Rigi perlahan menyesap air yang sudah terkontaminasi serbuk Brasilian Coffee. Kerongkongannya yang lama kering semenjak berada di Tanton, kini mulai dibasahi.
"Eummm....lumayan. Sejumput kenikmatan ternyata hadir di secangkir kopi, bukan di kota yang kau diami, Brader!" tutur Rigi merendahkan profesionalisme Virgil sebagai kepala polisi.
"Oh ya, ngomong-nongomong, angin apa yang bisa membawamu sampai ke Tanton, Rigi?" tanya Virgil.
"Berhentilah berkata yang tidak penting, sekarang jawab saja pertanyaanku. Kenapa kau membiarkan kota ini dipenuhi para kriminal?" tukasnya.
"Hah, apa maksudmu?"
"Jangan berpura-pura bodoh, Virgil. Coretan di tembok menjadi bukti ketidak becusan kau memimpin kepolisian Tanton!" dengan nada ketus.
"Apakah yang kau maksud kriminal itu adalah mural, Rigi?" sahut Virgil.
"Apalagi kalau bukan itu, Jadah!"
"Oke, tolong tunjukan padaku peraturan yang menyebut seni lukis di ruang publik dilarang oleh negara?" tanya Virgil.
"Undang-undang Republik Omnipotensia, nomor 666 ayat 999. Tak usah kau menguji kredibilitas ku sebagai pemimpin."
"Undang-undang peninggalan Sirato, ayahmu, berisi tentang larangan mengotori fasilitas umum. Aku pun sepakat tentang itu, akan tetapi, menurutku hanya sebatas limbah, sampah, dan coretan nir-makna, mural tidak termasuk." tandasnya. Â