Ia pertama kali maju pada Konvensi Calon Presiden Partai Golkar pada tahun 2004. Ia terpilih hingga babak akhir namun kalah suara dari "rival abadinya" yaitu Wiranto, yang akhirnya menjadi Calon Presiden dari Partai Golkar untuk mengikuti Pilpres 2004 (yang merupakan Pemilihan Presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat).
Meski akhirnya Wiranto sendiri gagal keluar sebagai pemenang, ia yang saat itu berpasangan dengan Sallahudin Wahid hanya berada di urutan ketiga, kalah suara dari Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Jusuf Kalla, dan Megawati Soekarnoputri yang berpasangan dengan Hashim Muzadi.
Hingga akhirnya setelah Pilpres berlangsung dua putaran, SBY dan Jusuf Kallalah yang saat itu keluar menjadi pemenang, dan menjadi Presiden dan Wakil Presiden terpilih tahun 2004-2009.
Namun Prabowo tak patah arang. Ia kemudian mendirikan sebuah partai politik bernama Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) pada tanggal 6 Februari 2008, bersama adiknya Hashim Djojohadikoesoemo, mantan Aktivis Mahasiswa Fadli Zon, mantan Deputi Badan Intelegen Nasional (BIN) bidang Penggalangan Muchdi Prandjono, dan tokoh lainnya.
Ketika Pilpres tahun 2009, Prabowo yang semula dicalonkan partainya sebagai Capres, bersedia menjadi Cawapres Megawati Soekarnoputri. Namun pada Pilpres saat itu, lagi-lagi dimenangkan oleh SBY yang kala itu berpasangan dengan Boediono.
Lalu pada Pilpres 2014, Prabowo kembali menjadi Capres dan berpasangan dengan Hatta Radjasa. Sebenarnya peluang Prabowo saat itu bisa dibilang besar, meski terjadi persaingan sengit dengan tokoh "debutan" yang mendadak populer dan kariernya pun meroket cepat, dari mulai Walikoto Solo, lalu Gubernur DKI yang kemudian dicalonkan sebagai Calon Presiden yang bernama Joko Widodo, yang saat itu berpasangan dengan tokoh "veteran" yaitu Jusuf Kalla.Â
Namun lagi-lagi, citra negatif dan isu lama seputar HAM di bidang militer  terus membayanginya dan dijadikan "senjata ampuh" kubu lawan untuk menyerang dan menjatuhkan namanya.
Sosoknya dianggap Anti HAM, diktator, kejam, dingin, dan sebagainya. Sedangkan kubu lawan justru menampilkan citra yang merakyat, humoris, banyak tertawa, sederhana, dan lainnya.
Hal itu semakin diperparah dengan isu kehidupan pribadi yang menyangkut statusnya sebagai duda sejak ia berpisah dengan Titiek Soeharto pada tahun 1998, membuat ia menjadi sasaran empuk kubu lawan yang justru terus berusaha menampilkan pencitraan positif kepada masyarakat bersama keluarga lengkapnya.Â
Hingga akhirnya ia pun kalah tipis dalam Pilpres 2014 yang hanya diikuti oleh dua pasang calon tersebut. Namun lagi-lagi, Prabowo tidak menyerah. Ia yang menjadi tokoh oposisi kembali mencalonkan diri sebagai Calon Presiden pada Pilpres 2019 mendatang, kali ini bersama tokoh muda Sandiaga Uno, yang sebelumnya terpilih sebagai Wakil Gubernur DKI (namun ia langsung mundur dari jabatannya sebelum mendaftarkan diri ke KPU).
Dan lagi-lagi, kali ini pun Prabowo harus terus dihantam bertubi-tubi oleh citra negatif dan isu lama di bidang militer dan kemanusiaan, juga oleh status "lajang" dan harta kekayaannya yang melimpah.