Mohon tunggu...
MA Fauzi
MA Fauzi Mohon Tunggu... Penulis - Ilmu AlQuran dan Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Mahasiswa | Penulis | Esais | Analitis Isu Terkini | Cerpenis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Phubbing, "Diem-dieman" ala Orang Kekinian

13 Januari 2019   14:44 Diperbarui: 14 Januari 2019   04:24 1531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by rawpixel.com from Pexels

Secara sosial, manusia pasti butuh mulutnya guna bincang-bincang  selain dari memakai gestur badan atau mimik mukanya. Setiap ucapan yang dikeluarkan akan mengundang  dialog saling bermunculan.

Dari utara ke selatan; semuanya mengalir begitu saja, terhempas, tanpa rasa cemas dan gusar. Terlebih lagi bila sudah bertemu lawan bicara yang cocok, ya sudah tidak terkawal lagi apa yang akan dibicarakannya: entah perihal receh-remeh, guyonan lucu, bahkan intermezzo dadakan pun terlontar seketika;

Ya, saya sangat hobi ngobrol apalagi harus obral pengalaman.

Meskipun masalah obrol-mengobrol sudah mengikuti koridornya, namun ada hal yang membuat hati saya tidak tentram sepenuhnya. Sesuatu yang semestinya tidak tercipta kala saya sedang nikmati waktu berdialog di atas meja, di kedai diskusi, bersama teman sebaya; sebuah tragedi yang dinamakan phubbing. Tragedi dimana bisa terjadi sewaktu-waktu. Tidak kenal usia atau ras, kadang-kadang tragedi ini menimpa secara blak-blakan, tanpa kisi-kisi atau indikasi.

Bilamana sudah tertimpa tragedi ini, bagi mereka yang punya mulut pasti kesal. Kenapa? Sebab, merasa apa yang diomongkannya tidak masuk ke telinga para pendengar alias budeg. Pasti pemirsa bertanya-tanya apa sih phubbing itu? Mari kita jelaskan bersama-sama.

Namun, saya pastikan terlebih dahulu, sebelum melanjutkan alur bincang ini alangkah baiknya kita siapkan roti dan segelas susu,, ya karena kalau kopi terus pasti ujung-ujungnya rindu dan merindu tanpa randu yang merancu. Hehe.

Ayo kita mulai,

Phubbing, sebuah tragedi atau semacam penyakit era online atau kekinian - yang tanpa sadar pun kita diam-diam telah terjangkit virusnya; begitu mengerikan. Adapun keadaan ini mulai berjamur di ranah-ranah diskusi. Mengingat teman sebaya kita mengacuhkan apa yang kita bicarakan, dan tenyata mereka lebih inginkan "dia" - entah pacarnya atau teman PDKT-nya - yang jauh di antah berantah supaya hadir walau hanya dalam bentuk notifikasi chat.

Ya, terus terang saya adalah korban yang begitu menyesal telah meng-iya-kan ajakan teman saya agar nongkrong bareng di sebuah warkop sekitaran kampus. Bagaimana tidak, hipotesis saya mengenai ajakan dia yang mutlak diskusi ilmiah atau diskusi yang lebih bermanfaat. Eh, ternyata saya diajak tamasya diskusi angan-angan dan imajinasi; dengan kata lain, diajak "diem-diem-an"

Benar saja, penyakit phubbing sudah menjalar ke kawasan orang-orang bercerita. Selama ponsel digenggam, bincang kita seakan menemui dua tikungan: antara kawan atau chattan. Ya, lagi-lagi dipilihlah ponsel.

Entah apa mantra ponsel sehingga kawan di depannya hanya dianggap abu belaka dan "dia" yang disana seakan timbul dan nyata. Ah, saya merasa kehadiran ponsel ini justru menganggu waktu diskusi kita dan akhirnya, kita pulang dari warkop dengan kisah tanpa kesan.

