Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Ini yang Membuat Rizal Ramli Bulat Hentikan Reklamasi Pulau G

23 Juli 2016   11:01 Diperbarui: 26 Juli 2016   10:58 1256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KOMITE Gabungan reklamasi Pantai Utara Jakarta yang dipimpin oleh Dr. Rizal Ramli selaku Menko Kemaritiman dan Sumber Daya, telah sepakat secara bulat memunculkan 3 poin rekomendasi, salah satunya adalah menghentikan secara permanen pembangunan reklamasi Pulau G.

Namun perlu digaris-bawahi, bahwa dengan dihentikannya pembangunan Pulau G secara permanen, itu bukan berarti Komite Gabungan telah menganulir peraturan maupun perundang-undangan yang berlaku.

Justru dengan penghentian pembangunan Pulau G tersebut, Komite Gabungan boleh dikata telah berhasil “meluruskan” dan memperjuangkan kehendak hakiki yang tersirat dalam seluruh aturan maupun perundang-undangan yang ada, khususnya mengenai reklamasi di negara ini. Apa itu? Ya... secara hakiki tentu saja tersirat adalah untuk kepentingan besar bagi rakyat dan negara tercinta ini.

Bukankah memang setiap aturan maupun segala bentuk perundang-undangan yang diterbitkan adalah untuk dan demi kepentingan bangsa serta kebaikan negara ini? Dan nampaknya Komite Gabungan memang sangat memahami dengan filosofi hukum, yang di dalamnya terdapat di antaranya yang disebut Ontologi, Ideologi dan juga Teleologi hukum.

Ontologi hukum mencakup tentang segala sesuatu (merefleksi hakikat hukum dan konsep-konsep fundamental dalam hukum, seperti konsep demokrasi, hubungan hukum dan kekuasaan, hubungan hukum dan moral).

Sedang ideologi hukum mencakup tentang tujuan hukum yang menyangkut cita manusia (merefleksi wawasan manusia dan masyarakat yang melandasi dan melegitimasi kaidah hukum, pranata hukum, sistem hukum dan bagian-bagian dari sistem hukum)

Selanjutnya, Teleologi hukum meliputi seluruh hal tentang tujuan hukum yang menyangkut cita hukum itu sendiri (artinya merefleksi makna dan tujuan hukum).

Sayangnya, dalam konteks reklamasi ini, malah Ahok yang kelihatannya tidak mampu melihat permasalahan yang terjadi saat ini secara filosofi hukum, yakni dengan hanya langsung menelan mentah-mentah Keppres No.52 Tahun 1995 yang “sudah basi” itu tanpa mau peduli dengan “situasi terkini”.

Hal itu terlihat dengan gesitnya Ahok melakukan langkah penolakan terhadap hasil kerja yang telah dilakukan oleh Komite Gabungan yang memberhentikan pembangunan reklamasi Pulau G.

Ahok bersikeras dengan tetap menjadikan Keppres No. 52 Tahun 1995 itu sebagai satu-satunya dasar hukum, bahkan menganggap bahwa Keppres tersebut “tak bisa dikalahkan” oleh aturan atau kekuatan hukum apapun, kecuali dari Presiden. Sekali lagi ini bukti bahwa Ahok tidak paham dengan filosofi hukum.

Dengan sikapnya yang lebih “mendewakan” Keppres 52 Tahun 1995 itu dibanding aturan lainnya (termasuk aturan perizinan, amdal, tata-ruang, civil-society, dan lain sebagainya) membuat publik pun makin geram dengan sejuta dugaan kepada Ahok, --misalnya: jangan-jangan Ahok sudah ada “affair” dengan pihak pengembang? Atau jangan-jangan Ahok adalah sosok “penjajah model masa kini” yang ingin menguasai Indonesia tanpa perlu melalui cara seperti yang dilakukan oleh Belanda??

Entahlah?! Yang jelas, Ahok sangat ngotot melawan rekomendasi Komite Gabungan yang di dalamnya terdapat 6 kementerian (Kemenko Kemaritiman, Kementerian KKP, Kementerian LHK, Kementerian Perhubungan, Kementerian Dalam Negeri, Bappenas) dan di sisi bersamaan amat membela pihak pengembang.

