[caption id="attachment_344187" align="alignnone" width="600" caption="Ilustrasi/Repro-desain: Abdul Muis Syam."][/caption]
SEBAGAI salah satu pihak yang sangat dibutuhkan keterangannya seputar kasus dugaan penyimpangan Surat Keterangan Lunas (SKL) terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Rizal Ramli tentu saja selalu antusias memenuhi undangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pada kunjungan pertamanya ke Kantor KPK, Kamis (11/4/2013) silam, Rizal Ramli bahkan tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Meski masih sangat dipadati dengan kesibukan sosial sebagai tokoh pergerakan perubahan, Rizal Ramli samasekali tak menampakkan rona letih di wajahnya. Ia bahkan terus melempar senyuman lebar.
“Saya gembira KPK ingin betul-betul membongkar dan menyelidiki pelbagai keanehan dalam BLBI,” tutur Rizal Ramli ketika itu.
Meski enggan mengutarakan materi ataupun pertanyaan dari KPK, namun Rizal Ramli dengan gembira pula mengaku sangat mendukung langkah KPK untuk menuntaskan kasus yang telah membuat negara jadi rugi sebesar ratusan triliun itu.
“Pada prinsipnya, saya siap dengan sungguh-sungguh membantu KPK untuk membongkar skandal BLBI sampai ke akar-akarnya,” tegas Rizal Ramli yang sebelumnya juga sempat memenuhi panggilan Kejaksaan Agung guna memberi keterangan dalam kasus yang sama pada akhir Januari 2008 silam.
Dan Senin, (22/12/2014), Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan era Presiden Gus Dur ini pun kembali memenuhi undangan KPK untuk dimintai lagi keterangannya mengenai kasus dugaan penyimpangan SKL-BLBI tersebut.
“(Saya) dipanggil untuk dimintai (lagi) keterangan sebagai saksi yang keterkaitannya dengan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI,” kata Rizal sesaat sebelum masuk ke lobi Gedung KPK, Jakarta, Senin (22/12).
Pada pemeriksaan kali itu, Rizal Ramli tak banyak memberi komentar kepada para awak media. Ia hanya mengaku memberi apresiasi positif kepada KPK apabila ingin serius menuntaskan masalah SLB tersebut. “Kaitannya dengan kasus BLBI, soal SKL, kayaknya KPK serius mau menyelesaikan kasus ini dan lain-lain juga sudah dipanggil,” kata Rizal di KPK, Jakarta, Senin (22/12).
Sebelum Rizal Ramli, beberapa pejabat dan mantan pejabat juga telah memberikan keterangannya ke KPK. Di antaranya, I Putu Gede Ary Suta selaku mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN); Dorodjatun Kuntjoro Jakti selaku Menko Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong 2001-2004; Bambang Subiyanto Menteri Keuangan 1998-1999; Kwik Kian Gie selaku Menko Perekonomian 1999-2000 dan Kepala Bappenas 2001-2004; Laksamana Sukardi selaku mantan Menteri Negara BUMN; serta Rini Mariani Soemarno Soewandi selaku mantan Menteri Perindag era Presiden Megawati.
KPK mengendus kuat adanya tindak pidana dalam penerbitan SKL. Pasalnya, SKL tersebut seakan sengaja diterbitkan untuk para obligor BLBI agar terbebas dari kewajibannya dalam membayar utang. Dan SKL itu sendiri diterbitkan pada masa Pemerintahan Megawati Soekarnoputri melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Inpres Nomor 6 tahun 2002.
SKL itulah yang dijadikan dasar oleh Kejaksaan Agung untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap sejumlah pengutang. Padahal berdasarkan hasil audit BPK, dana BLBI yang dikucurkan sebesar Rp 144,5 Triliun kepada 48 bank umum nasional telah menimbulkan kerugian negara hingga Rp 138,4 Triliun. Salah satu pengutang adalah pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia, Sjamsul Nursalim, yang dihentikan penyidikannya pada Juli 2004.
Di saat telah mendapatkan keterangan dari beberapa pejabat dan mantan pejabat tersebut, serta ketika usai mendalami masalahnya, KPK selanjutnya tentu sangat diharap bisa ikut memanggil Megawati Soekarnoputri untuk juga diperiksa, karena saat SKL diterbitkan Megawati adalah menjabat presiden. Mampu dan beranikah KPK (Abraham Samad)?
Ketua KPK Abraham Samad pernah menyatakan, bahwa tidak ada hambatan bagi KPK untuk memanggil Megawati Soerkarnoputri jika keterangannya diperlukan. Saat SKL itu diterbitkan, Presiden yang menjabat adalah Megawati Soekarnoputri. “Kita bakal panggil, kita enggak masalah itu. Kalau memang kita harus panggil Megawati itu, karena KPK tidak ada hambatan yang gitu-gitu,” kata Abraham di Jakarta, Jumat (11/7).
Meski Abraham Samad bisa secara tegas menyatakan hal tersebut, namun Abraham setidaknya akan menghadapi dua “kesulitan”.
Kesulitan pertama, adalah banyak bukti-bukti hukum SKL-BLBI tersebut yang diduga sudah terbakar dalam peristiwa kebakaran di lantai 23 dan 24 Gedung Bank Indonesia, pada 8 Desember 1997. Anehnya, dua lantai itulah yang menyimpan berkas-berkas BLBI. Dan anehnya lagi, sebelumnya juga ada kebakaran di Gedung Bappenas. Sehingga patut diduga kuat jika kebakaran ini sesungguhnya merupakan operasi terselubung untuk melenyapkan bukti-bukti BLBI.
Kesulitan kedua, adalah adanya pandangan dari berbagai kalangan yang memandang KPK sepertinya sulit memanggil Megawati lantaran di kubu KIH saat ini ada Jusuf Kalla yang notabene adalah kawanua (satu kampung halaman) dengan Abraham Samad, yakni sama-sama berasal dari Makassar.
Namun meski begitu, Abraham Samad mengaku masih optimis bisa menyelesaikan kasus ini pada tahun 2015. Tapi kendati begitu, Abraham Samad belum bisa menentukan kepastian kapan akan menaikkan status kasus SKL BLBI menjadi penyidikan dan ada tersangka yang ditetapkan. Dia hanya berkeyakinan besar bahwa kasus BLBI akan segera bisa diselesaikan.
“Kita intensifkan penyelidikan BLBI, ini kasus prioritas juga untuk 2015, tidak usah kuatir,” kata Ketua KPK, Abraham Samad dalam paparan laporan akhir tahun di kantornya, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (29/12/2014).
“Saya katakan pada kalian semua, bahwa tidak usah meragukan keberanian KPK memeriksa para pejabat. Kami tidak ada keragu-raguan,” kata Abraham di Gor Bulungan Jakarta Selatan, Rabu 27 Agustus 2014.
Menurut Abraham, di mata KPK semua orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. “Kita tidak peduli mau Megawati, mau presiden. Jika mereka dipanggil KPK, harus mau,” ujarnya.
Semoga pernyataan dan janji Abraham Samad yang dilontarkannya pada beberapa bulan lalu itu tidak lagi meleset. Sebab, seluruh rakyat Indonesia saat ini, sudah pasti telah lama menunggu dan berharap agar Abraham Samad benar-benar punya nyali untuk segera “menyeret” para koruptor BLBI serta para pihak yang berrtanggung-jawab atas kerugian negara ratusan triliun rupiah akibat diterbitkannya SKL-BLBI tersebut!
Dan Megawati Soekarnoputri adalah orang yang amat ramai disebut-sebut sebagai pihak yang paling harus bertanggung-jawab atas kasus SKL-BLBI tersebut. “Karena kasus BLBI ini negara dirugikan ratusan triliun rupiah selama bertahun-tahun. Mega harus bertanggung jawab,” tegas Rachmawati Soekarnoputri, adik kandung Megawati Soekarnoputri.
Sehingga itu Rachmawati juga mengaku sangat mendukung upaya KPK yang akan segera memanggil dan memeriksa mantan presiden RI tersebut terkait kasus SKL-BLBI. Menurut Rachmawati, siapapun bisa dipanggil dan diperiksa, termasuk Megawati.
“Jangan ada perlakuan khusus atau tebang pilih kasus megakorupsi yang merugikan keuangan negara ratusan triliun rupiah itu,” ujar Rachmawati, Minggu (13/7).
Rachmawati menegaskan, sudah sepatutnya Megawati bertanggung-jawab atas kebijakannya yang membuat negara rugi ratusan triliun rupiah sampai hari ini. Perlindungan yang diberikan Mega kepada sejumlah obligor BLBI ketika itu diduga keras berdasarkan pada kepentingan yang sempit.
Betapa SKL-BLBI adalah sebuah bukti dari “kelakuan gila” pemerintah dalam menolong kaum konglomerat. Sebab, setelah mengucurkan uang segar puluhan miliar hingga puluhan triliun rupiah, konglomerat itu malah diberi SKL di saat kewajibannya belum dilunasi. Bandingkan dengan rakyat yang hanya diberi BLT dengan jumlah yang tak sampai setengah juta itu kadang ada yang harus mempertaruhkan nyawa karena berebut dan saling dorong dalam barisan antrian. Sungguh miris memang negeri ini.
Dan inilah daftar sejumlah penerima BLBI (obligor) berdasarkan penandatangan Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA):
1. Liem Sioe Liong/Anthony Salim/Salim Grup (Bank Central Asia / BCA): Rp 52,727 triliun. Surat Keterangan Lunas (SKL) terbit Maret 2004.
2. Mohammad “Bob” Hasan (Bank Umum Nasional): Rp 5,34 triliun. Bos Grup Nusamba ini menyerahkan 31 aset dalam perusahaan, termasuk 14,5% saham di PT Tugu Pratama Indonesia.
3. Sjamsul Nursalim (Bank Dagang Nasional Indonesia/BDNI): Rp 27,4 triliun. Surat lunas terbit pada April 2004. Aset yang diserahkan, di antaranya PT Dipasena (laku Rp 2,3 triliun), GT Petrochem dan GT Tire (laku Rp 1,83 triliun). Pada 13 Juli 2004, Kejaksaan Agung menghadiahinya surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Belakangan, keputusan ini ditinjau kembali oleh Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh.
4. Sudwikatmono (Bank Surya): Rp 1,9 triliun, SKL terbit akhir 2003.
5. Ibrahim Risjad (Bank Risjad Salim Internasional): Rp 664 miliar, SKL terbit akhir 2003.
Di bawah ini penerima BLBI berdasar MSAA, namun dikabarkan telah melunasinya :
6. Bambang Trihatmodjo (Bank Alfa): 8 miliar.
7. Suryadi/Subandi Tanuwidjaja (Bank Sino): Rp 1 miliar.
8. Keluarga Ciputra (Bank Ciputra): Rp 5 miliar.
9. Aldo Brasali (Bank Orient): Rp 1 miliar.
10. Sofjan Wanandi (Bank Danahutama): Rp 1 miliar
Selain itu, ada nama-nama lain penerima dana BLBI. Seperti:
11. Agus Anwar (Bank Pelita);
12. Samadikun Hartono (Bank Modern);
13. Kaharuddin Ongko (Bank Umum Nasional);
14. Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian);
15. Atang Latief (Bank Indonesia Raya);
16. Lidia Muchtar dan Omar Putihrai (Bank Tamara);
17. Adisaputra Januardy dan James Januardy (Bank Namura Yasonta);
18. Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa);
19. Santosa Sumali (Bank Metropolitan dan Bank Bahari);
20. Fadel Muhammad (Bank Intan);
21. Baringin MH Panggabean dan Joseph Januardy (Bank Namura Internusa);
22. Trijono Gondokusumo (Bank Putera Surya Perkasa);
23. Hengky Wijaya dan Tony Tanjung (Bank Tata);
24. I Gde Dermawan dan Made Sudiarta (Bank Aken);
25. Tarunojo Nusa dan David Nusa Wijaya (Bank Umum Servitia).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H