosong. Lagi-lagi, aku harus bersusah payah mengikuti kecepatan gerak orang lain yang sehat, dengan kondisi kaki yang tak bisa diajak bersahabat. Salah satu perawat yang mengetahui gerakan kakiku yang tak normal, segera menawarkan diri untuk memeriksa.
 "Maaf, Sus, tapi nggak ada hal yang lebih penting dari penanganan suamiku lebih dulu," jawabku sembari menunjuk suamiku yang masih terus menutup matanya.
 "Ibu bisa melakukan pemeriksaan di samping Bapak," timpal Dokter ikut membujukku.Â
 Aku tahu semua yang dilakukannya adalah demi keselamatanku juga.Â
 Aku menggeleng dengan tatapan kosong, menatap lurus pada suamiku yang entah harus menunggu berapa lama lagi untuk diperiksa. "Pastikan kondisinya lebih dulu, Dok."Â
Aku lalu mengalihkan pandangan pada Dokter. "Setelah itu saya bersedia diperiksa," janjiku sungguh-sungguh.
 Dokter pun mengangguk dan bergegas memeriksa suamiku. Ia memperhatikan seluruh organ vital suamiku dengan seksama. Dari alisnya yang semakin berkerut, aku bisa menangkap secuil kecemasan yang tak bisa disembunyikan. Ia lalu memasang stetoskopnya, dan memeriksa sistem pernapasan suamiku, satu-satunya harapan seluruh makhluk hidup yang masih bernapas di muka bumi. Â
 Aku terus merapal doa demi mendengar berita baik dari Dokter yang terus mengerutkan alisnya ini. Aku bahkan berjanji pada Tuhan untuk menjadi istri yang tak mudah mengeluh akan semua hal buruk yang menimpaku, jika Ia mengizinkan untuk menurunkan keajaiban detik ini juga.
 Namun lagi-lagi, Tuhan tak mendengar doaku. Satu kalimat menyayat hati yang terucap dari Dokter setelah berkali-kali mengusap wajah mulus bak porselennya, sangat cukup membuatku seketika terkulai di lantai. Beberapa detik selanjutnya, semuanya tiba-tiba terasa gelap. Â
***
 Beberapa saat sebelum kecelakaan terjadi ...