Suasana yang sempurna dan membuatku tenang. Namun sepertinya, ketenangan yang kurasakan saat ini kurang sempurna bila yang di sampingku bukan dia. Sekali lagi, kuucap syukur pada Tuhan karena telah membuat Radit tak pernah menyerah padaku.
***
Tujuh tahun lalu ...
Hari kedua di Desa Mbokita, kuawali dengan mengadakan rapat bersama dengan perwakilan warga dan kepala desa beserta jajarannya. Rapat ini diadakan di balai desa yang sama seperti yang Pak Ahid gunakan untuk menyambut kedatangan kami. Setelah sarapan bersama dengan berbagai olahan menu ikan, kami bersepuluh segera mempresentasikan beberapa program kerja yang telah kami buat.
Program kerja yang kami buat, telah disesuaikan dengan asal jurusan dan ilmu yang telah kami pelajari di kampus. Di antaranya ada dua mahasiswa dari fakultas kedokteran, membuat program kerja pemeriksaan gratis setiap akhir pekan. Radit yang berasal dari jurusan perikanan, membuat program kerja penyuluhan yang lengkap dengan praktik mengolah ikan dengan berbagai teknik supaya penyimpanannya lebih tahan lama. Ia juga bekerja sama dengan dua mahasiswa dari jurusan ilmu gizi dan seorang mahasiswa dari fakultas ekonomi.Â
Menurutnya, hal itu sangat penting untuk memberikan gambaran tentang kandungan gizi dalam ikan olahan dan nilai ekonomi dari produk ikan olahan yang pasti lebih tinggi dari ikan mentah.
Saat ia menjelaskan tentang program kerjanya secara internal untuk pertama kali, aku merasa antusias, setuju dengan idenya yang segar dan konkret.Â
Dan sekarang, saat ia kembali menjelaskan tentang program kerjanya pada masyarakat Desa Mbokita, lagi-lagi perasaan antusias itu muncul. Entah karena tersihir melihatnya begitu bagus membawakan presentasi atau karena ide briliannya. Atau mungkin aku bahkan sekadar tak sabar dengan hasil akhir dari program kerja yang ia rancang.
Setelah menyelesaikan presentasinya, Radit lalu menyerahkan mikrofon yang ia gunakan padaku. Aku mengucapkan terima kasih padanya. Namun sama seperti sebelumnya, ia hanya menatapku, dan mundur dengan tergesa hingga hampir terjatuh karena tersandung kaki meja di sebelahnya. Melihatnya seperti itu di depan mataku, membuatku refleks memegang lengannya.
"Ya ampun, hati-hati, Dit!" seruku.
"Mas Radit dan Mbak Amara sepertinya cocok, ya!" sahut Pak Ahid yang segera disambut dengan sorakan para warga.
Mendengar teriakan para warga, aku segera melepaskan tanganku dari jas almamaternya. Aku berdehem dan pura-pura merapikan anak rambut yang sebenarnya tak mengganggu. Dari ujung mataku, Radit telah kembali di barisan mahasiswa. Rupanya, di sana ia juga tak luput dari ejekan teman-temannya. Aku menegakkan tubuh, berusaha kembali fokus pada program kerja yang sebentar lagi akan kupresentasikan. Â