Mohon tunggu...
Amiruddin Zahri
Amiruddin Zahri Mohon Tunggu... -

menulis adalah hal yang menyenangkan dalam keseharian saya.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Mitos Gelas Kaca

20 Januari 2015   19:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:44 1132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Peganglah gelasmu erat supaya tidak jatuh dan pecah”

Prolog:

Lumuran darah membahasi jemari Radja, pecahan gelas kaca berserakan di lantai. Halimah bergegas membalut perban dan memberinya obat merah untuk meredam cucuran darah segar di jemari anaknya.

Rasa perih yang menyelinap di jemarinya belum tersembuhkan meskipun perban sudah membalut jemarinya. Banyak yang percaya bahwa gelas pecah memiliki mitos pertanda buruk siapa pun yang mengalami kejadian tersebut, harus siap mendengar kabar buruk. Radja tidak ingin hal buruk tersebut menimpanya. Ia akhirnya meminta mamanya membuang semua hal yang berhubungan dengan gelas kaca dan barang-barang yang mudah pecah.Halimah pun membuang semua benda yang berhubungan dengan kaca di rumahnya. Rasa aman berada di rumah membuat dirinya mengagumi sosok mamanya yang begitu besar menyayanginya.

Sayangnya, meskipun gelas kaca itu sudah tidak lagi ia temukan di rumahnya secara fisik, goresan pecahan gelas tersebut mengiris ulu hatinya pada peristiwa berikutnya. Hingga ia bertemu sosok Alisa si gadis tomboy yang mengasuh ketiga adiknya.

Gelas 1

“Berawal dari Gelas”

“Pyaaaaaar...”

Tiba-tiba papanya melemparkan gelas yang dipegangnya. Kopi hangat yang biasa diminumnya tiap menjelang berangkat kerja tidak lagi terasa nikmat di bibirnya. Gelas cangkir yang terlihat mengkilat berpadu dengan warna kopi yang hitam pekat sudah tidak menggoda selera. Ia sangat kecewa dengan Halimah, istrinya. Pengorbanannya selama ini ternyata disalah-artikan. Istirnya berselingkuh di belakangnya.

Tanpa mengetahui alasan suaminya, Halimah terkejut dengan sikap Sanjaya yang mendadak melakukan tindakan kasar tersebut. ia yang tidak menyadari sesuatu hal mengganggu suaminya tersebut. Iamasih tercengang mematung di beranda rumahnya. Ia melihat amarah yang terpendam oleh suaminya. Matanya ia lihat tampak memerah dan bibirnya geram ditahan.

“Apa salahku pa?” kalimat tersebut akhirnya terucap dari bibir perempuan berambut lurus yang tersanggul.

“Apa belum cukup apa yang aku kasih selama ini? Siapa lelaki itu?” Sanjaya pun muntab.

“Apa yang papa lihat?” hati Halimah bergemuruh. Ia menyadari sesuatu yang selama ini disembunyikan akhirnya terungkap.

“Jangan paksa aku menjelaskan gamblang kemesraan kalian, menjijikkan,” Sanjaya berdiri dan meninggalkan Halimah yang masih mematung.

Beberapa menit kemudian, Sanjaya keluar dengan membawa koper dan melemparkan ke depan Halimah. Perempuan tersebut kaget mendapati suaminya bertingkah demikian. Ia memang sadar ada hal yang seharusnya ia tak lakukan. Tetapi, ia memiliki alasan kuat kenapa semua itu bisa terjadi.

“Apa papa pikir selama ini mama robot yang tidak mempunyai perasaan. Papa sibuk kerja tanpa peduli kami di rumah,” ujar Halimah tak tahan melihat kelakukan suaminya.

“Pergi, jelaskan saja itu ke lelakimu.” Sanjaya tak mau mendengar apa pun yang dikatakan Halimah. Hatinya terlanjur tertutup oleh pandangan mata yang dilihat sebelumnya. Padahal belum tentu apa yang dilihatnya sesuai apa yang sebenarnya terjadi. Ia membuat keputusan cepat dan dianggapnya tepat.

“Aku bawa Radja,” Halimah akan memasuki rumah tetapi tertahan oleh genggaman tangan Sanjaya.

“Apa yang bisa kamu lakukan dengan lelaki penjual bunga itu, Radja bisa mendapatkan apa pun yang dia mau bersamaku,” Sanjaya menyombongkan diri.

“Kamu tega memisahkan kita,” Air mata Halimah akhirnya tumpah.

Keputusan Sanjaya tidak bisa ditawar. Radja yang menyaksikan langsung pertengkaran kedua orang tuanya tersebut hanya diam membeku. Hatinya berkata tidak mau kehilangan mamanya. Mama yang selama ini menyayanginya, mama yang memberi kehangatan rumah, dan mama yang melindunginya dari pecahan gelas kaca. Tetapi, papanya menahan. Ia memaksa Radja mengikuti kemauannya.

Seragam putih biru yang melekat tubuhnya tidak bisa dihindarkan bahwa kebutuhan pendidikan yang lebih tinggi harus ia dapatkan. Ia pun akhirnya terpengaruh oleh omongan papanya. Apalagi, papanya menyudutkan sikap mamanya yang tega menghancurkan keutuhan keluarga mereka. Di balik sikap santun mamanya, ternyata dia tega mengkhianati pengorbanan papanya, mamanya tersebut telah menjalin cinta dengan lelaki lain. Radja mengenalnya, tetapi Radja tak pernah berfikiran sampai ke sana.

Hari itu menjadi hari pertamanya memasuki seragam putih biru sekaligus hari pertamanya kehilangan orang yang disayanginya. Pecahan gelas kaca yang pernah dialaminya waktu kecil kini kembali menggores ulu hatinya. Memang tidak ada darah yang mengalir di jemarinya, tetapi tangisan dalam hati begitu deras senada dengan guliran air mata yang membanjiri pipinya. Ia pun memilih masuk kamarnya lagi. Ia membenci mamanya, membenci hari itu, dan membenci apa yang menimpanya. Harusnya ia berangkat sekolah hari pertamanya diantar oleh mama dan papanya. Harusnya ia melihat senyuman mengembang mereka ketika melepaskan dirinya di gerbang pintu sekolah. Lalu ketika pulang, mamanya meminta dirinya bercerita tentang hari pertamanya sekolah.

Apa yang ia bayangkan semuanya berantakan. Pecahan gelas itu berserakan, kopi hangat yang harusnya bisa dinikmati dengan senyuman mengembang, malah meluber di lantai dan harus dibersihkan tanpa tersisa. Kehangatan kopi akhirnya bercampur dengan tumpukan sampah dan tak lagi memberi arti apa pun.

Rumahnya yang megah dilengkapi dengan ruang bermain, kolam ikan, kebun mangga, dan beragam permainan yang biasa ia habiskan bersama mamanya tak lagi menarik. Dapur tempatnya ia menunggu masakan mamanya, juga akan menjadi tempat yang sangat ia hindari. Biarkan makanan itu datang ke meja makannya tanpa perlu tahu bagaimana proses penyajiannya.

Radja menangis sejadi-jadinya. Ia meringkuk di tempat tidurnya supaya tidak terdengar siapa pun. Ia lelaki dan papanya selalu memberikan nasehat supaya tidak cengeng, tetapi hari itu ia sangat ingin menangis menggantikan darah yang seharusnya mengalir ketika pecahan gelas mengenai dirinya. Perlahan ada tangan yang membelai rambutnya, kehangatan itu jelas bukan dari mamanya. Ia tahu mamanya sudah pergi, ia kemudian perlahan menatap tangan tersebut dan mendapati wajah papanya yang berusaha menebar senyum.

“Besok Papa antarkan sekolah dan sore harinya kamu ke Panti yah”

bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun