Mohon tunggu...
M Ammar Mahardika
M Ammar Mahardika Mohon Tunggu... Insinyur - Service Engineer PT ALTRAK 1978

Lahir di Jakarta 16 Agustus 1996, suka menulis. Akhir-akhir ini membuat prosa seperti puisi atau cerpen. Salam kenal! :)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kepergian

31 Desember 2016   15:32 Diperbarui: 31 Desember 2016   15:47 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Garis mata ini sudah bagian diri

aku ingin ia tak mampir lagi

namun apa daya, tetap

menyambangi

Kurasa waktuku telah habis

setiap remah kue

yang terjatuh

lalu aku

pungut

kembali,

pikir buruk

bahwa aku takkan

pernah menjadi seperti Kala

yang pertama membawamu ke

klinik saat lututmu berdarah

akibat terjatuh ketika sedang

bermain lompat tali,

menghampiri.

**

Dengan lugunya aku bergumam,

“Apakah jejakku yang membekas

di tanah bisa kulenyapkan? Atau,

bagaimana dengan bunga layu

yang jarang  aku siram sehingga

ia kini tinggal batang kering keron-

tang?”

“Apakah pada akhirnya kematian

hanyamenyisakan nama?”

Aku kalap, mencari segalanya

yang bisa diselamatkan dari

kejaran rentenir ingatan—

atau badai yang disebab-

kan angin puting beliung.

Aku, selanjutnya, terdampar

di sebuah ruang pengap, teta-

pi perabotannya masih leng-

kap; seolah dulunya ini rumah

moyangku yang memang disi-

apkan untuk buyutnya yang

mengemis papan.

**

Dari

kejauhan

aku melihat

foto keluarga anakku

yang telah beranjak dewasa

Mendengar kring, kring bel

sepeda, aku langsung

menembus tembok

mencari

tahu

Ternyata itu cucuku!

Mataku berbinar-binar

“Tapi mengapa kamu

masih terlihat sedih?”

ujar suamiku, redam

isak harunya

Mungkin

karena aku

belum bertemu

namaku di sebuah

nisan secara

acak, buat

kupikir:

“Apakah aku tidak berkesan?

Setelah bertahun aku hidup

memberi sejuta makna kepada

setiap ikan terhadap anemonnya;

kepada setiap burung walet

terhadap sarang liurnya; ke-

pada setiap rayap terhadap

istana liatnya?”

Suamiku menghibur, mengelap air

mata fana yang terjatuh melewati

bulu mata sulaman pipi, sembari

membawaku ke suatu sudut

ruang itu.

Kulihat foto berbingkai besar.

Aku masih jelita, suamiku su-

dah paruh baya. Anak semata

wayang kami masih bisa

dipangku.

“Inilah bukti manusia adalah makhluk-Nya

yang paling sempurna: mereka bisa meng-

ingat apa yang manusia lainnya lakukan

sebelumnya, serta membuat penilaian

dari tindak-tanduk tersebut.

Anak kita telah melakukan penilaian

terbaik yang bisa dilakukan—menilai

jasa-jasa kita untuknya—yaitu dengan

mengabadikan raut wajah kita yang

paling bahagia pada foto bingkai itu,

agar keturunan selanjutnya tahu bah-

wa kitalah sumber keceriaan nenek

mereka dahulu kala.”

**

Semenjak itu, yang kulakukan tiap sore

adalah minum teh hangat, menggelar

tikar piknik di bukit belakang rumah

yang jauhnya hanya sepelemparan,

dan membaca kartu-kartu ucapan

berbela sungkawa ketika aku hidup

di suatu kehidupan lalu.

Ternyata, kepergian itu mmemang kodrat;

gulma yang dicabut oleh petani dari inang-

nya karena meresahkan, kodok yang berpi-

sah dari sarangnya acapkali rawa meluap,

hingga aktor tampan kesayangan yang me-

ninggalkan kita selamanya.

Yang terpenting dari kepergian bukan

seberapa jauh perpindahan jasadnya,

tetapi bagaimana jasad—yang diken-

dalikan oleh jiwa—itu bisa menitipkan

kesan berharga, yang dibuat sendiri

dengan susah payah, kepada seluruh

jagat raya yang ditinggali sebelumnya.*

**

#

Ini adalah sebuah tribut untuk Banda Neira (2012-2016), sebuah duo/band yang membuat saya berbelok rute aliran musik, yang awalnya suka punk dan hardcore dan tidak ingin mendengarkan aliran lainnya, menjadi membuka diri untuk menyukai indie folk. Dalam perjalanannya, duo/band yang digawangi Ananda Badudu dan Rara Sekar ini melegenda dan menjelma gandrungan anak-anak muda dengan eskalasi yang begitu tinggi.

 Saya pribadi kaget dengan dinamika yang dialami Banda Neira akhir-akhir ini, turut menyesal atas keputusan yang disepakati: berpisah dan tidak melanjutkan proyek—kalau mereka segan ini disebut sebagai duo/band—yang telah membekas di hati dan telinga pecinta musik tanah air.

Banda Neira merupakan jalan keluar dari stagnansi dunia musik Indonesia—yang berujung hiruk pikuk acara musik di televisi dan kematian beberapa label rekaman arus utama—awal 2010-an lalu, secara garis besar. Dari yang saya amati, keberanian Nanda dan Rara “mengapungkan” paduan konsep kalimat puitis sebagai lirik dan gitar nylon (yang sering dipakai teman-teman kalau ingin piknik di gunung atau pantai) sebagai alat musik pengiringnya membuahkan hasil signifikan, yaitu masyarakat kembali menggandrungi musisi dalam negeri. Mereka dengan gagahnya berdiri di tengah kondisi musisi arus utama yang hanya bisa daur ulang lagu-lagu hits tahun ’80-an dan jagoan indie yang lebih sering “nangkring” di luar negeri karena menganggap mereka lebih dihargai di sana.

Sebagai penggemar, saya tidak bisa mengubah keputusan bubarnya Banda Neira; jika sudah sampai berpisah, itu artinya sudah menyangkut masalah hati dan prinsip. Saya hanya bisa berdoa yang terbaik untuk karir Nanda dan Rara masing-masing ke depannya. Semoga Tuhan menyetel lagu-lagu kalian di Nirwana-Nya sana. Amin.

Salam,

MAM

31 Desember 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun