Mohon tunggu...
AmYu Sulistyo
AmYu Sulistyo Mohon Tunggu... Mahasiswa -

@amyu12 || Ambar Sulistyo Ayu || Seorang Calon Perencana yang Real akan merealisasikan rencana membuat Kota Impian dunia || T.PWK Undip 2012 || Project taker

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Belajar Menyeberang Jalan dengan Mbah Sutilah (Hargai Hak Pejalan Kaki)

1 Desember 2015   09:59 Diperbarui: 1 Desember 2015   09:59 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamis, 19 November 2015, Seperti biasa saya menuju ke kampus menggunakan angkutan umum jurusan Ungaran – Ngesrep. Saya mempelajari teknik menyeberang yang cukup cerdik menurut saya. Dari seorang nenek bernama Mbah Sutilah, beliau tinggal di Belakang SD Pudakpayung 01.

[caption caption="Mbah Sutilah yang menderita Katarak di mata Kanannya"][/caption]

Karena kejadian nenek ini, saya teringat lagi dengan kalimat “Negara-Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah efektif untuk menjamin mobilitas pribadi dengan independensi seluas-luasnya bagi penyandang disabilitas” yang diutarakan dalam Konvensi Hak -Hak Penyandang Disabilitas atau Convention On The Rights of Persons with Disabilities (CRPD) kebetulan kasusnya cocok, meskipun mungkin si nenek yang saya temui di angkot ini menderita katarak parah pada mata sebelah kanannya.

Yang kulihat, dia menggunakan pakaian dan kerudung berwarna ungu, beliau duduk di pojok sambil memandang ke depan mobil angkot. Sayapun kepo dengan nenek ini kemudian memulai percakapan (seluruh percakapan sebenarnya menggunakan bahasa jawa, namun karena untuk memudahkan pembaca saya langsung bahasa Indonesia saja)

A: Nyuwun Sewu bu, Ibu nanti akan turun di mana?

N: Aku ikut muter dek.

A: Ikut muter? Rumahnya di mana bu?

N: Rumah saya di belakang SD situ (sambil menunjuk gang seberang jalan yang baru saja angkot yang saya tumpangi lewat)

A: Lho ibu dari mana?

N: Saya habis belanja di Pasar Ungaran.

A: Lho.. jenengan tidak turun bu?

N: Mbah Suti ga berani nyebrang dek, biar saya ikut angkot ini saja, mbah takut menyebrang jalan ini, temennya Truk dan Tronton semua, motorpun jalannya ga tahu aturan. Saya menyeberang ikut angkot ini, dia kan nanti nyebrang di Ngesrep, biar saja mbah ini bayar 2x yang penting mbah bisa menyebrang.

A: Kan di sana bisa minta tolong orang untuk menyeberangkan mbah? Mengapa mbah tidak minta disebrangkan saja?

N: Ah, mbah takut, langkah mbah sudah pelan, mata mbah yang satu sudah burem parah.

 [caption caption="Rute bolak balik Mbah Sutilah"]

[/caption]

Bisa dibayangkan, mbah Sutilah ini mengeluarkan 2 kali ongkos angkot hanya untuk bisa menyeberang jalan. Karena memang di Ngesrep angkot ini akan berputar dan menempuh rute yang sama. Nenek ini berinisiatif mengikuti angkot karena nanti dia bisa turun tepat pada gang yang ada di seberang jalan tadi.

Sebagian besar kita selalu berkata, “Mana anaknya?” “Anaknya tidak tahu diri.” dan lain sebagainya. Anak dari mbah Sutilah ini ada dua, semuanya bekerja di luarkota, mempunyai title sarjana, serta selalu tidak lupa memberi uang pada ibunya (berdasarkan cerita di angkot setelahnya), bahkan mbah Sutilah sedih, dia bercerita bahwa anak perempuannya yang merupakan Istri dari salah satu anggota kesatuan Polri pernah ditabrak mobil saat mengendarai sepeda motor, sehingga akhirnya dia harus dijahit di sepanjang betisnya.

Mbah Sutilah sendiri pasti rela jika tidak ditemani anak-anaknya, karena mereka sudah sukses sekarang. Tidak mungkin jika anak-anak mbah Sutilah, terutama yang laki-laki harus berhenti bekerja demi mengurusi ibunya, apa kata orang, pasti orang akan mencemooh dia dan mencap dia sebagai pengangguran yang tidak sukses. Serba salah.

N: Nduk, kamu benar-benar sopan, tidak seperti teman sebayamu yang tidak menghormati orang tua.

A: Tidak bu, bahkan bahasa jawa saya kasar ke ibu.

N: Sudah bagus dek, seharusnya banyak anak muda yang mandiri dan hormat sepertimu. Tidak mau merepotkan orang tua dengan naik angkot.

Begitulah kata-kata mbah sutilah di akhir pembicaraan, meskipun tidak nyambung dengan tema, tetap saja akhirnya mbah Sutilah harus membayar 2x tarif untuk menanggung biaya "menyeberangnya" itulah yang kupelajari dari Mbah Sutilah.

[caption caption="Foto 2 tahun lalu, penjual jamu gendong melintasi jalan yang baru diaspal bersama kendaraan lainnya, akibat tidak ada trotoar untuk berjalan dengan nyaman"]

[/caption]

Maka dari itu, lalu lintas kita harus peduli terhadap lansia dan penyandang disabilitas untuk bisa mandiri dengan berjalan kaki dan menggunakan angkutan umum. Memang menyeberang bisa pakai jembatan, namun bagi orang yang melihatnya, jembatan yang cukup tinggi dan undakan tangga yang tidak datar memang bukan untuk penyandang disabilitas dan lansia. Lalu untuk siapa jembatan itu sebenarnya? Apakah hanya untuk orang yang sehat? Tak perlulah jembatan, trotoar saja juga membuat orang yang sehatpun tidak nyaman melaluinya, apalagi manula, anak-anak, dan penyandang disabilitas.

Saya sangat berharap RUU Penyandang disabilitas segera di sahkan dan desain ruang perkotaan kita betul-betul ramah terhadap seluruh kalangan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun