Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Pelayaran dengan PELNI dan Toleransi

27 Desember 2019   20:23 Diperbarui: 27 Desember 2019   20:30 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KM BINAIYA saat sandar malam hari di Pelabuhan Bima, NTB (dokpri)

Sejak masih remaja belia, sebagai keluarga perantau saya sering diajak orang tua pulang kampung ke Makassar baik karena alasan hari raya ataupun ada kegiatan keluarga yang penting untuk dihadiri. Moda angkutan yang sering kami pakai dahulu adalah transportasi laut. Pelayaran rakyat, kapal Perintis ataupun layanan PELNI adalah alternatif pilihannya.

Beda dengan moda transportasi darat yang setiap hari selalu tersedia dan pilihannya banyak, angkutan laut tidak setiap hari tersedia untuk rute-rute tertentu. Diperlukan kejelian untuk membaca jadwal pelayaran agar rencana perjalanan kita dapat sesuai dengan rencana keberangkatan atau kedatangan kapal ke pelabuhan-pelabuhan tertentu.

Ya, menyesuaikan tanggal keberangkatan dengan jadwal perjalanan kapal dari pelabuhan di mana kita akan naik menuju pelabuhan yang akan kita tuju adalah bagian rencana perjalanan yang harus kita siapkan dengan matang. Rencana tersebut bahkan harus detail sampai ke jam-nya, karena kapal akan merapat pada jam-jam tertentu. Bisa jadi kapal yang kita inginkan merapat pada dini hari dan kemudian berangkat lagi setelah hanya 1 atau 3 jam sandar.

Seiring jaman, dan usia tentunya, perjalanan pulang kampung ke Makassar kini kami jalani umumnya dengan moda angkutan udara. Waktu yang terbatas menjadi salah satu alasan kenapa moda udara cenderung kami pilih akhir-akhir ini dibanding moda laut.

Namun liburan akhir tahun kali ini, kami sepakat untuk kembali menggunakan moda angkutan laut. 

Setelah mempelajari jadwal dan rute perjalanan dari beberapa kapal yang ada, pilihan kami jatuh pada KM BINAIYA yang berangkat dari Pelabuhan Bima di Pulau Sumbawa, menuju Pelabuhan Makassar dengan jadwal singgah sebentar di Pelabuhan Labuhan Bajo, NTT. Sehari sebelum jadwal keberangkatan dari Pelabuhan Bima, kami menempuh rute darat dari Sumbawa Besar menuju Kota Bima.

Bagi kami di Indonesia Timur, keberadaan PELNI dengan armada kapal penumpangnya adalah sarana penghubung nusantara yang terjangkau dan bersahabat. 

Persinggahan di pelabuhan-pelabuhan seantero kepulauan membuat PELNI sejatinya adalah perajut Bhinneka Tunggal Ika di laut. Rangkaian perjalanan dari dan persinggahan di pelabuhan ke pelabuhan memberi kesempatan kepada penumpang, walau singkat, untuk melihat betapa beragamnya rupa wajah kepulauan Nusantara.

Tarif yang terjangkau dan relatif lapang untuk membawa bagasi menjadikan armada PELNI selain penyambung silaturrahmi, juga berperan dalam membantu distribusi barang bagi pedagang-pedagang antar pulau kelas rumahan atau mikro. Bukan pemandangan yang aneh kalau dek penumpang terkadang juga banyak diisi barang bawaan penumpang, yang kalau dilihat dari ukuran volume dan jumlahnya tidak mungkin isinya hanya sekadar keperluan pribadi. 

Sangat boleh jadi sebagian bagasi tersebut adalah barang dagangan. Tidak ada penumpang lain yang protes karena geraknya yang menjadi dibatasi oleh karung atau kardus!

Dalam pelayaran, tempat bagi penumpang di kabin-kabin bisa menjelma menjadi ruang publik. Beragam latar belakang sosial budaya, bahkan agama, dari setiap penumpang bisa menjadi bahan perbincangan sesama penumpang untuk bertukar pengalaman hidup. Pelayaran dari pelabuhan satu ke pelabuhan lain yang bisa memakan waktu semalaman, seharian atau justru berhari-hari memberi ruang terjadinya percakapan antar sesama penumpang. 

Berbagi pengalaman tentang pekerjaan, bertukar informasi seputar daerah asal, bertukar ide tentang peluang bisnis di daerah yang baru semuanya bisa lebur dalam percakapan di kabin-kabin penumpang.

Apalagi yang bisa dilakukan sebagai pengisi waktu, terlebih ketika sinyal telepon sudah meredup di tengah laut, selain menyeruput kopi atau teh sambil ngobrol lepas dengan tetangga sebelah? 

Ketika intoleransi sering dipermasalahkan oleh para cerdik pandai, di tengah laut, dalam lambung kapal dan di sela-sela tempat tidur penumpang isu-isu tersebut lebur terbawa debur ombak.

Sekelompok anak muda dari Flores dengan asyik memetik gitar dan menyanyikan lagu Ambon. Tidak ada yang protes karena terusik, justru nampaknya penumpang lain menikmati suara merdu dan kompak mereka. Perjalanan dari Benoa (Bali) sampai mereka turun di Labuhan Bajo ternyata perjalanan yang penuh diisi keriangan yang kemudian terbagi pada penumpang lainnya.

Tidak ada penumpang yang saling bertanya apa agama atau kepercayaan. Pertanyaan tentang asal-usul masing-masing tidak dalam rangka mencari perbedaan etnis atau golongan. 

Pertanyaan yang terlontar antar penumpang hanya dalam rangka mencari anjakan awal membuka percakapan. Pertanyaan tertentu boleh jadi membuka fakta bahwa seorang penumpang pernah tinggal di daerah asal-usul penumpang lainnya. 

Dari sini kemudian percakapan sering mengalir lebih dalam. Semuanya dibungkus oleh kesadaran yang tidak perlu dilontarkan bahwa penumpang PELNI adalah warga Nusantara. Perbedaan bahasa ibu atau asal-usul mencair dalam cerita pengalaman masing-masing.

Kalau Jurgen Habermas mendefinisikan ruang publik sebagai tempat atau wadah dimana ide publik diutarakan, dibincangkan dan atau dipertentangkan, maka dek-dek kapal PELNI dapat menjadi ruang publik. Entah apakah Habermas pernah merasakan pelayaran dengan moda seperti PELNI di Indonesia?

Apakah setiap dek terjadi dialog atau percakapan seru? Faktanya tidak. Percakapan sesama penumpang hanya terjadi apabila antar penumpang berdekatan memiliki kesamaan kebutuhan untuk mecari teman berbincang. Penumpang lainnya larut dengan gadget, sibuk dengan laptop, tenggelam dalam bacaan atau menikmati waktu untuk tidur pulas sepanjang perjalanan. 

Asyiknya penumpang lain berbincang tidak mengganggu keasyikan kelompok yang ini untuk tenggelam dalam kesendiriannya. Lagi-lagi kondisi ini bisa memberi contoh bagaimana suatu ruang publik diisi oleh beragam kepentingan. Tidak berlebihan kalau ada yang mengatakan bahwa dalam perjalananlah akan terlihat karakteristik seseorang.

Beda dengan penyelenggaraan pelayaran bertahun-tahun lalu, dewasa ini penumpang PELNI dapat memiliki keyakinan bahwa selama memiliki tiket, dan tercantum kode dek dan nomor tempat tidur, setiap penumpang akan kebagian tempat tidur sesuai nomor yang tertera di tiket. 

Tidak ada lagi ceritanya penumpang berebutan naik kapal karena berebutan mencari tempat tidur. Petugas PELNI pun memeriksa kesesuaian tiket seseorang dengan nomor tempat tidurnya. Tentu ini bisa menjadi nilai positif melakukan perjalanan dengan moda laut ini.

Satu catatan penting yang memerlukan perhatian dari PELNI selaku penyelenggara pelayaran adalah kamar mandi dan toilet (KM-toilet). Jumlah penumpang dibanding ketersediaan KM-toilet yang rasanya belum ideal menjadikan kamar mandi dan toilet sebagai tempat yang masih terlihat jorok. Banyaknya penumpang dek kelas ekonomi membuat setiap orangnya menjadi anonim ketika berada di areal KM-toilet. 

Antri giliran di KM-toilet memberi peluang seseorang berperilaku berusaha memenuhi kebutuhan individu dengan tidak peduli kepentingan orang lain.

Dari sisi pemahaman keruangan, KM-toilet merupakan ruang pribadi dimana akses seharusnya pribadi juga. Pribadi dalam arti akses terbatas pada orang yang sangat kita kenal dan memang kita ijinkan untuk masuk. 

Dimensi pribadi ini penting bagi KM-toilet karena praktis sebenarnya dalam ruangan inilah tidak ada lagi yang disembunyikan, semua dibuka. Keluar masuk KM-toilet di kapal seperti PELNI adalah ruang transisi antara aktifitas pribadi dan aktifitas sosial atau publik. 

Cukupkah ruang yang tersedia untuk akses ini? Rasanya masih sangat kurang, karena volume pengguna KM-toilet di kapal PELNI sangat tinggi dibanding ketersediaan fasilitas vital ini. Dibandingkan dengan ruang yang disediakan, volume yang tinggi ini membuat transisi menjadi sangat tipis atau bahkan berimpitan.

Tentu kondisi ini hanya terjadi di kelas ekonomi, karena Dek Kelas I atau II memiliki kamar mandi/toilet yang lebih bersifat privat. Namun bisa jadi inilah salah satu pembeda menggunakan moda ini dibanding dengan moda lainnya. 

Dalam pelayaran jarak jauh dengan PELNI kita bisa kenal, ngobrol dengan orang yang baru karena kedekatan tempat tidur atau bersamaan dek. Perkenalan bahkan sampai ke ruang antri di KM-toilet. 

Kita bisa kenal tingkah laku seseorang membersihkan gigi, membasuh muka bahkan raut wajah ketika keluar dari toilet, tampilan seseorang yang baru keluar mandi tapak jelas karena belum dipoles dengan parfum atau pewangi rambut misalnya. 

Tidak ada batasan waktu yang ketat berapa lama seseorang dijatah berada dalam KM-toilet, semua tergantung saling pengertian antar penumpang atau pengantre. Berapapun panjangnya antrean, tidak pernah terjadi pertengkaran karena berebut masuk KM atau toilet.

Seseorang bisa berlaku demikian karena pada dasarnya bahkan sampai KM-toilet pun semua penumpang adalah anonim. Artinya kalau dikembalikan ke teori keruangan, di mana ruang publik dicirikan oleh salah satunya anonimitas, kita tidak terlalu peduli dengan identitas seseorang ketika kita berada di ruang publik. 

Kita pun tidak terlalu peduli dengan pandangan orang lain tentang penampilan kita, toh kita tidak kenal mendalam siapa mereka. Namun dalam anonimitas itu semua penumpang juga memiliki tenggang rasa untuk juga memperhatikan kebutuhan, kepentingan atau kemendesakan seseorang.

Ya, di KM-toilet kapal-kapal PELNI, definisi ruang publik dan ruang privat menjadi berimpitan. Tapi di dek-dek, di tempat tidur yang berderet, ruang publik itu mengalami transisi menjadi ruang sosial dimana perbincangan dibuka tanpa sekat, tanpa stereotype dan tanpa kecurigaan. 

Tentu perbicangan bisa terjadi kalau ada kesetaraan hak berbicara, dan PELNI dengan jaringan pelayaran Nusantara-nya menyediakan ruang untuk toleransi yang dewasa ini terasa semakin mahal.

Saya merasa itulah nilai lebih menggunakan moda pelayaran untuk perjalanan jarak jauh antar pulau, selain memang harga tiketnya yang sangat terjangkau.

Jalesveva Jayamahe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun