Garis mata ini sudah bagian diri
aku ingin ia tak mampir lagi
namun apa daya, tetap
menyambangi
Kurasa waktuku telah habis
setiap remah kue
yang terjatuh
lalu aku
pungut
kembali,
pikir buruk
bahwa aku takkan
pernah menjadi seperti Kala
yang pertama membawamu ke
klinik saat lututmu berdarah
akibat terjatuh ketika sedang
bermain lompat tali,
menghampiri.
**
Dengan lugunya aku bergumam,
“Apakah jejakku yang membekas
di tanah bisa kulenyapkan? Atau,
bagaimana dengan bunga layu
yang jarang aku siram sehingga
ia kini tinggal batang kering keron-
tang?”
“Apakah pada akhirnya kematian
hanyamenyisakan nama?”
Aku kalap, mencari segalanya
yang bisa diselamatkan dari
kejaran rentenir ingatan—
atau badai yang disebab-
kan angin puting beliung.
Aku, selanjutnya, terdampar
di sebuah ruang pengap, teta-
pi perabotannya masih leng-
kap; seolah dulunya ini rumah
moyangku yang memang disi-
apkan untuk buyutnya yang
mengemis papan.
**
Dari
kejauhan
aku melihat
foto keluarga anakku
yang telah beranjak dewasa
Mendengar kring, kring bel
sepeda, aku langsung
menembus tembok
mencari
tahu
Ternyata itu cucuku!
Mataku berbinar-binar
“Tapi mengapa kamu
masih terlihat sedih?”
ujar suamiku, redam
isak harunya
Mungkin
karena aku
belum bertemu
namaku di sebuah
nisan secara
acak, buat
kupikir:
“Apakah aku tidak berkesan?
Setelah bertahun aku hidup
memberi sejuta makna kepada
setiap ikan terhadap anemonnya;
kepada setiap burung walet
terhadap sarang liurnya; ke-
pada setiap rayap terhadap
istana liatnya?”
Suamiku menghibur, mengelap air
mata fana yang terjatuh melewati
bulu mata sulaman pipi, sembari
membawaku ke suatu sudut
ruang itu.
Kulihat foto berbingkai besar.
Aku masih jelita, suamiku su-
dah paruh baya. Anak semata
wayang kami masih bisa
dipangku.
“Inilah bukti manusia adalah makhluk-Nya
yang paling sempurna: mereka bisa meng-
ingat apa yang manusia lainnya lakukan
sebelumnya, serta membuat penilaian
dari tindak-tanduk tersebut.
Anak kita telah melakukan penilaian
terbaik yang bisa dilakukan—menilai
jasa-jasa kita untuknya—yaitu dengan
mengabadikan raut wajah kita yang
paling bahagia pada foto bingkai itu,
agar keturunan selanjutnya tahu bah-
wa kitalah sumber keceriaan nenek
mereka dahulu kala.”
**
Semenjak itu, yang kulakukan tiap sore
adalah minum teh hangat, menggelar
tikar piknik di bukit belakang rumah
yang jauhnya hanya sepelemparan,
dan membaca kartu-kartu ucapan
berbela sungkawa ketika aku hidup
di suatu kehidupan lalu.
Ternyata, kepergian itu mmemang kodrat;
gulma yang dicabut oleh petani dari inang-
nya karena meresahkan, kodok yang berpi-
sah dari sarangnya acapkali rawa meluap,
hingga aktor tampan kesayangan yang me-
ninggalkan kita selamanya.
Yang terpenting dari kepergian bukan
seberapa jauh perpindahan jasadnya,
tetapi bagaimana jasad—yang diken-
dalikan oleh jiwa—itu bisa menitipkan
kesan berharga, yang dibuat sendiri
dengan susah payah, kepada seluruh
jagat raya yang ditinggali sebelumnya.*
**
#
Ini adalah sebuah tribut untuk Banda Neira (2012-2016), sebuah duo/band yang membuat saya berbelok rute aliran musik, yang awalnya suka punk dan hardcore dan tidak ingin mendengarkan aliran lainnya, menjadi membuka diri untuk menyukai indie folk. Dalam perjalanannya, duo/band yang digawangi Ananda Badudu dan Rara Sekar ini melegenda dan menjelma gandrungan anak-anak muda dengan eskalasi yang begitu tinggi.
Saya pribadi kaget dengan dinamika yang dialami Banda Neira akhir-akhir ini, turut menyesal atas keputusan yang disepakati: berpisah dan tidak melanjutkan proyek—kalau mereka segan ini disebut sebagai duo/band—yang telah membekas di hati dan telinga pecinta musik tanah air.
Banda Neira merupakan jalan keluar dari stagnansi dunia musik Indonesia—yang berujung hiruk pikuk acara musik di televisi dan kematian beberapa label rekaman arus utama—awal 2010-an lalu, secara garis besar. Dari yang saya amati, keberanian Nanda dan Rara “mengapungkan” paduan konsep kalimat puitis sebagai lirik dan gitar nylon (yang sering dipakai teman-teman kalau ingin piknik di gunung atau pantai) sebagai alat musik pengiringnya membuahkan hasil signifikan, yaitu masyarakat kembali menggandrungi musisi dalam negeri. Mereka dengan gagahnya berdiri di tengah kondisi musisi arus utama yang hanya bisa daur ulang lagu-lagu hits tahun ’80-an dan jagoan indie yang lebih sering “nangkring” di luar negeri karena menganggap mereka lebih dihargai di sana.
Sebagai penggemar, saya tidak bisa mengubah keputusan bubarnya Banda Neira; jika sudah sampai berpisah, itu artinya sudah menyangkut masalah hati dan prinsip. Saya hanya bisa berdoa yang terbaik untuk karir Nanda dan Rara masing-masing ke depannya. Semoga Tuhan menyetel lagu-lagu kalian di Nirwana-Nya sana. Amin.
Salam,
MAM
31 Desember 2016