seberapa jauh perpindahan jasadnya,
tetapi bagaimana jasad—yang diken-
dalikan oleh jiwa—itu bisa menitipkan
kesan berharga, yang dibuat sendiri
dengan susah payah, kepada seluruh
jagat raya yang ditinggali sebelumnya.*
**
#
Ini adalah sebuah tribut untuk Banda Neira (2012-2016), sebuah duo/band yang membuat saya berbelok rute aliran musik, yang awalnya suka punk dan hardcore dan tidak ingin mendengarkan aliran lainnya, menjadi membuka diri untuk menyukai indie folk. Dalam perjalanannya, duo/band yang digawangi Ananda Badudu dan Rara Sekar ini melegenda dan menjelma gandrungan anak-anak muda dengan eskalasi yang begitu tinggi.
Saya pribadi kaget dengan dinamika yang dialami Banda Neira akhir-akhir ini, turut menyesal atas keputusan yang disepakati: berpisah dan tidak melanjutkan proyek—kalau mereka segan ini disebut sebagai duo/band—yang telah membekas di hati dan telinga pecinta musik tanah air.
Banda Neira merupakan jalan keluar dari stagnansi dunia musik Indonesia—yang berujung hiruk pikuk acara musik di televisi dan kematian beberapa label rekaman arus utama—awal 2010-an lalu, secara garis besar. Dari yang saya amati, keberanian Nanda dan Rara “mengapungkan” paduan konsep kalimat puitis sebagai lirik dan gitar nylon (yang sering dipakai teman-teman kalau ingin piknik di gunung atau pantai) sebagai alat musik pengiringnya membuahkan hasil signifikan, yaitu masyarakat kembali menggandrungi musisi dalam negeri. Mereka dengan gagahnya berdiri di tengah kondisi musisi arus utama yang hanya bisa daur ulang lagu-lagu hits tahun ’80-an dan jagoan indie yang lebih sering “nangkring” di luar negeri karena menganggap mereka lebih dihargai di sana.