Yang lebih saya jengkelkan, ketika kawan mengajak saya diskusi di tempat mewah, sejenis kafetaria ternama, high-branded. Kita duduk dan basa-basi tentang materi kuliah atau mahasiswi terpopuler di fakultas. Suguhan menu minuman atau makanan terpapar dan kita tinggal memilih atau menceklis.

Nah jengkelnya, rentang waktu antara memesan dengan datangnya pesanan itu ternodai oleh chat-chatan, instagram-story, atau se-spesies dengan media sosial di atas.

Klisenya, saat saya memulai perbincangan, mata saya menyorot pada tingkah kawan saya yang siap dengan kuda-kuda back to browsing; pegang hape, kadang horizontal atau vertikal, kalau vertikal biasanya pecandu potret-memotret, kalau horizontal biasanya pecandu games.

Ternyata tiada sepatah respon pun yang dibalas dari mulutnya, hanya anggukan kepala saja yang membuktikan bahwa ia sedang khusu' oleh peribadatan medsos; geleng-geleng atau mengangguk.

Ya, saya mulai dikacangin.

Karena terlalu sakit hati dan putusnya syaraf komunikasi, akhirnya saya kocek ponsel dari saku. Sebagaimana biasa saya buka story WA, melihat kata-kata bijak bermunculan, atau sekadar foto-foto kumpulan teman yang sedang senyum bahagia - saya tidak tahu, apakah mereka senyum di foto dengan sungguh-sungguh atau hanya formalitas di foto saja? Pokoknya, hari itu saya ditinggal diem-diem-an, tanpa seucap kata kecuali ingin pulang atau basa-basi awal.

Usai pesanan itu tiba di meja, lekas kawan saya memotret minuman itu dengan point-view terbaiknya lalu memberi caption termanisnya,

//Semanis capuchino yang terhidang, ngumpul kuy bersama @...//

Setelah di-share, kawan saya  kembali lagi dengan virus phubbingnya yang menyesakkan jemarinya. Lalu apa yang saya lakukan? Ya, nyeruput minuman es sampai habis -- soalnya, harganya terlampau jauh dari kalkulasi dompet mahasiswa, sayang-sayang kalau tidak habis. 

Begitu-lah diriku yang benar-benar muak oleh phubbing ini. atau kata lain, dekat terasa jauh, jauh terasa dekat.

Mungkin itu hanya salah satu contoh yang membuat saya "kesal" dalam bersosialisasi. Untuk lebih jelasnya, mungkin ada dari pengalaman pembaca yang tidak jauh beda seperti kisah mirisku ini. Menyedihkan.

Tapi, mau tidak mau, phubbing ini memang sudah mendunia. Diperkenalkan lewat kamus Macquire, istilah phubbing diperuntukkan bagi orang yang berkebiasaan sibuk di dunia maya dan mengabaikan lingkungan sekitarnya. 

Ini lebih berbahaya dari apapun, karena sudah melanggar kodratnya sebagai manusia sosial, dan bagi mereka yang phubbing justru menghiraukannya, tidak menggubrisnya, dan tidak peka sekitar. 

Apakah ini yang menciptakan antar teman semakin retak? Atau bertambah nyaman? Ya, nyaman akibat dari kedua belah pihak masih bisa ber-ponsel ria tanpa ada yang menyuruhnya bincang-bincang. Sebenarnya, tak ada salahnya phubbing. Namun, kita saling diam tanpa berkisah satu-dua sementara kita diciptakan sebuah mulut agar bercakap-cakap bukan ber-voice note (VN).

Hingga pada intinya, phubbing membuat kita sadar bahwa teman-teman yang kita anggap akrab pun bila bertemu ponsel dan sinyal, mereka akan lupakan kita. Sementara kita menjelma bagai manusia primitif yang setia dalam kesendiriannya dan tak bisa berbalas kata-kata sebab diajak "diem-diem-an bae"   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun