"Hampir seluruh warga yang tua-tua datang ke rumah tua itu. Bersenang-senang lah. Ada yang main gaplek, catur dan banyak lagi. Semua senang. Tidak ada keributan karena masing-masing kita bisa menjaga diri dengan mengutamakan persatuan demi terciptanya rasa aman di kampung kita," kata Pak Bendot.
"Itu berlangsung kira-kira dua tahun. Praktis ada tempat bermain warga. Mereka bisa bertemu dan saling tukar pikiran, sementara siangnya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sampai kemudian ..."
Pak Bendot tersedu sedan. Berat.
berucap. Beliau baru berkata lagi setelah kusebut namanya beberapa kali.
"Terjadinya malapetaka itu." Pak Bendot mengusap air matanya dengan handuk kecil yang sering dia bawa kemana pergi.
"Malapetaka? Macam apa Pak Bendot?" Tanyaku penasaran.
"Tujahan."
"Tujahan?" Aku terberan-heran.
"Untunglah cepat dilerai. Sehingga keributan besar bisa diantisipasi. Rupanya sejak kejadian malam itu, hari ke hari rumah itu berubah sepi. Tak lama kemudian penghuninya pindah entah kemana. Warga cuma tahu rumah tua itu tidak berpenghuni lagi."
"Apa kaitannya dengan suara aneh dan mayat yang hidup lagi, Pak Bendot?"
Pak Bendot menggelengkan kepala.Â