Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Money

Menko Darmin Lelet, Desakan Reshuffle Meroket

16 Juli 2016   18:36 Diperbarui: 16 Juli 2016   18:55 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Seperti dikabarkan, sebuah lembaga riset ekonomi “Focus Economics (FE)” berpusat di Barcelona, telah melakukan riset kondisi ekonomi kurun 2014-2015 terhadap 127 negara di dunia (termasuk Indonesia). Hasil riset yang diterbit pada 24 Mei 2016 tersebut mengungkapkan salah satunya, bahwa progres kondisi ekonomi di Indonesia mengalami kemunduran serta terancam “chaos” dan tidak menutup kemungkinan apabila pemerintah tak  mampu  mengambil tindakan pemulihan yang tepat, maka ekonomi Indonesia akan mengalami “collapse”.

Hasil riset FE itu menyebutkan di antaranya, bahwa di Indonesia pendapatan perorang yang semula USD 3,541 menjadi USD 3,379; Pertumbuhan Ekonomi 5% menjadi 4,8%; Pengangguran Tenaga Kerja 3,9% naik menjadi 6,2%; Neraca Perdagangan semula minus USD 2,5 Miliar menjadin minus USD 7,6 Milar; Utang luar negeri dari 33% naik menjadi 36%; Utang Publik (% dari PDB) semula 24,3% menjadi 27,5%; Cadangan Devisa yang semula USD 112 Miliar menjadi USD 106 Miliar.

Bahkan BBC mengabarkan, bahwa saat ini tingkat kepercayaan investor dan pebisnis Eropa untuk dapat berinvestasi di Indonesia anjlok 21%, dari 71% pada 2014 lalu menjadi 50% pada periode survei November 2015 hingga Januari 2016.

Sementara itu, pada April 2016 juga dikabarkan terjadi deflasi akibat adanya tren penurunan daya beli yang dipengaruhi oleh produksi bisnis yang juga menurun, akibatnya tingkat konsumsi masyarakat juga ikut menurun.

Sehingga itu ekonom dari Universitas Brawijaya, Dias Satria mengimbau hendaknya stakeholder agar berhati-hati dengan terjadinya deflasi.

Menurutnya, jika penurunan harga disebabkan oleh efisiensi biaya seperti biaya logistik atau biaya produksi, deflasi sangat diharapkan dalam perekonomian. Sebab, katanya, itu berarti telah mendorong daya saing ekonomi dan efisiensi ekonomi.

Namun, lanjutnya, jika deflasi disebabkan karena permintaan masyarakat yang makin menurun karena pendapatan yang ikut menurun akibat kondisi perekonomian yang kacau (menurun), maka itu sangat berbahaya, dan inilah yang disebut deflation spiral.

Dijelaskannya, pada beberapa teori ekonomi deflation spiral lebih berbahaya dibandingkan dengan inflasi karena deflation spiral dapat menurunkan insentif bisnis untuk mendorong produksi mereka, dan menurunkan insentif untuk melakukan investasi sehingga dalam jangka panjang ekonomi akan makin menurun dan lemas.

Sementara itu melalui broadcast BBM Salamuddin Daeng dari Pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno ikut bersuara khusus mengenai APBN-P 2016 yang telah diketok palu.

Pada APBN-P 2016 itu tim ekonomi pemerintahan Presiden Jokowi sepakat membangun postur APBN-P 2016 dengan menetapkan Pendapatan Negara dan Hibah sebesar Rp.1.786,2 Triliun, Belanja Negara sebesar Rp.2.082,9 Triliun. Sedangkan target defisit anggaran ditetapkan sebesar Rp.296,7 Triliun (atau 2,35% dari pendapatan)

Postur APBN-P 2016 tersebut menurut Salamuddin Daeng sangatlah ambisius karena tidak realistis, dan ini tidak jauh berbeda dari sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun