Hari itu menjadi hari pertamanya memasuki seragam putih biru sekaligus hari pertamanya kehilangan orang yang disayanginya. Pecahan gelas kaca yang pernah dialaminya waktu kecil kini kembali menggores ulu hatinya. Memang tidak ada darah yang mengalir di jemarinya, tetapi tangisan dalam hati begitu deras senada dengan guliran air mata yang membanjiri pipinya. Ia pun memilih masuk kamarnya lagi. Ia membenci mamanya, membenci hari itu, dan membenci apa yang menimpanya. Harusnya ia berangkat sekolah hari pertamanya diantar oleh mama dan papanya. Harusnya ia melihat senyuman mengembang mereka ketika melepaskan dirinya di gerbang pintu sekolah. Lalu ketika pulang, mamanya meminta dirinya bercerita tentang hari pertamanya sekolah.
Apa yang ia bayangkan semuanya berantakan. Pecahan gelas itu berserakan, kopi hangat yang harusnya bisa dinikmati dengan senyuman mengembang, malah meluber di lantai dan harus dibersihkan tanpa tersisa. Kehangatan kopi akhirnya bercampur dengan tumpukan sampah dan tak lagi memberi arti apa pun.
Rumahnya yang megah dilengkapi dengan ruang bermain, kolam ikan, kebun mangga, dan beragam permainan yang biasa ia habiskan bersama mamanya tak lagi menarik. Dapur tempatnya ia menunggu masakan mamanya, juga akan menjadi tempat yang sangat ia hindari. Biarkan makanan itu datang ke meja makannya tanpa perlu tahu bagaimana proses penyajiannya.
Radja menangis sejadi-jadinya. Ia meringkuk di tempat tidurnya supaya tidak terdengar siapa pun. Ia lelaki dan papanya selalu memberikan nasehat supaya tidak cengeng, tetapi hari itu ia sangat ingin menangis menggantikan darah yang seharusnya mengalir ketika pecahan gelas mengenai dirinya. Perlahan ada tangan yang membelai rambutnya, kehangatan itu jelas bukan dari mamanya. Ia tahu mamanya sudah pergi, ia kemudian perlahan menatap tangan tersebut dan mendapati wajah papanya yang berusaha menebar senyum.
“Besok Papa antarkan sekolah dan sore harinya kamu ke Panti yah”
bersambung