Anehnya, meski saya selalu berdebat dengan anak laki-laki si "Aktivis Rohis" yang mengambil jurusan IPA, namun saya malah meminjam buku-buku IPS bekas kakaknya kepada dia. Dan anehnya juga, keesokan harinya ia membawa setumpuk buku paket pelajaran IPS bekas kakaknya itu dan meminjamkannya kepada saya selama setahun!
Saya yang ketika di kota lama selalu membeli buku-buku paket pelajaran, namun di kota yang baru dan sekolah yang baru, saya malah meminjamnya dari orang lain, yang justru selalu "debat kusir" dengan saya ketika sekelas. Hidup memang selalu menghadirkan kontradiksi!
Di kelas 3 ini kondisi saya tidak lebih baik, malah semakin parah. Meski memang anak-anak sekelasnya tidak "sekaku" dan "sedingin" anak-anak sekelas di kelas 2, namun masalah lain terus menimpa saya (selain masalah uang pangkal yang selalu ditagih Guru TU).
Hal itu terjadi karena "aksi demo" menolak kenaikan SPP yang dimotori oleh anak-anak IPS. Saya yang sebenarnya bukan "inisiator", namun karena saya berani bicara mengkritik guru di atas mimbar, maka saya pun harus menerima resikonya. Sejak kejadian itu, hampir semua guru memusuhi saya, terutama Wali Kelas. Bahkan saya dicap sebagai "Provokator".
Hampir setiap hari ia "menceramahi" saya dengan kata-kata yang super pedas. Bahkan ia pun mengungkit status saya sebagai "anak pindahan", yang menurutnya malah mencemarkan nama baik sekolah.Â
Namun lagi-lagi, saya selalu berusaha tegar. Saya juga bukan anak cengeng, apalagi mengadu kepada orangtua. Semua yang saya alami saya telan sendiri. Hingga akhirnya tiba kelulusan sekolah, saya menghilang dari peredaran.Â
Acara perpisahan sekolah tidak saya datangi. Begitupun mengambil Ijazah sekolah yang ditahan pihak sekolah karena saya tidak juga membayarnya hingga kelulusan sekolah, diambil oleh ayah saya.
Itulah sekelumit cerita saya sebagai "anak pindahan" di SMA. Jauh dari kesan indah, apalagi romantis, bahkan terkesan "miris". Dalam hal ini saya tidak ingin menghakimi siapapun, apakah teman sekolah, guru, apalagi ayah kandung saya sendiri. Apa yang saya alami karena " takdir" semata.Â
Saya menceritakan semua ini hanya ingin berbagi sedikit pengalaman hidup saya, yang mungkin memberi "inspirasi", pencerahan, dan pelajaran, bagi yang membacanya.
Bersyukurlah bagi anda yang menjalani kehidupan berkecukupan dari kecil dan mengalami masa sekolah dengan mulus semulus jalan tol, apalagi sampai mengenyam pendidikan yang tinggi, karena tidak semua orang bisa mengalaminya. Begitupun dengan orang tua yang mampu mencukupi kebutuhan anaknya secara maksimal, bukan hanya materi, namun juga pendidikan.
Dan bagi adik-adik yang masih sekolah, cobalah untuk selalu tegar dalam menghadapi masalah apapun, jangan cengeng dan gampang mengadu kepada Orang tua (kecuali bila sudah "mentok" tak menemukan jalan keluar). Karena kita tidak pernah tahu kehidupan apa yang akan kita jalani di "luar" sana.Â