Jantungku berdegup kencang ketika kudapati pemberitahuan di layar ponsel. Seorang sahabat sekaligus musuhku dalam arena perjudian, mencoba menghubungiku semenit yang lalu.
1 Panggilan masuk dari Amar pada 17:50 WIB.
Amar, seorang lelaki berperawakan kekar, berambut klimis, bermisai ala-ala pemuda English—orang di negaraku mengenalnya sebagai gaya Wak Doyok—tidak pernah menganggap kawan main terdekatnya sebagai sahabat. Baginya, tidak adil jika memilih sesuai ideal masing-masing, lantas menyingkirkan lainnya.
“Semua orang adalah saudara. Siapapun orang yang sudah aku anggap saudara, harus mau memberiku uang, kudapan, dan apapun yang aku butuhkan ketika fase menganggurku tiba”. Amar bersabda.
Ucapannya 3 tahun lalu itu masih dapat aku hapal sampai sekarang. Aku tidak sanggup menyingkirkan wejangan itu dari benakku.
Ponselku kembali berbunyi. Nada dering panggilan masuk masih tetap sama, begitupun orang yang mencoba menghubungiku.
Kali ini, aku berusaha tenang sebelum menjawab panggilan. Tujuan Amar menelponku, jelas bukan untuk bertanya kabar, apalagi sekedar menagih novel The Dante Club karya Matthew Pearl yang aku janjikan kepadanya. Kemungkinan besar, ini tentang kekalahan Manchester United atas Arsenal di Old Trafford, pekan kemarin. Pasalnya, bukan cuma Setan Merah yang merugi, tetapi semua orang yang bertaruh untuknya. Kehilangan Rp500.000, bukan perkara kecil bagi seorang pengangguran.
“Halo, dimana kau berada?” Amar mengawali.
“Rumah, seperti sediakala. Sore-sore begini, ada perlu apa kau menelponku?” penuh cemas jika benar Amar ingin mengungkit haknya.
“Sebentar, jangan bilang kalau kau masih menganggur, Valdi?” kelakarnya.
“Bagaimana bisa dakwaan seseorang dinyatakan benar, jika tanpa dibarengi bukti?” cemas bercampur kesal.