Kami berkeliling sambil membicarakan banyak hal. Sesekali ia berhenti dan melepas gandengan tangan kami untuk berjongkok mengambil benda laut yang terdampar di pasir.
"Ini untuk kamu!" serunya seraya memberikan sebuah kerang berwarna cokelat muda berkilauan padaku, persis seperti yang ia lakukan dulu saat melihatku menangisi pria itu.
Aku tertawa dan membisikkan terima kasih dengan lembut di telinganya.
"Aku refleks memberi semua yang indah ke kamu, Ra," jawabnya sembari melingkarkan tangannya di pinggangku.
Ia dan rasa cintanya tak pernah berubah. Sepertinya hal itu yang membuatku akhirnya luluh dan menerimanya.
"Hmmm ... Mumpung kita lagi di sini, apa ada seseorang yang pengin kamu temui?" tanyanya saat kami melanjutkan perjalanan.
Meski tanpa menengok ke arahku, aku tahu ia berusaha sekuat tenaga untuk menanyakan itu. Aku tahu seberapa besar ia menelan egonya untuk akhirnya bertanya tentang hal yang tak pernah lagi kami bahas, di tengah tempat yang penuh kenangan akan masa lalu, ditambah lagi dalam rangkaian acara pemotretan untuk acara pernikahan kami.
Aku bisa membaca kegundahannya. Aku tahu, ia takut aku kembali merisaukan sosok yang dulu selalu membuatku bercucuran air mata. Namun ia tetaplah Radit, seorang yang selalu berusaha bertanya tentang perasaanku. Radit yang tak pernah berhenti untuk berusaha memahamiku.
Meski sedikit tersentak dengan pertanyaannya, tetapi aku bisa menggelengkan kepala dengan cukup cepat untuk merespon pertanyaannya. "Sekarang dan sampai seterusnya, aku cuma butuh kamu," ucapku lirih sembari menatapnya yang tersenyum puas mendengar jawabanku.
Ia lalu menarikku ke dalam pelukannya, lamat-lamat ia membisikkan kata terima kasih di telingaku. Aku menggeleng lemah. Seharusnya aku yang berterima kasih padanya atas semua yang ia berikan padaku selama ini.
Setelahnya, kami habiskan waktu dengan menatap senja di langit yang beratraksi memamerkan keindahannya. Aku bersandar di bahu Radit dengan ditemani langit berwarna jingga, dan semilir angin yang membawa aroma laut.Â