Padahal, rekomendasi dari Komite Gabungan yang dinakhodai Rizal Ramli itu sangat jelas diikuti dengan banyak pertimbangan, mulai dari segi hukum (aturan), sosial, politik, ekonomi, lingkungan hidup, dan lain sebagainya.

Misalnya, pertimbangan dari segi hukum dan aturan yang ada sangat jelas memang terjadi overlapping alias tumpang-tindih. Bahkan Keppres 52 Tahun 1995 yang dijadikan dasar hukum oleh Ahok itu, selain memang sudah “basi”, juga dilanggar sendiri (tak dijalankan sepenuhnya) oleh Ahok, yakni pada Pasal 11 ayat 1 dalam Keppres itu disebutkan, bahwa: “Penyelenggaraan Reklamasi Pantura WAJIB memperhatikan kepentingan lingkungan, kepentingan pelabuhan, kepentingan kawasan pantai berhutan bakau, kepentingan nelayan dan fungsi-fungsi lain yang ada di Kawasan Pantura”.

Sebagaimana yang telah diumumkan oleh Komite Gabungan, bahwa reklamasi Pulau G terpaksa harus dibatalkan (dihentikan) secara permanen karena tidak memenuhi Pasal 11 ayat 1 Keppres No. 52 Tahun 1995 tersebut, yakni: 1. Membahayakan lingkungan hidup; 2. Mengganggu arus lalu-lintas laut ke dan dari pelabuhan; 3. Mengganggu kepentingan nelayan (kapal atau perahu nelayan harus jauh berputar menghabiskan solar) ketika harus melaut; 4. Di bawah pulau tersebut terdapat prasarana vital dan strategis seperti kabel-kabel listrik milik PLN.

Dari situ, Komite Gabungan secara substansi sesungguhnya mengedepankan aturan. Sedang Ahok yang langsung “main lapor” dengan mengadukan Komite Gabungan ke Presiden, boleh dikata adalah sebuah sikap yang tak mau “diatur” baik oleh negara maupun terhadap aturan yang ia sendiri jadikan sebagai dasar hukum tersebut.

Jika Ahok memang teguh terhadap Keppres No. 52 Tahun 1995 sebagai dasar hukum-nya dalam bertindak, maka seharusnya Ahok tunduk pada semua aturan “main” yang ditekankan di dalam Keppres tersebut, bukan malah tergopoh-gopoh ke Istana Negara untuk melaporkan Komite Gabungan ihwal penghentian reklamasi Pulau G tersebut  ke Presiden. Dan berikut ini adalah gaya komunikasi Ahok ke Presiden Jokowi: “.... apa benar Menko loe ngomong bahwa Keppres kamu kalah sama Menko...

Dengan langsung “main lapor” ke Presiden, maka Ahok sama halnya “menolak”  sendiri Keppres No. 52 Tahun 1995 tersebut, sekaligus itu menandakan bahwa Ahok telah “melecehkan” hasil kerja dan kesepakatan 6 Kementerian yang terlibat dalam Komite Gabungan Reklamasi (Kemenko Kemaritiman dan Sumber Daya, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Dalam negeri, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas).

Dan perlu diketahui, bahwa rekomendasi yang diumumkan oleh Komite Gabung tersebut sesungguhnya adalah sebuah TAHAPAN (sekali lagi sebuah tahapan) yang harus dilalui oleh Komite Gabungan sambil menunggu tahapan berikutnya, yakni menunggu arahan selanjutnya dari Presiden Jokowi. Hanya saja Ahok yang nampaknya keburu-nafsu seolah ingin “melawan” 6 kementerian tersebut demi membela pengembang.

Sehingga dengan sikap Ahok tersebut tak salah jika Rizal Ramli menyebutnya sebagai sosok pejabat cengeng. Bahkan Rizal Ramli mengaku bingung, kenapa Ahok begitu ngotot membela pengembang. Sampai-sampai Rizal Ramli pun menyindir Ahok dengan sebuah pertanyaan: “Ahok itu Gubernur DKI atau karyawan pengembang?”

Kembali ke masalah 4 point pelanggaran yang menjadi penekanan WAJIB dalam Pasal 11 ayat 1 pada Keppres 52 Tahun 1995 tersebut, yang faktanya tidak diperhatikan oleh Ahok bersama pihak pengembang dalam menyelenggarakan reklamasi Pulau G tersebut.

Fakta-fakta tersebut adalah, sebagaimana diungkapkan oleh Abdulrachim selaku Staf Ahli Menko Kemaritiman dan Sumber Daya, bahwa pertama, di lokasi Pulau G terdapat instalasi pipa gas yang terkait dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Muara Karang yang bisa terganggu dan membahayakan bila reklamasi pulau G dilanjutkan. Menurut Peraturan Pemerintah atau PP 5/2010 Tentang Kenavigasian, bila ada pipa gas maka harus ada ruang bebas 500 meter kanan kiri.

Kedua, menurut Abdulrachim, di lokasi Pulau G terdapat kabel-kabel listrik bertegangan tinggi yang bisa terganggu dan membahayakan bila reklamasi Pulau G dilanjutkan.

Di dekat lokasi tersebut (Pulau G), kata Abdulrachim, kurang dari 500 meter, juga terdapat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Muara Karang 1200 MW yang akan diperluas 800 MW lagi yang menggunakan air laut dalam sistem kerjanya. Akibat adanya reklamasi Pulau G ini temperatur air lautnya menjadi naik 2 derajat celcius. Hal ini akan menimbulkan kerugian sebesar lebih dari 100.juta setiap hari, akibat pemakaian bahan bakar yang lebih banyak.

“PLN sudah mengirim surat keberatan kepada Pemprov DKI pada bulan Februari 2012 dan berkirim surat berkeberatan lagi kepada Menko Maritim dan Sumber Daya pada dua hari sebelum keputusan penghentian seterusnya reklamasi Pulau G,” terang Abdulrachim.

Keterangan Abdulrachim ini dibenarkan oleh pihak PLN. Dikutip dari laman resmi pln.co.id, manajemen PLN menyatakan, reklamasi pantai Utara Jakarta dipastikan sangat mengancam pasokan listrik untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Pasalnya, salah satu pembangkit listrik berada di sekitar Pulau G, yakni PLTU/PLTGU Muara Karang dengan total kapasitas terpasang 1684 MW yang selama ini menjadi tulang punggung pasokan listrik untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya. Selain PLTU/PLTGU Muara Karang, di kawasan pantura Jakarta tersebut juga terdapat PLTU/PLTGU Priok dan PLTGU Muara Tawar yang sudah sangat lama beroperasi.

Keberadaan pembangkit listrik tadi, menurut pihak PLN, menjadi sangat strategis, tidak hanya karena masuk sebagai obyek instalasi vital, tetapi juga karena pasokan listrik dari ketiga pembangkit tadi menjadi tulang punggung pemenuhan kebutuhan listrik (memasok sekitar 53% dari kebutuhan listrik di wilayah Jakarta dan sekitarnya).

Sejumlah kawasan VVIP di Jakarta dan Tangerang, seperti Istana Negara, Bandara Sokerano-Hatta dan pusat bisnis terpadu Sudirman-Kuningan kebutuhan listriknya bersumber dari pembangkit listrik yang berada di wilayah Pantura Jakarta tersebut. Apalagi, listrik yang dihasilkan dari ketiga pembangkit tadi juga masuk ke dalam sistem interkoneksi Jawa Bali.

Sehingga itu, pihak PLN menegaskan, bahwa reklamasi di sekitar Pulau G tersebut sangat berpotensi memunculkan dampak serius bagi lingkungan sekitarnya, terutama terhadap operasional PLTU/PLTGU Muara Karang.

Pihak PLN juga mengungkapkan, bahwa pada reklamasi pantura tahap I yang telah berubah menjadi kawasan Pantai Mutiara, sejauh ini berdasarkan hasil kajian LAPI-ITB ternyata telah mengubah infrastruktur outlet sistem air pendingin PLTU/PLTGU Muara Karang yang mengakibatkan meningkatnya suhu air di intake canal pembangkit dari kondisi awal 29oC menjadi 31,1oC.

Pihak PLN telah menghitung perkiraan, bahwa bila terjadi kenaikan suhu setiap 1oC, maka bisa mengakibatkan menurunnya kemampuan produksi listrik hingga 10 MW dengan nilai kerugian berkisar Rp. 576 Juta per hari untuk setiap 1 unit mesin pembangkit.

Alasan ketiga, menurut Abdulrachim, reklamasi Pulau G mengakibatkan terganggunya jalur nelayan di Muara Angke yang jumlahnya lebih dari 20 ribu orang. Mereka (para nelayan itu) di saat melaut harus menempuh jalur memutar jauh sehingga harus menambah biaya untuk solar.

Sebelumnya, Ketua Komite Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Bidang Hukum dan Pembelaan Nelayan, Marthin Hadiwinata, juga pernah mengungkapkan, bahwa reklamasi pantura itu menghilangkan wilayah kegiatan Perikanan fishing-ground seluas 586,3 Ha yang sama halnya menghilangkan penghasilan nelayan.

Selain itu, Tarsoen Waryono selaku Pengamat Lingkungan dari Universitas Indonesia juga angkat suara. Menurutnya, Reklamasi Pantura hanya lebih banyak menimbulkan dampak negatif daripada positif bagi lingkungan. Tarsoen sedikitnya menyebut lima dampak negatif tersebut.

“Pertama, membuat air laut menjadi naik, berarti akan menambah banjir rob, berarti akan membunuh pepohonan yang tidak mampu beradaptasi dengan air asin,” katanya, di Jakarta, Rabu (6/5).

Kedua, menurut Trsoen, sumur-sumur penduduk di sekitar pantai yang tadinya payau akan menjadi asin. Dan ketiga, tumbuh dan berkembangnya bakteri E-coli.

Bakteri E-coli ini, katanya, dapat berkembang bila air tawar seperti di Jakarta berkurang. Dan jika diminum dapat menyebabkan sakit perut, disentri, diare, dan sebagainya.

Keempat, menurut Tarsoen, warga yang menghuni Pulau Reklamasi mungkin akan sangat nyaman, tetapi tidak bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Sebab, jika kanalnya dibuat secara sembarangan, maka akan menimbulkan bau yang sangat tidak sedap. Ini bisa terjadi karena air asin akan mengendap, terkena panas (sinar matahari), lalu terjadi proses kontaminasi secara kimia.

Dan yang kelima, menurut Tarsoen, reklamasi berdampak buruk terhadap Mangrove. Sebab Sebab, pasang-surut air laut menyebabkan habitat dan kualitas tanah berubah sehingga jenis tanaman tertentu tidak dapat tumbuh, temasuk mangrove. Bahkan “rumah” untuk habitat kepiting, kerang, dan biota lainnya hilang.

Namun semua itu tidak membuat Ahok patah arang. Ahok bahkan semakin gesit ingin melanjutkan Reklamasi Pulau G meski Komite Gabungan telah mengeluarkan rekomendasi untuk menghentikan reklamasi pulau tersebut. Ahok berdalih, “Saya baik sama pengembang itu dalam rangka dagang.”

Ahok berkilah bahwa alasan dirinya ngotot melanjutkan proyek 17 pulau di Pantai Utara Jakarta itu adalah karena ingin meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Ahok bahkan telah mengalkulasi, bahwa dari proyek reklamasi yang dilakukan oleh 9 pengembang di 17 pulau Pantai Utara Jakarta itu, keuntungan yang didapat sekitar Rp 47 Triliun. Angka itu didapat dari kontribusi tambahan yang harus dibayar pengembang dalam rangka revitalisasi Pantai Utara Jakarta.

Ahok menyatakan banyak keuntungan dari pembangunan 17 pulau buatan ini. “DKI langsung dapat tanah, sertifikat. Jadi kalau orang reklamasi 17 pulau, katakan ribuan hektare, itu semua milik DKI lengkap dengan sertifikat. Untung kan?” kata Ahok di Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Rabu (22/4/2015).

Dalam kesempatan lain, berdasarkan hitung-hitungan Ahok, keuntungan yang didapat Pemprov DKI bahkan bisa mencapai Rp.178 Triliun.

“Reklamasi kalau saya hitung itu kalau jadi, langsung jual tanah saja bisa dapat Rp.48 Triliun. Di luar tanah Rp. 28 Triliun. Berarti ada Rp.76 Triliun uang di situ. Kalau dia jualnya 10 tahun, setahun hanya 10 persen, kita bisa dapat Rp.178 Triliun,” kata Ahok di Balai Kota, Rabu (25/5/2016). Dan menurutnya itu di luar dari kontribusi tambahan yang merupakan pungutan yang rencananya akan dikenakan terhadap semua pengembang yang terlibat dalam reklamasi di Pantai Utara Jakarta tersebut.

Namun “hitungan-hitungan dagang” Ahok tersebut dapat dipastikan tidak akan sebanding dengan kerugian yang akan terjadi akibat reklamasi Pantura tersebut.

Menurut hasil Penelitian terbaru oleh Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) mengungkapkan, potensi kerugian ekonomi dan sosial akibat proyek reklamasi Pantura lebih besar ketimbang pendapatan negara, yakni kerugiannya mencapai sekitar Rp.661,31 Triliun.

Menurut Direktur PK2PM, Muhammad Karim, besarnya potensi kerugian ekonomi dan sosial tersebut diakibatkan oleh kerusakan sumber daya alam dan semakin meluasnya kemiskinan.

Pihak PK2PM paham dari hasil reklamasi itu bisa memunculkan angka keuntungan untuk Pemprov DKI Jakarta. Dan angka keuntungan tersebut, menurut Muhammad Karim, tentu sangat menggiurkan. “Tapi jika dibandingkan dengan kerugian ekonomi, ekologi dan sosial, maka akan lebih besar dan sifatnya jangka panjang,” kata Karim dalam sebuah diskusi, Minggu (8/5).

Karim memaparkan, bahwa Reklamasi Pantura dapat menghilangkan nilai manfaat bersih hutan bakau di wilayah pesisir Jakarta yang diasumsikan mencapai Rp.15,04 Miliar pertahun. Juga hilangnya nilai manfaat ekonomi padang lamun, sebagai pelindung pantai, yang diperkirakan mencapai Rp.92,57 Triliun per tahun.

Bukan Cuma itu, Karim juga menguraikan, reklamasi Pantura tersebut akan berdampak pada ekosistem terumbu karang di Taman Nasional Kepulauan Seribu dengan luas 98.176 Ha dengan potensi kehilangan nilai ekonominya mencapai Rp.20,2 Miliar per tahun.

Selain lingkungan, Karim juga mengungkapkan, bahwa reklamasi akan berdampak pada hilangnya manfaat ekonomi dari kegiatan perikanan tangkap sekitar Rp.314,5 Miliar, dengan dampak terbesar dialami oleh nelayan tradisional.

Terkait dengan kemiskinan, penelitian itu memaparkan Jakarta Utara dan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu memiliki penduduk miskin dengan jumlah tertinggi dibandingkan dengan kota madya lainnya, yakni 93.400 orang. Berdasarkan data BPS 2015, skala rasio gini di DKI Jakarta masing-masing mencapai 0,43 pada 2013-2014.

“Nelayan yang bermukim di pesisir dan pulau kecil kehilangan sumber daya ikan yang menjadi sumber kehidupannya,” lontar Karim seraya mempertanyakan, lalu “Apakah reklamasi (pantura itu) akan menyejahterakan atau memperparah kemiskinan?”

Untuk menjawab pertanyaan Karim tersebut mari kita lihat fakta-fakta dan analisis berikutnya.

Mahasiswa Indonesia di Belanda menggelar diskusi “Reklamasi Teluk Jakarta”. Penyelenggaranya adalah Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda bekerjasama dengan PPI Kota Den Haag dan Forum Diskusi Teluk Jakarta di Kampus International Institute of Social Studies, Den Haag, medio Juni 2016 lalu.

Mereka menyimpulkan, rencana Pemprov DKI Jakarta melakukan reklamasi pulau, juga membentuk Giant Sea Wall, adalah merupakan sebuah cara usang untuk membentuk pertahanan pesisir kota. Pembuatan tanggul dan reklamasi sudah ditinggalkan oleh negara maju, termasuk Belanda.

Namun Hero Marhaento, Mahasiswa asal Indonesia yang mengambil program Doktoral di University of Twente, mengaku heran, di saat pembangunan di Belanda mulai meninggalkan konsep konvensional berupa hard-infrastructure seperti pembuatan tanggul raksasa atau reklamasi pulau, pakar dan konsultan Belanda malah (saat ini) menyarankan pembuatan Giant Sea Wall bagi masalah banjir di Jakarta.

 

Padahal saat ini, pertahanan pesisir di Belanda dilakukan dengan cara “sand nourishment”, yaitu pembuatan jebakan pasir di wilayah rawan abrasi tanpa membuat tanggul raksasa di tengah laut. Selain itu, upaya mitigasi banjir di Belanda justru dilakukan dengan merobohkan tanggul sungai yang sudah ada dan menggantinya dengan konsep "Room for the River". Dua metode tersebut dianggap jauh lebih murah, lebih efektif dan ramah lingkungan dibandingkan dengan reklamasi pulau dan pembuatan tanggul raksasa.

Apa yang dijabarkan oleh para mahasiswa Indonesia di Belanda ada benarnya. Perkembangan reklamasi di dunia memang lebih banyak dimulai sebelum abad ke-21. Misalnya di Belanda yang memulainya sejak 1962, Singapura sejak 1976, Korsel sejak 1991.

Beberapa reklamasi sudah terjadi lebih jauh lagi. Kota Mumbai di India sudah ada kegiatan reklamasi pada 1784, lalu juga ada Selandia Baru yang memulai sejak 1850. Sedangkan reklamasi yang baru dimulai pada abad ke-21 hanya di Bangladesh pada 2010 dan Dubai Uni Emirat Arab sejak 2001. Di Asia, reklamasi juga terjadi di kota-kota di pesisir Cina.

Di Cina kegiatan reklamasi bahkan menjadi kegiatan yang sangat menguntungkan bagi pengembang. Media citymetric.com, dalam tulisan The gift from the sea: through land reclamation, China keeps growing and growing mengungkapkan, bahwa sebuah pengembang bisa mendapatkan keuntungan yang amat besar dari konsesi reklamasi di Cina.

“Tanah dari reklamasi di laut menghasilkan ruang yang murah untuk kegiatan agrikultur, industri, dan kepentingan urbanisasi,” kata penulis Shanghai New Towns, Harry den Hartog, yang melakukan riset soal reklamasi di Cina untuk Delft University, Belanda.

Pernyataan Harry bukan omong kosong. Senada dengannya, Liu Hongbin, seorang profesor kelautan dari University of China, mengungkapkan kegiatan reklamasi memberikan keuntungan yang berlipat-lipat dari 10 hingga 100 kali lipat.

Pada Agustus lalu misalnya, tanah reklamasi di Qianhai harganya (modal) 1,77 Miliar USD. Tanah reklamasi itupun “disulap” jadi kawasan ekonomi khusus yang total keuntungan dari penjualannya mencapai 37,4 Miliar USD. Dan itulah prinsip dagang yang “diterapkan” pada proyek reklamasi di China.

Dan nampaknya, prinsip dagang semacam di China itu berlaku pula saat ini di Indonesia melalui reklamasi Teluk Jakarta. Yakni prinsip pedagang: “belinya murah, jualnya mahal”.

Seperti dikutip kompas.com, pengembang reklamasi hanya perlu dana (modal) Rp.4 Juta hingga 10 juta per meter persegi, lalu dijual antara Rp. 30 Juta hingga Rp.40 Juta per meter persegi.

Para pengembang tentu saja lebih memilih cara reklamasi dengan dana Rp.4 Juta hingga Rp.10 Juta. Sebab, biaya ini jauh lebih murah daripada membeli lahan (tanah) di Jakarta, misalnya di Menteng yang harga tanahnya berkisar Rp.45 Juta hingga Rp.75 Juta per meter persegi.

Gambaran tentang prinsip dagang: “Belinya Jutaan, jualnya Miliaran” tidak hanya sampai di situ. Beberapa waktu lalu crew jurnalis dari rmolJakarta sempat melakukan investigasi ke salah satu lokasi penjualan unit bangunan Pluit City di lantai dasar Mall Bay Walk Pluit, Jakarta Utara, selain Mall Emporium Pluit.

Dari situ ditemui tiga jenis bangunan yang dijual entitas PT Agung Podomoro Land Tbk (APL), yakni rumah, rumah toko (ruko), dan condominium.

Untuk rumah, ada beberapa tipe yang dipasarkan. Mulai dari tipe Oakwood (6x16 meter2), Greenwood (8x18 m2), Waterfly (10x20 m2), dan Palmwood (10x20 m2). Namun, yang tersisa hanya tipe 10x20 m2 dengan harga Rp9,9 miliar, mengingat lebih dari 80 persen hunian yang dipasarkan telah laku terjual.

“Angsurannya 60 bulan," ujar seorang sales yang ditemui rmolJakarta, seraya menambahkan, kalau 9,9 (miliar rupiah), berarti cicilannya kurang lebih Rp.165 juta per bulan.

Woowww.... harga yang sangat fantastis. Tapi.. Stooppp, dulu! Sampai di sini pasti banyak yang akan bertanya: “Siapa dan dari mana saja pembelinya? Dan bagaimana pihak pengembang bisa memasarkannya???

Dari hasil penelusuran, ditemui adanya sebuah Iklan pemasaran dari Agung Podomoro Group yang dikabarkan ditayangkan di stasiun-stasiun televisi di negara China, sehingga orang-orang pun berasumsi dan bisa dipastikan bahwa Indonesia sedikit demi sedikit “dijual” oleh Ahok buat dan kepada “kaumnya”.

Pada durasi awal video iklan yang berbahasa (lagu) Mandarin tersebut tercantum nama Mr. Addie MS sebagai pihak yang diberi proyek untuk pembuatan music & arranger-nya (pantasan saja si Addie MS ini “berani-beraninya ikut menyerang” Rizal Ramli melalui twitter, beberapa waktu lalu)

Kembali tentang investigasi yang dilakukan oleh jurnalis rmolJakarta. Terungkap, posisi wilayah perumahan nantinya berada di sebelah Timur Pluit City, baik cluster apapun. Sedangkan di bagian Barat, dikonsentrasikan untuk perkantoran, condominium, serta pusat hiburan juga shopping.

Sedangkan untuk ruko, berada di wilayah Selatan, dekat dua jembatan akses masuk Pulau G dan menghadap area mall. Meski posisi condominium berada di sisi Barat, namun menghadap laut.

PT MWS, kata sales, menyediakan 8 ha dari seluruh luas lahan reklamasi untuk taman. Lahan ini merupakan bagian dari fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) yang akan disediakan.

Nantinya juga akan ada beberapa dermaga untuk tempat bersandar yatch dan boat di pulau buatan seluas 160 ha ini. Rinciannya, sales itu tak tahu persis. Tapi, akan lebih banyak berada di sisi Timur.

“Kalau dermaganya berapa, kita belum tahu. Cuma yang pasti, di sebelah sana (Barat) yang banyak, karena di sebelah sini ada jogging track, di sini kafe-kafe,” bebernya.

Semua yang digambarkan oleh sales tersebut betul-betul menggiurkan karena memang serba mewah dengan harga yang juga memang fantastis (Rp.9,9 Miliar). Lalu di mana “tempat kita” sebagai rakyat Indonesia yang diamanatkan oleh setiap undang-undang sebagai pihak yang harus lebih dulu disejahterakan???

Paling tidak tempat kita hanya datang ke Pulau G tersebut sebagai “pelayan (baca: babu)” di negara sendiri, atau juga paling tidak orang-orang kita hanya berkunjung untuk sekadar berselfie-ria di depan rumah dan kendaraan mewah milik orang asing!!?? Sungguhlah miris jika Ahok tak peduli dengan kerugian rakyat dan negara ini akibat reklamasi tersebut, yang di sisi bersamaan hanya membela kepentingan kelompok tertentu?!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun