Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Ini yang Membuat Rizal Ramli Bulat Hentikan Reklamasi Pulau G

23 Juli 2016   11:01 Diperbarui: 26 Juli 2016   10:58 1256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk menjawab pertanyaan Karim tersebut mari kita lihat fakta-fakta dan analisis berikutnya.

Mahasiswa Indonesia di Belanda menggelar diskusi “Reklamasi Teluk Jakarta”. Penyelenggaranya adalah Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda bekerjasama dengan PPI Kota Den Haag dan Forum Diskusi Teluk Jakarta di Kampus International Institute of Social Studies, Den Haag, medio Juni 2016 lalu.

Mereka menyimpulkan, rencana Pemprov DKI Jakarta melakukan reklamasi pulau, juga membentuk Giant Sea Wall, adalah merupakan sebuah cara usang untuk membentuk pertahanan pesisir kota. Pembuatan tanggul dan reklamasi sudah ditinggalkan oleh negara maju, termasuk Belanda.

Namun Hero Marhaento, Mahasiswa asal Indonesia yang mengambil program Doktoral di University of Twente, mengaku heran, di saat pembangunan di Belanda mulai meninggalkan konsep konvensional berupa hard-infrastructure seperti pembuatan tanggul raksasa atau reklamasi pulau, pakar dan konsultan Belanda malah (saat ini) menyarankan pembuatan Giant Sea Wall bagi masalah banjir di Jakarta.

 

Padahal saat ini, pertahanan pesisir di Belanda dilakukan dengan cara “sand nourishment”, yaitu pembuatan jebakan pasir di wilayah rawan abrasi tanpa membuat tanggul raksasa di tengah laut. Selain itu, upaya mitigasi banjir di Belanda justru dilakukan dengan merobohkan tanggul sungai yang sudah ada dan menggantinya dengan konsep "Room for the River". Dua metode tersebut dianggap jauh lebih murah, lebih efektif dan ramah lingkungan dibandingkan dengan reklamasi pulau dan pembuatan tanggul raksasa.

Apa yang dijabarkan oleh para mahasiswa Indonesia di Belanda ada benarnya. Perkembangan reklamasi di dunia memang lebih banyak dimulai sebelum abad ke-21. Misalnya di Belanda yang memulainya sejak 1962, Singapura sejak 1976, Korsel sejak 1991.

Beberapa reklamasi sudah terjadi lebih jauh lagi. Kota Mumbai di India sudah ada kegiatan reklamasi pada 1784, lalu juga ada Selandia Baru yang memulai sejak 1850. Sedangkan reklamasi yang baru dimulai pada abad ke-21 hanya di Bangladesh pada 2010 dan Dubai Uni Emirat Arab sejak 2001. Di Asia, reklamasi juga terjadi di kota-kota di pesisir Cina.

Di Cina kegiatan reklamasi bahkan menjadi kegiatan yang sangat menguntungkan bagi pengembang. Media citymetric.com, dalam tulisan The gift from the sea: through land reclamation, China keeps growing and growing mengungkapkan, bahwa sebuah pengembang bisa mendapatkan keuntungan yang amat besar dari konsesi reklamasi di Cina.

“Tanah dari reklamasi di laut menghasilkan ruang yang murah untuk kegiatan agrikultur, industri, dan kepentingan urbanisasi,” kata penulis Shanghai New Towns, Harry den Hartog, yang melakukan riset soal reklamasi di Cina untuk Delft University, Belanda.

Pernyataan Harry bukan omong kosong. Senada dengannya, Liu Hongbin, seorang profesor kelautan dari University of China, mengungkapkan kegiatan reklamasi memberikan keuntungan yang berlipat-lipat dari 10 hingga 100 kali lipat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun