Dalam APBN-P 2016 terdapat target utang pemerintah sebesar RP.296,7 Triliun mengalami peningkatan dari APBN 2016 Rp.273,2 Triliun atau meningkat sebesar 8,6%.
Tentu saja target utang pemerintah tersebut selain akan sangat menambah berat beban negara di masa mendatang, juga menurut Salamuddin langkah pemerintah itu tidak akan mampu menutup defisit anggaran pemerintahan Presiden Jokowi yang memang sudah sangat gede.
Salamuddin memaparkan alasannya, bahwa untuk mengejar target belanja negara Rp.2.082 Triliun dalam APBN-P 2016 tersebut, pemerintah Jokowi membutuhkan utang yang sangat besar.
Bila melihat kondisi ekonomi sekarang, kata Salamuddin, penerimaan negara dari pajak tidak akan lebih dari Rp.1.100 Triliun. Dan penerimaan negara bukan pajak tidak lebih dari Rp.100 Triliun. Dengan demikian, untuk mengejar dan memenuhi target belanja negara yang super besar (namun tidak realistis itu) pemerintahan Jokowi membutuhkan utang sekitar Rp.800 Triliun atau sebesar 6,9% Gross Domestic Product (GDP).
“Semoga Pak Presiden Jokowi dan kabinetnya (Tim ekonomi) segera siuman, bangun dari mimpi yang panjang. Sudah dua tahun loh mimpinya...,” tulis Salamuddin Daeng via Broadcast BBM, Senin (11/7/2016).
Publik sejauh ini nampaknya memang sangat cemas dan ragu dengan kemampuan para tim ekonomi pemerintahan Jokowi yang duduk sejak awal dan hingga kini di dalam kabinet kerja. Sebab, dari awal hingga kini pula kondisi ekonomi di negeri ini belum juga memperlihatkan tanda-tanda membaik, yang kelihatan saat ini justru kondisi ekonomi yang loyo alias lemas lantaran “mencret-mencret” karena sekali lagi akibat salah “dicekokin obat”, artinya salah orang.
Kondisi ekonomi yang lemas dan lesu ini sangat jelas terlihat di mana-mana. Pada jelang bulan Ramadhan barusan saja daya beli masyarakat sangat rendah, padahal biasanya pada Ramadhan-Ramadhan kebanyakan, masyarakat selalu berbondong-bondong menyediakan stock konsumsi kebutuhan pangan, bahkan aktif “berburu” jenis-jenis kuliner jelang berbuka puasa. Namun pada Ramadhan tahun ini benar-benar sepi dan lesu sebab memang masyarakat dililit dengan kesulitan ekonomi.
Jangankan Beli Pakaian dan Kue,
Beli Tempe pun Masyarakat Kesulitan
Biasanya akhir-akhir Ramadhan pada tahun-tahun sebelumnya, masyarakat sudah kelihatan “berburu” kebutuhan lebaran, seperti pakaian baru, kue lebaran dan sebagainya. Namun jelang lebaran tahun 2016 ini sangat sepi, akibatnya omzet pedagang pun menurun drastis.
Di Aceh dan juga di Kalimantan, misalnya, sejumlah pedagang pakaian tahun ini harus mengeluhkan sepinya pembeli yang membuat omzetnya menurun 60% dari tahun-tahun sebelumnya. Jika tahun-tahun lalu jelang lebaran para pedagang pakaian bisa mendapatkan Rp.5 juta hingga Rp.7 juta sehari, kali ini (2016) paling banyak hanya bisa mengantongi Rp.2 juta perhari.
Bukan hanya pedagang pakaian yang mengeluh, penjual kue pun sangat mengeluhkan jatuhnya omzet dagangan mereka. Padahal pada lebaran-lebaran kebanyakan mereka bisa “panen” karena kebanjiran pengunjung. Di Jambi misalnya, para penjual kue olahan jelang lebaran pada tahun sebelumnya bisa meraup omzet Rp.5 juta perhari, tahun ini benar-benar turun drastis hanya mampu mengantongi Rp.1,5 juta perhari.