Tentu tidak relevan seorang nelayan bercerita tentang pola tanam, apalagi praktik menanam di masa lalu. Tidak cocok juga menyandarkan analisa tentang praktik ibadah pada suatu masa dan kelompok masyarakat tertentu kepada orang yang tidak mengenal budaya dan kepercayaan setempat.
Kalau sudah lengkap siapa tokoh utama, apa saja yang dilakukan, kapan kejadiannya, di mana lokasi kejadian atau peristiwanya maka penjelasan tentang kenapa dan bagaimana nya itulah yang bisa dirangkai menjadi tulisan.
Dan sepanjang belum atau tidak ada tulisan dari orang lain tentang hal yang kita angkat bisa jadi penulis berikutnya akan merujuk ke tulisan kita. Meski nanti tulisan kita akan dikritik atau dibantah tapi yang jelas, merujuk ke tradisi akademik, tulisan dan nama kita akan dirujuk alias akan nampang di artikel orang selanjutnya.
Bagaimana dengan gaya menulis? Lupakan saja dahulu gaya menulis, yang penting ambil laptop lalu tuliskan kalimat demi kalimat dengan sabar.
Pilih kata demi kata yang bervariasi sambil sering-sering buka kamus, maka jadilah tulisan. Siapa tahu akan muncul tulisan sejarah sejak kapan Soto Banjar hadir di Jawa Timur, kenapa orang Jawa berani merantau dan menjual Soto Lamongan di Sumbawa, sejak kapan orang Bali bermigrasi ke Sumatera, kenapa masakan di Lombok identik dengan pedas, atau kenapa ada Kampung Makassar di beberapa tempat di Nusantara dan banyak lagi lainnya.
Kata history (sejarah) bisa dijabarkan sebagai his-story (kisah-nya), maka bercerita yang dilengkapi data yang cukup berarti menyusun narasi sejarah. Keren!
Selamat mengamati lingkungan terdekat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H