Hari Pendidikan Naional tahun 2020 ini datang dalam suasana yang berbeda. Pagebluk (wabah) yang masih menggelayut di langit menjadi penyebabnya.Â
Agenda perayaan yang kaya ragam kegiatan sebagai ruang keceriaan tersendiri kini hanya cerita masa lalu. Kegembiraan para pelaku pendidikan hari-hari ini terbungkus APD, terselubung masker dan tercuci bersih dibawa cairan desinfektan.
Tinggallah kecemasan para guru honor yang mempertanyakan keberlanjutan penghasilan mereka yang dihitung dari frekuensi tatap muka. Apakah tatap muka daring dapat menjadi pengganti?Â
Kecemasan juga hadir di sebagian guru yang peran dominannya pelan-pelan tergantikan oleh ragam aplikasi. Bukan peran fisik semata tapi lebih kepada kegelisahan apakah aplikasi-aplikasi itu bentuk pendidikan, pengajaran atau hanya pelatihan?
Pertanyaan serupa kemudian akan menggelayuti pelaku pendidikan anak usia dini yang sejak semula menekankan bahwa keikutsertaan anak didik bukan untuk di-sekolah-kan tapi lebih kepada menyiapkan mental mereka untuk belajar bersosialisasi. Sosialisasi berbasis media sosial dapatkan memenuhi tujuan pendidikan dini usia itu?
Peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini menjadi momentum untuk mengukur sungguhkah pendidikan telah berperan signifikan dalam membentuk kecerdasan bangsa? Seketika kecerdasan bangsa diuji langsung dalam bentuk respon terhadap pagebluk (pandemi) sambil melirik peluang disrupsi di segala lini kehidupan yang ditawarkan teknologi.
Lebih jelasnya seberapa cerdaskah rakyat dan bangsa ini merespon kemunculan virus yang mengancam keberlanjutan hidup manusia?
Sebagian mungkin akan beralibi bahwa itu merupakan masalah kesehatan yang bukan menjadi domain dunia pendidikan. Tentu fikiran demikian menafikan bahwa tenaga kesehatan yang sedang berjuang di garis terdepan itu adalah juga produk pendidikan, kekurangan jumlah mereka dibanding kebutuhan minimal merupakan fenomena dari masalah kebijakan pendidikan tinggi yang berbasis kapital.
Lebih luas dan lebih dekat dengan mata adalah gencarnya himbauan pemerintah yang nyatanya tidak cukup bergaung di masyarakat. Tidakkah itu menggambarkan literasi kesehatan yang tidak memadai baik di sisi masyarakat maupun di sisi pengambil kebijakan publik?
Kalau literasi kesehatan diterjemahkan sebagai kemampuan seseorang memilih dan memilah informasi kesehatan yang dengannya kemudian mengambil tindakan yang sepadan untuk memulihkan atau meningkatkan derajat kesehatannya, maka literasi kesehatan juga merupakan masalah tingkat keterdidikan seseorang. Sebagaimana literasi dan numerasi yang sering didengungkan di dunia pendidikan, literasi kesehatan juga sangat sering didengungkan, meski dengan diksi yang berbeda yaitu Komunikasi-Informasi-Edukasi (KIE).