Mohon tunggu...
amie retna wulan dewi
amie retna wulan dewi Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Saya seorang wiraswasta yang semula menjadi karyawan swasta. Hobi saya menulis, membaca, dan mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menjadi Anak Pindahan Ketika SMA, Tak Seindah Kisah "Milea"

1 September 2018   07:08 Diperbarui: 4 September 2018   11:53 3136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
makassar.tribunnews.com

Meski duduk sebangku, namun saya tidak cukup akrab dengan anak perempuan tersebut. Saya justru dekat dengan 3 anak perempuan lain yang semuanya memakai hijab. Bahkan saya cukup sering main ke rumah salah seorang di antara mereka yang kondisi ekonominya cukup sederhana, meski jauh lebih baik dibandingkan kondisi ekonomi keluarga saya. 

Sedangkan anak-anak perempuan lain yang sekelas, hanya bicara seperlunya saja dengan saya. Beberapa diantaranya malah terkesan kaku dan dingin. Bahkan seingat saya, ada beberapa anak perempuan yang tidak pernah mengajak saya bicara hingga kenaikan kelas 3. Bila kebetulan berpapasan pun, saya dan mereka hanya tersenyum kecil saja. 

Sebagian besar anak yang sekolah di SMA ini adalah anak cerdas dan dari keluarga mapan. Meskipun di kota yang lama saya mungkin termasuk anak cukup cerdas, namun di tempat yang baru ini saya justru menjadi anak yang beloon (terutama untuk pelajaran Eksak). 

Setiap pulang sekolah kepala saya selalu pusing dan dada saya mual. Mungkin saya mengalami Stres. Nilai-nilai ulangan saya jarang yang bagus, kecuali untuk pelajaran PPKN, Bahasa Indonesia, dan yang berbau IPS. Untuk pelajaran Fisika bahkan saya mendapat nilai merah di rapor.

Keadaan saya semakin diperparah oleh aksi "kucing-kucingan" dengan Guru TU yang menagih uang pangkal kepada saya. Saya selalu berusaha untuk menghindari guru tersebut atau setidaknya anak lain tidak mengetahui hal itu. Saya tidak mau dihina oleh anak lain, apalagi status saya sebagai anak pindahan. Saya selalu berusaha tampak "tegar", meski dalam hati saya berteriak-teriak. 

Ayah saya yang belum memiliki pekerjaan yang baru dan hanya bekerja serabutan, membuat kondisi saya benar-benar sulit. Masih untung saya bisa membayar uang SPP tiap bulan. Untuk makan sehari-hari kami harus "banting tulang". Ibu dan kakak perempuan saya membuat kue "kuwuk" yang bahannya sudah disiapkan oleh pemilik usahanya, dengan upah yang tidak seberapa. Saya dan kakak saya seringkali menjual barang-barang yang ada di rumah, seperti sprei atau baju ibu saya kepada orang yang dipanggil "tante", sampai menjual gelas kepada pedagang bubur kacang ijo.

Bahkan terkadang untuk ongkos berangkat sekolah pun, saya dan ayah saya harus meminjam uang ke kerabat kami, karena itulah saya cukup sering terlambat datang ke sekolah.

Satu-satunya "pelipur lara" saya hanya kegiatan surat-menyurat yang saya lakukan bersama teman-teman lama saya, yang jumlahnya cukup banyak, dan intensitasnya pun cukup sering. Jadi meskipun saya pindah kota, namun kabar terbaru dari kota lama saya masih sering saya terima.

Lalu bagaimana dengan anak laki-laki? Apakah ada yang naksir saya seperti tokoh Milea dalam film Dilan? Jawabannya: boro-boro! Tak ada satupun anak laki-laki yang tertarik kepada saya. Yang terjadi justru saya mempunyai "musuh debat" seorang anak laki-laki sekelas. Ia adalah aktivis masjid sekolah dan terlihat fanatik dalam segala hal, termasuk setiap ulangan, ia selalu anti contek mencontek dan melarang anak lain untuk melakukannya.

Bila setiap sesi diskusi pelajaran berbau IPS, saya dan dia selalu terlibat perdebatan sengit di dalam kelas. Kebetulan saya anak perempuan satu-satunya yang banyak bicara bila setiap sesi diskusi tersebut. Namun bila berlangsung pelajaran Eksak, jangankan bicara, berpikir saja saya rasanya sulit sekali!

Dan ketika kenaikan kelas 3, saya mantap memilih Jurusan IPS. Sebenarnya saya ingin mengambil Jurusan Bahasa, namun karena tidak ada akhirnya saya mengambil jurusan IPS saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun