Bagi anda yang semasa sekolah SMA tidak pernah menjadi "anak pindahan", alias pindah sekolah ke SMA yang berbeda (apalagi kota yang berbeda pula), mungkin membayangkan akan mengalami masa-masa SMA yang sangat indah dan berkesan, seperti tokoh "Milea" dalam film "Dilan 1990".Â
Film yang sukses besar di pasaran pada awal tahun 2018 yang menceritakan kehidupan anak SMA di kota Bandung, yang tokoh utamanya bernama Dilan yang diperankan oleh Iqbaal Ramadhan dan tokoh Milea yang diperankan oleh Vanesha Prescilla ini memang sukses mencuri hati masyarakat Indonesia terutama anak muda.Â
Di dalam cerita film tersebut, salah satunya menceritakan tentang tokoh anak perempuan SMA bernama Milea yang berasal dari kota Jakarta dan pindah ke kota Bandung, yang berarti ia pun pindah sekolah juga.
Sebenarnya cerita soal anak perempuan SMA yang menjadi "anak pindahan" di SMA berbeda dan kota yang berbeda dalam film, sebelumnya telah terdapat dalam film Indonesia, terutama film-film zaman dulu.Â
Jadi film "Dilan" dan tokoh "Milea" bukanlah yang pertama kali. Namun karena film Dilan lah yang paling terbaru sekaligus meraih sukses besar, maka saya membandingkannya dengan tokoh "Milea".
Di dalam film tersebut tampak begitu indah dan mudahnya menjadi "anak pindahan" di SMA dan kota yang berbeda. Namun asal tahu saja, Realitanya tidak seperti itu. Terutama bagi anak perempuan bertampang pas-pasan dan bukan dari keluarga mapan seperti saya. Nasib saya 180 derajat berbeda dengan Milea.
Semuanya begitu sulit untuk saya, saya harus "dipaksa" beradaptasi dengan kondisi dan suasana yang semuanya jauh berbeda, baik di kota baru, maupun di sekolah yang baru, termasuk adaptasi dengan orang-orangnya, terutama teman sekolah dan guru.Â
Apalagi dengan teman-teman. Saya yang sebelumnya tinggal bertahun-tahun di kota yang lama dan memiliki beberapa sahabat dekat, harus kehilangan mereka semua. Begitu pun dengan teman-teman SMA yang sebagian besar saya kenal karena satu sekolah SMP yang sama, harus juga saya tinggalkan. Dan saya harus memulai semuanya dari NOL. Bahkan waktu itu saya merasa seperti "Alien" yang terlempar ke "Planet" lain!
Saya pindah bersama keluarga saya saat saya kenaikan kelas 2 SMA pada pertengahan tahun 1998. Alasannya karena ayah saya telah terlebih dulu pindah kerja ke kota tersebut. Jadi ketika saya kenaikan kelas yang waktunya hampir bersamaan dengan habisnya kontrakan rumah kami, maka kami memutuskan untuk pindah tempat tinggal ke kota tempat ayah bekerja, sekaligus saya pindah sekolah.Â
Ceritanya saya pindah ke SMA unggulan sekaligus favorit di kota baru tempat tinggal kami. Namun saya pindah ke sekolah tersebut ketika tahun ajaran baru telah dimulai, mungkin hampir 2 minggu. Hal itu dikarenakan kondisi ekonomi kami yang morat-marit. Ayah saya mendadak keluar dari pekerjaannya karena berselisih paham dengan "bos besar" tempatnya bekerja.Â
Secara otomatis ia tidak memiliki penghasilan dan mengandalkan simpanan uang sebelumnya. Karena itulah ia pun tidak memiliki uang yang cukup untuk membayar uang pangkal untuk masuk sekolah baru. Apalagi persediaan uang sebelumnya telah tersedot untuk pindahan kota dan juga membayar kontrakan rumah yang baru. Belum lagi untuk mengganti kacamata saya yang minusnya ternyata bertambah.
Namun kami tetap berusaha supaya saya tidak putus sekolah. Sebelum masuk ke SMA unggulan di kota baru ini, sebenarnya ayah saya mengajak saya untuk mencoba mendaftar ke SMA lain yang letaknya cukup dekat dengan SMA tersebut. Namun setelah bertemu dengan pihak Kepala Sekolah, ayah saya langsung mengajak saya pulang karena ternyata pihak sekolah tidak menerima siswa pindahan yang tidak mampu membayar uang pangkal.
Akhirnya ayah saya pun mendatangi SMA unggulan yang merupakan sekolah almamaternya dulu. Dan dengan bermodalkan embel-embel "alumni" itulah dan janji akan membayar uang pangkal nanti setelah saya diterima sekolah di sana, akhirnya saya pun bisa diterima pindah ke sekolah tersebut.
Saya yang tidak terbiasa lagi mandi subuh sebelum berangkat sekolah, harus menggigil kedinginan di kamar mandi. Hal itu terjadi karena suhu udara di kota baru ini jauh lebih dingin dibandingkan dengan kota sebelumnya yang termasuk jalur Pantura. Dan "ritual baru" tersebut harus saya alami setiap habis mandi.
Lalu ketika saya pertama kali masuk ke SMA baru, saya juga seperti merasa "jetlag". Bangunan sekolah di mana saya belajar jauh lebih kecil dan sempit dibandingkan dengan sekolah lama saya yang begitu luas dan besar. Dada saya seperti merasakan "sesak".
Tak lama saya masuk ke dalam kelas yang diarahkan oleh seorang Guru TU. Saat itu kalau tidak salah sedang berlangsung pelajaran Fisika. Seorang guru pria berkacamata minus dan berwajah sinis (menurut saya) sedang sibuk menjelaskan pelajarannya di papan tulis. Kegiatan belajar terhenti sejenak saat saya masuk kelas. Suasana hening dan semua mata di dalam kelas tertuju kepada saya.
Namun hal itu hanya sebentar saja, setelah saya duduk di bangku paling depan yang kebetulan kosong dua-duanya, guru Fisika tersebut kembali melanjutkan kegiatannya. Ia tidak banyak berbasa-basi kepada saya.Â
Saya yang saat itu duduk sendirian mencoba bersikap wajar. Saya mengeluarkan buku catatan dan berusaha memahami penjelasan sang guru, walaupun hal itu hanya "kamuflase" saja. Karena yang sebenarnya terjadi, kepala saya pusing karena saya sama sekali tidak memahami apa yang dijelaskan oleh guru Fisika tersebut.
Selain saya telah ketinggalan materi pelajaran sebelumnya karena telat menjalani masa ajaran baru sekolah, saya pun seolah alergi dengan pelajaran berbau Eksak. Di sekolah saya sebelumnya pun nilai saya tidak pernah baik bahkan matematika harus beberapa kali menjalani remedial.
Barulah saat jam istirahat tiba, saya merasa agak lega. Ada beberapa anak perempuan di kelas itu yang mendekati saya dan mengajak saya mengobrol. Saya pun mencoba bersikap akrab dan ramah, meski semuanya terasa canggung.Â
Dan hari-hari selanjutnya yang saya alami, seperti "siksaan" buat saya. Setiap hari saya duduk sendiri di bangku paling depan, seperti OHIDA (Orang Hidup dengan Aids) yang diasingkan oleh banyak orang. Meski akhirnya ada anak perempuan lain yang juga anak pindahan (namun ia hanya pindah sekolah saja dan masih tinggal di kota ini) yang duduk sebangku dengan saya.
Ia sempat bertanya kepada saya berapa membayar uang pangkal untuk pindah ke sekolah, dan saya jawab tidak tahu karena ayah saya yang membayarnya (padahal aslinya tidak membayar sepeser pun). Sedangkan ia katanya diminta uang sebesar 500.000 rupiah, ukuran yang cukup besar pada saat itu.
Meski duduk sebangku, namun saya tidak cukup akrab dengan anak perempuan tersebut. Saya justru dekat dengan 3 anak perempuan lain yang semuanya memakai hijab. Bahkan saya cukup sering main ke rumah salah seorang di antara mereka yang kondisi ekonominya cukup sederhana, meski jauh lebih baik dibandingkan kondisi ekonomi keluarga saya.Â
Sedangkan anak-anak perempuan lain yang sekelas, hanya bicara seperlunya saja dengan saya. Beberapa diantaranya malah terkesan kaku dan dingin. Bahkan seingat saya, ada beberapa anak perempuan yang tidak pernah mengajak saya bicara hingga kenaikan kelas 3. Bila kebetulan berpapasan pun, saya dan mereka hanya tersenyum kecil saja.Â
Sebagian besar anak yang sekolah di SMA ini adalah anak cerdas dan dari keluarga mapan. Meskipun di kota yang lama saya mungkin termasuk anak cukup cerdas, namun di tempat yang baru ini saya justru menjadi anak yang beloon (terutama untuk pelajaran Eksak).Â
Setiap pulang sekolah kepala saya selalu pusing dan dada saya mual. Mungkin saya mengalami Stres. Nilai-nilai ulangan saya jarang yang bagus, kecuali untuk pelajaran PPKN, Bahasa Indonesia, dan yang berbau IPS. Untuk pelajaran Fisika bahkan saya mendapat nilai merah di rapor.
Keadaan saya semakin diperparah oleh aksi "kucing-kucingan" dengan Guru TU yang menagih uang pangkal kepada saya. Saya selalu berusaha untuk menghindari guru tersebut atau setidaknya anak lain tidak mengetahui hal itu. Saya tidak mau dihina oleh anak lain, apalagi status saya sebagai anak pindahan. Saya selalu berusaha tampak "tegar", meski dalam hati saya berteriak-teriak.Â
Ayah saya yang belum memiliki pekerjaan yang baru dan hanya bekerja serabutan, membuat kondisi saya benar-benar sulit. Masih untung saya bisa membayar uang SPP tiap bulan. Untuk makan sehari-hari kami harus "banting tulang". Ibu dan kakak perempuan saya membuat kue "kuwuk" yang bahannya sudah disiapkan oleh pemilik usahanya, dengan upah yang tidak seberapa. Saya dan kakak saya seringkali menjual barang-barang yang ada di rumah, seperti sprei atau baju ibu saya kepada orang yang dipanggil "tante", sampai menjual gelas kepada pedagang bubur kacang ijo.
Bahkan terkadang untuk ongkos berangkat sekolah pun, saya dan ayah saya harus meminjam uang ke kerabat kami, karena itulah saya cukup sering terlambat datang ke sekolah.
Satu-satunya "pelipur lara" saya hanya kegiatan surat-menyurat yang saya lakukan bersama teman-teman lama saya, yang jumlahnya cukup banyak, dan intensitasnya pun cukup sering. Jadi meskipun saya pindah kota, namun kabar terbaru dari kota lama saya masih sering saya terima.
Lalu bagaimana dengan anak laki-laki? Apakah ada yang naksir saya seperti tokoh Milea dalam film Dilan? Jawabannya: boro-boro! Tak ada satupun anak laki-laki yang tertarik kepada saya. Yang terjadi justru saya mempunyai "musuh debat" seorang anak laki-laki sekelas. Ia adalah aktivis masjid sekolah dan terlihat fanatik dalam segala hal, termasuk setiap ulangan, ia selalu anti contek mencontek dan melarang anak lain untuk melakukannya.
Bila setiap sesi diskusi pelajaran berbau IPS, saya dan dia selalu terlibat perdebatan sengit di dalam kelas. Kebetulan saya anak perempuan satu-satunya yang banyak bicara bila setiap sesi diskusi tersebut. Namun bila berlangsung pelajaran Eksak, jangankan bicara, berpikir saja saya rasanya sulit sekali!
Dan ketika kenaikan kelas 3, saya mantap memilih Jurusan IPS. Sebenarnya saya ingin mengambil Jurusan Bahasa, namun karena tidak ada akhirnya saya mengambil jurusan IPS saja.
Anehnya, meski saya selalu berdebat dengan anak laki-laki si "Aktivis Rohis" yang mengambil jurusan IPA, namun saya malah meminjam buku-buku IPS bekas kakaknya kepada dia. Dan anehnya juga, keesokan harinya ia membawa setumpuk buku paket pelajaran IPS bekas kakaknya itu dan meminjamkannya kepada saya selama setahun!
Saya yang ketika di kota lama selalu membeli buku-buku paket pelajaran, namun di kota yang baru dan sekolah yang baru, saya malah meminjamnya dari orang lain, yang justru selalu "debat kusir" dengan saya ketika sekelas. Hidup memang selalu menghadirkan kontradiksi!
Di kelas 3 ini kondisi saya tidak lebih baik, malah semakin parah. Meski memang anak-anak sekelasnya tidak "sekaku" dan "sedingin" anak-anak sekelas di kelas 2, namun masalah lain terus menimpa saya (selain masalah uang pangkal yang selalu ditagih Guru TU).
Hal itu terjadi karena "aksi demo" menolak kenaikan SPP yang dimotori oleh anak-anak IPS. Saya yang sebenarnya bukan "inisiator", namun karena saya berani bicara mengkritik guru di atas mimbar, maka saya pun harus menerima resikonya. Sejak kejadian itu, hampir semua guru memusuhi saya, terutama Wali Kelas. Bahkan saya dicap sebagai "Provokator".
Hampir setiap hari ia "menceramahi" saya dengan kata-kata yang super pedas. Bahkan ia pun mengungkit status saya sebagai "anak pindahan", yang menurutnya malah mencemarkan nama baik sekolah.Â
Namun lagi-lagi, saya selalu berusaha tegar. Saya juga bukan anak cengeng, apalagi mengadu kepada orangtua. Semua yang saya alami saya telan sendiri. Hingga akhirnya tiba kelulusan sekolah, saya menghilang dari peredaran.Â
Acara perpisahan sekolah tidak saya datangi. Begitupun mengambil Ijazah sekolah yang ditahan pihak sekolah karena saya tidak juga membayarnya hingga kelulusan sekolah, diambil oleh ayah saya.
Itulah sekelumit cerita saya sebagai "anak pindahan" di SMA. Jauh dari kesan indah, apalagi romantis, bahkan terkesan "miris". Dalam hal ini saya tidak ingin menghakimi siapapun, apakah teman sekolah, guru, apalagi ayah kandung saya sendiri. Apa yang saya alami karena " takdir" semata.Â
Saya menceritakan semua ini hanya ingin berbagi sedikit pengalaman hidup saya, yang mungkin memberi "inspirasi", pencerahan, dan pelajaran, bagi yang membacanya.
Bersyukurlah bagi anda yang menjalani kehidupan berkecukupan dari kecil dan mengalami masa sekolah dengan mulus semulus jalan tol, apalagi sampai mengenyam pendidikan yang tinggi, karena tidak semua orang bisa mengalaminya. Begitupun dengan orang tua yang mampu mencukupi kebutuhan anaknya secara maksimal, bukan hanya materi, namun juga pendidikan.
Dan bagi adik-adik yang masih sekolah, cobalah untuk selalu tegar dalam menghadapi masalah apapun, jangan cengeng dan gampang mengadu kepada Orang tua (kecuali bila sudah "mentok" tak menemukan jalan keluar). Karena kita tidak pernah tahu kehidupan apa yang akan kita jalani di "luar" sana.Â
Bila sedikit-sedikit cengeng dan lebay (apalagi hanya karena percintaan), nanti akan menjadi "kebiasaan" yang dibawa hingga dewasa. Masalah kecil seakan besar bahkan luar biasa, hingga menjadi seorang "Drama Queen" Sejati. Namun meskipun begitu, bisa saja dalam kehidupan nyata, ada "anak pindahan" yang mengalami kisah indah seperti "Milea". Siapa yang tahu?!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H