Secara sosial, manusia pasti butuh mulutnya guna bincang-bincang  selain dari memakai gestur badan atau mimik mukanya. Setiap ucapan yang dikeluarkan akan mengundang  dialog saling bermunculan.
Dari utara ke selatan; semuanya mengalir begitu saja, terhempas, tanpa rasa cemas dan gusar. Terlebih lagi bila sudah bertemu lawan bicara yang cocok, ya sudah tidak terkawal lagi apa yang akan dibicarakannya: entah perihal receh-remeh, guyonan lucu, bahkan intermezzo dadakan pun terlontar seketika;
Ya, saya sangat hobi ngobrol apalagi harus obral pengalaman.
Meskipun masalah obrol-mengobrol sudah mengikuti koridornya, namun ada hal yang membuat hati saya tidak tentram sepenuhnya. Sesuatu yang semestinya tidak tercipta kala saya sedang nikmati waktu berdialog di atas meja, di kedai diskusi, bersama teman sebaya; sebuah tragedi yang dinamakan phubbing. Tragedi dimana bisa terjadi sewaktu-waktu. Tidak kenal usia atau ras, kadang-kadang tragedi ini menimpa secara blak-blakan, tanpa kisi-kisi atau indikasi.
Bilamana sudah tertimpa tragedi ini, bagi mereka yang punya mulut pasti kesal. Kenapa? Sebab, merasa apa yang diomongkannya tidak masuk ke telinga para pendengar alias budeg. Pasti pemirsa bertanya-tanya apa sih phubbing itu? Mari kita jelaskan bersama-sama.
Namun, saya pastikan terlebih dahulu, sebelum melanjutkan alur bincang ini alangkah baiknya kita siapkan roti dan segelas susu,, ya karena kalau kopi terus pasti ujung-ujungnya rindu dan merindu tanpa randu yang merancu. Hehe.
Ayo kita mulai,
Phubbing, sebuah tragedi atau semacam penyakit era online atau kekinian - yang tanpa sadar pun kita diam-diam telah terjangkit virusnya; begitu mengerikan. Adapun keadaan ini mulai berjamur di ranah-ranah diskusi. Mengingat teman sebaya kita mengacuhkan apa yang kita bicarakan, dan tenyata mereka lebih inginkan "dia" - entah pacarnya atau teman PDKT-nya - yang jauh di antah berantah supaya hadir walau hanya dalam bentuk notifikasi chat.
Ya, terus terang saya adalah korban yang begitu menyesal telah meng-iya-kan ajakan teman saya agar nongkrong bareng di sebuah warkop sekitaran kampus. Bagaimana tidak, hipotesis saya mengenai ajakan dia yang mutlak diskusi ilmiah atau diskusi yang lebih bermanfaat. Eh, ternyata saya diajak tamasya diskusi angan-angan dan imajinasi; dengan kata lain, diajak "diem-diem-an"
Benar saja, penyakit phubbing sudah menjalar ke kawasan orang-orang bercerita. Selama ponsel digenggam, bincang kita seakan menemui dua tikungan: antara kawan atau chattan. Ya, lagi-lagi dipilihlah ponsel.
Entah apa mantra ponsel sehingga kawan di depannya hanya dianggap abu belaka dan "dia" yang disana seakan timbul dan nyata. Ah, saya merasa kehadiran ponsel ini justru menganggu waktu diskusi kita dan akhirnya, kita pulang dari warkop dengan kisah tanpa kesan.