Sejak masih remaja belia, sebagai keluarga perantau saya sering diajak orang tua pulang kampung ke Makassar baik karena alasan hari raya ataupun ada kegiatan keluarga yang penting untuk dihadiri. Moda angkutan yang sering kami pakai dahulu adalah transportasi laut. Pelayaran rakyat, kapal Perintis ataupun layanan PELNI adalah alternatif pilihannya.
Beda dengan moda transportasi darat yang setiap hari selalu tersedia dan pilihannya banyak, angkutan laut tidak setiap hari tersedia untuk rute-rute tertentu. Diperlukan kejelian untuk membaca jadwal pelayaran agar rencana perjalanan kita dapat sesuai dengan rencana keberangkatan atau kedatangan kapal ke pelabuhan-pelabuhan tertentu.
Ya, menyesuaikan tanggal keberangkatan dengan jadwal perjalanan kapal dari pelabuhan di mana kita akan naik menuju pelabuhan yang akan kita tuju adalah bagian rencana perjalanan yang harus kita siapkan dengan matang. Rencana tersebut bahkan harus detail sampai ke jam-nya, karena kapal akan merapat pada jam-jam tertentu. Bisa jadi kapal yang kita inginkan merapat pada dini hari dan kemudian berangkat lagi setelah hanya 1 atau 3 jam sandar.
Seiring jaman, dan usia tentunya, perjalanan pulang kampung ke Makassar kini kami jalani umumnya dengan moda angkutan udara. Waktu yang terbatas menjadi salah satu alasan kenapa moda udara cenderung kami pilih akhir-akhir ini dibanding moda laut.
Namun liburan akhir tahun kali ini, kami sepakat untuk kembali menggunakan moda angkutan laut.Â
Setelah mempelajari jadwal dan rute perjalanan dari beberapa kapal yang ada, pilihan kami jatuh pada KM BINAIYA yang berangkat dari Pelabuhan Bima di Pulau Sumbawa, menuju Pelabuhan Makassar dengan jadwal singgah sebentar di Pelabuhan Labuhan Bajo, NTT. Sehari sebelum jadwal keberangkatan dari Pelabuhan Bima, kami menempuh rute darat dari Sumbawa Besar menuju Kota Bima.
Bagi kami di Indonesia Timur, keberadaan PELNI dengan armada kapal penumpangnya adalah sarana penghubung nusantara yang terjangkau dan bersahabat.Â
Persinggahan di pelabuhan-pelabuhan seantero kepulauan membuat PELNI sejatinya adalah perajut Bhinneka Tunggal Ika di laut. Rangkaian perjalanan dari dan persinggahan di pelabuhan ke pelabuhan memberi kesempatan kepada penumpang, walau singkat, untuk melihat betapa beragamnya rupa wajah kepulauan Nusantara.
Tarif yang terjangkau dan relatif lapang untuk membawa bagasi menjadikan armada PELNI selain penyambung silaturrahmi, juga berperan dalam membantu distribusi barang bagi pedagang-pedagang antar pulau kelas rumahan atau mikro. Bukan pemandangan yang aneh kalau dek penumpang terkadang juga banyak diisi barang bawaan penumpang, yang kalau dilihat dari ukuran volume dan jumlahnya tidak mungkin isinya hanya sekadar keperluan pribadi.Â
Sangat boleh jadi sebagian bagasi tersebut adalah barang dagangan. Tidak ada penumpang lain yang protes karena geraknya yang menjadi dibatasi oleh karung atau kardus!