Dalam pelayaran, tempat bagi penumpang di kabin-kabin bisa menjelma menjadi ruang publik. Beragam latar belakang sosial budaya, bahkan agama, dari setiap penumpang bisa menjadi bahan perbincangan sesama penumpang untuk bertukar pengalaman hidup. Pelayaran dari pelabuhan satu ke pelabuhan lain yang bisa memakan waktu semalaman, seharian atau justru berhari-hari memberi ruang terjadinya percakapan antar sesama penumpang.Â
Berbagi pengalaman tentang pekerjaan, bertukar informasi seputar daerah asal, bertukar ide tentang peluang bisnis di daerah yang baru semuanya bisa lebur dalam percakapan di kabin-kabin penumpang.
Apalagi yang bisa dilakukan sebagai pengisi waktu, terlebih ketika sinyal telepon sudah meredup di tengah laut, selain menyeruput kopi atau teh sambil ngobrol lepas dengan tetangga sebelah?Â
Ketika intoleransi sering dipermasalahkan oleh para cerdik pandai, di tengah laut, dalam lambung kapal dan di sela-sela tempat tidur penumpang isu-isu tersebut lebur terbawa debur ombak.
Sekelompok anak muda dari Flores dengan asyik memetik gitar dan menyanyikan lagu Ambon. Tidak ada yang protes karena terusik, justru nampaknya penumpang lain menikmati suara merdu dan kompak mereka. Perjalanan dari Benoa (Bali) sampai mereka turun di Labuhan Bajo ternyata perjalanan yang penuh diisi keriangan yang kemudian terbagi pada penumpang lainnya.
Tidak ada penumpang yang saling bertanya apa agama atau kepercayaan. Pertanyaan tentang asal-usul masing-masing tidak dalam rangka mencari perbedaan etnis atau golongan.Â
Pertanyaan yang terlontar antar penumpang hanya dalam rangka mencari anjakan awal membuka percakapan. Pertanyaan tertentu boleh jadi membuka fakta bahwa seorang penumpang pernah tinggal di daerah asal-usul penumpang lainnya.Â
Dari sini kemudian percakapan sering mengalir lebih dalam. Semuanya dibungkus oleh kesadaran yang tidak perlu dilontarkan bahwa penumpang PELNI adalah warga Nusantara. Perbedaan bahasa ibu atau asal-usul mencair dalam cerita pengalaman masing-masing.
Kalau Jurgen Habermas mendefinisikan ruang publik sebagai tempat atau wadah dimana ide publik diutarakan, dibincangkan dan atau dipertentangkan, maka dek-dek kapal PELNI dapat menjadi ruang publik. Entah apakah Habermas pernah merasakan pelayaran dengan moda seperti PELNI di Indonesia?
Apakah setiap dek terjadi dialog atau percakapan seru? Faktanya tidak. Percakapan sesama penumpang hanya terjadi apabila antar penumpang berdekatan memiliki kesamaan kebutuhan untuk mecari teman berbincang. Penumpang lainnya larut dengan gadget, sibuk dengan laptop, tenggelam dalam bacaan atau menikmati waktu untuk tidur pulas sepanjang perjalanan.Â
Asyiknya penumpang lain berbincang tidak mengganggu keasyikan kelompok yang ini untuk tenggelam dalam kesendiriannya. Lagi-lagi kondisi ini bisa memberi contoh bagaimana suatu ruang publik diisi oleh beragam kepentingan. Tidak berlebihan kalau ada yang mengatakan bahwa dalam perjalananlah akan terlihat karakteristik seseorang.