"Itu salah satu hasil tangkapan Pak Firman." Radit menunjuk kerang yang sejak tadi dijulurkannya dan belum kusambut. "Tentu saja kerang ini terlalu indah untuk ikut diawetkan!" serunya panjang lebar.
"Thank's!" jawabku pendek. Aku menerima kerang darinya, meski tak tahu, akan kugunakan untuk apa.
"Kerang itu nggak hanya cantik di luar saja. Dia juga bisa menghasilkan sesuatu yang cantik di dalamnya." Radit menarik napas panjang, menghirup aroma laut.
Aku menoleh ke arahnya. Ia mengangguk, memberiku isyarat untuk membuka kerang di tanganku. Sebuah mutiara yang berkali lipat lebih berkilau dari kerang yang diberinya, segera menyambutku. Aku menganga, tersihir dengan keindahan barang mungil yang ada di tanganku.
Radit tersenyum melihat reaksiku yang sedikit kampungan, karena baru pertama kali melihat langsung mutiara. "Sayangnya dia harus melewati serangkaian hal menyakitkan sebelum bisa menghasilkan sesuatu yang indah itu."
"Sepertinya ... saat ini kamu sedang menjalani fase menyakitkan itu." Radit menyeret kesadaranku tentang ke arah mana obrolan yang ia mulai.
"Setelah melewati ini semua, kamu pasti menjadi Amara yang berjuta kali lipat lebih berkilau dari saat ini."
Aku menatap Radit yang bersiap berdiri.
"Aku harus kembali, Ra." Dia menunjuk kelompok prokernya yang sedang menunggu di belakang kami.
 Aku mengangguk dan ikut berdiri mempersilakan Radit untuk kembali. Namun saat aku akan duduk lagi, Radit berjongkok di depanku.
"Besok ..." Radit menggeleng, jakunnya naik turun dan napasnya memburu. "Bolehkah aku menemani kapan pun kamu melihat laut seperti sekarang?"