Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Money

Menko Darmin Lelet, Desakan Reshuffle Meroket

16 Juli 2016   18:36 Diperbarui: 16 Juli 2016   18:55 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Karena memang masyarakat kita benar-benar sedang dililit kesulitan ekonomi (keuangan), maka jangankan untuk beli kue lebaran, ingin beli tempe dan tahu pun sudah terasa sangat kesulitan.

Fina, Seorang pedagang tahu-tempe di Badung-Bali, menuturkan keluhannya bahwa tahun-tahun sebelumnya jelang lebaran dagangannya sangat ramai, namun tahun ini amat sepi. Tahun-tahun lalu, katanya, jelang lebaran 1.000 hingga 1.500 potong tahu-tempe perhari bisa ia jual, namun pada momen jelang lebaran tahun ini hanya mampu terjual 200 hingga 250 potong perhari saja.

Bukan cuma itu, jumlah pemudik tahun ini juga menurun. Di sejumlah daerah penyedia dan pengelola alat transportasi mudik mengakui situasi sepi pemudik tersebut, --misalnya di Pelabuhan Trisakti-Banjarmasin, juga sepinya penjualan tiket bus untuk mudik dari Riau ke Jawa. Bahkan meski pihak Kementerian Perhubungan telah menyediakan program mudik sepeda motor gratis pun, tahun ini malah sepi peminat.

Penurunan animo masyarakat untuk mudik tahun ini salah satunya karena memang masyarakat tak punya biaya untuk mudik dan embel-embelnya, kalaupun ada, mereka lebih memilih berhemat untuk memenuhi kebutuhan yang lebih mendesak seperti keperluan alat-alat sekolah pada tahun ajaran baru ini.

Kondisi ekonomi masyarakat kalangan menengah ke bawah ini benar-benar mengalami kesulitan, sebab tim ekonomi pemerintahan Jokowi sejak awal sudah BERHASIL “menghajar” masyarakat hingga “babak-belur” melalui kenaikan (pencabutan subsidi) harga Bahan Bakar Minyak yang diikuti dengan kenaikan harga seluruh kebutuhan hidup.

Dan kondisi tersebut makin diperparah ketika kenaikan harga BBM berikut harga kebutuhan hidup tidak diimbangi dengan kenaikan tingkat pendapatan, sehingga di saat harga barang-barang melambung tinggi, praktis ekonomi masyarakat langsung KO dan babak-belur. Mengapa?

Sebab, mungkin pemerintah lupa, bahwa sekitar 80% masyarakat kita masih hidup di garis kemiskinan, dan lebih dari 75% masyarakat Indonenesia berpenghasilan menengah, bahkan rendah. Sehingga begitu terjadi gejolak kenaikan harga barang-barang, maka mereka-mereka inilah yang duluan “terkapar”.

Dan sayang seribu hingga sejuta-juta sayang, dalam kondisi parah seperti itupun, sekali lagi, pemerintah masih  dengan entengnya ngotot menyebut ekonomi kita tetap tumbuh dan membaik.

Istilah tumbuh dan membaik dalam kondisi parah seperti itu di mata para pengamat tentu saja didefinisikan sebagai pertumbuhan ekonomi yang sama sekali tidak berkualitas. Yakni, sebuah pertumbuhan yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan atas namun tidak mampu mempersembahkan kesejahteraan buat rakyat di kalangan bawah. Salah siapa? Tentu saja salah presiden yang keliru memilih dan menempatkan tim ekonomi di dalam kabinetnya!

Padahal dari masa ke masa, krisis demi krisis yang terjadi di negeri ini sangat jelas bisa dilihat dari akar historisnya. Bahwa sepanjang sejarah, bangsa kita selalu saja mengalami krisis ekonomi karena memang rantai kolonialisme, kapitalisme, dan feodalisme yang terus membelenggu. Kalau mau keluar dari krisis dan jika ingin benar-benar menwujudkan cita-cita Trisakti, maka Presiden Jokowi jangan segan-segan: “SEGERA PUTUS RANTAI YANG MEMBELENGGU ITU!”

Jika rantai itu tak mampu diputus, maka negara ini selamanya akan dijalankan dengan aturan dan hukum yang hanya condong mengabdi pada kepentingan modal asing dan hanya memapankan struktur ekonomi kalangan pebisnis kalangan atas, serta selalu saja memberikan penghasilan dan kekayaan berlimpah bagi kaum kapitalis, yang di saat bersamaan hanya memiskinkan mayoritas pribumi kalangan bawah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun