Tak ada yang bisa menghadapiku dengan sabar kecuali suamiku. Meski entah telah berapa milyar kali ia harus berusaha menenangkan suasana hatiku yang buruk, dan menghiburku demi mengembalikan senyum yang selalu ia rindukan. Seperti yang ia lakukan saat ini, meski hujan badai menerpa wajahnya, ia tetap memastikan bahwa aku tak apa. Tentu saja dengan jawaban penuh gerutuan karena sebal terkena tampias air yang berebut menampar wajahku, aku menjawab pertanyaan tulusnya dengan asal-asalan.
 "Apa mau berhenti dulu, Bun?" teriaknya berusaha mengalahkan suara hujan.
 Aku menggeleng keras, tanpa membuka kaca helm karena enggan terkena tampias air hujan lagi.Â
 Namun tampaknya ia tak bisa melihat gelengan kepalaku yang terlampau bersemangat itu karena cuaca yang terlalu buruk.Â
 "Gimana, Bun?" teriaknya sekali lagi. Beberapa kali ia berusaha menengok padaku yang tetap diam tak menjawab. "Kalau mau berhenti bilang aja, Bun. Biar Ayah cari tempat untuk berteduh."
 Karena malas dengan pertanyaannya yang bertubi-tubi, aku dengan enggan membuka kaca helm dan bersiap menjawab. "Nggak usah, lanjut aja terus sampai sekolah. Sudah kepalang basah."
 "Apa, Bun?" tanyanya sembari berulang kali menengok ke arahku. "Lebih keras, Bun, Ayah nggak dengar!"
 Namun setelah satu kalimat itu, aku tak ingat lagi tentang apa yang selanjutnya terjadi pada kami.
***
Aku berjalan turun dari ranjangku, masih dengan sedikit pincang. bedanya kini, betis kiriku telah dibebat tebal oleh kain kasa, tanda aku telah mendapat perawatan. Perawat yang mengetahui aku telah sadar, segera menuntunku ke tempatmu. Setelah sampai di ranjangmu dan membuka selimut tipis yang menutupi seluruh wajahmu, aku membisikkan kalimat itu. Kalimat yang seharusnya ia dengar dalam keadaan yang tak seperti ini.
 "Selamat, Yah," ucapku dengan nada bergetar. Aku berusaha keras menggigit bibir supaya tak ada air mata yang jatuh di pipiku. "Kamu akhirnya benar-benar akan menjadi seorang Ayah."